Welcome to My website

Selamat datang di website pribadi saya. Tidak neko-neko, disini saya hanya ingin berbagi apa yang bisa saya bagi.

Terima kasih telah berkunjung...

Semoga Bermanfaat
OpulentDelicacy.com

Minggu, 24 April 2011

Muallaf, Abu Ameenah Bilal Philips

Dulu, Bilal Philips pernah dijuluki "Dewa Gitar" di negerinya, Kanada.  Kini, ia justru menyerukan agar kaum Muslim sesedikit mungkin mendengarkan petikan gitar, karena "terlalu banyak musik akan menutup hati dari seruan Allah."

Philips menyatakan, larangan itu bukan hanya untuk gitar, tapi semua aliran musik. "Hati yang diisi dengan musik tidak akan memiliki ruang untuk kata-kata Tuhan," tulisnya dalam bukunya,  Contemporary Issues. Buku ini membahas persoalan-persoalan aktual umat islam, mulai dari perkawinan anak di bawah umur, pemukulan istri, poligami, dan membunuh kaum murtad, hingga homoseksualitas.

Philips berpendapat, Islam tidak melarang semua musik. Namun, musik yang dianjurkan adalah yang dinyanyikan kaum pria dan anak perempuan belum dewasa. Lagu-lagunya pun berisi konten yang dapat diterima umum. "Instrumen senar sebaiknya dihindari," ia melanjutkan.

Philips adalah imigran asal Jamaika. Masuk ke Kanada di usia 11 tahun, ia mengambil pendidikan gitar. Ia bermain di klub malam selama belajar di Universitas Simon Fraser di British Columbia.  Namanya makin terdongkrak setelah itu.

Di puncak kepopulerannya, jiwanya gelisah. Ia memutuskan mengasingkan diri dari hiruk-pikuk musik negerinya dan menyusul sang ayah yang juga tenaga ahli di Canadian Colombo Plan berpindah ke Malaysia, menjadi penasihat menteri pendidikan. Di negeri jiran itu, ia dikenal sebagai "Jimi Hendrix dari Sabah".

Tapi setelah memeluk Islam pada tahun 1972, ia meletakkan gitarnya untuk selamanya. Dalam biografi di situs web ia mengatakan, "ketika saya menjadi seorang Muslim, saya merasa tidak nyaman melakukan hal ini dan menyerah baik secara profesional maupun pribadi."Bagi banyak orang, musik menjadi sumber hiburan dan harapan dari Allah. Musik membawa mereka untuk sementara, seperti obat. "Quran, kata-kata Allah yang penuh dengan bimbingan, juga bisa memainkan peran itu."

***
Dalam bukunya, ia juga mengatakan wanita dewasa dilarang untuk bernyanyi. "Pria lebih mudah terangsang daripada perempuan sebagai telah sepenuhnya didokumentasikan oleh studi klinis Masters dan Johnson. "

Tetapi Institut Islam Toronto mengatakan pada situs webnya yang banyak sarjana tidak setuju dengan penafsiran itu, dan mempertimbangkan musik diperbolehkan asalkan tidak mengandung "sensual, menduakan Tuhan, atau tema tidak etis dan pesan subliminal.

"Jadi untuk mengatakan bahwa semua musik dilarang dalam Islam tampaknya tidak tepat. Islam menempatkan kehidupan dunia dan akhirat secara seimbang," tulis situs ini.

Sohail Raza, juru bicara Kongres Muslim Kanada, mengatakan klaim bahwa Islam tidak mengijinkan musik adalah "benar-benar tak berdasar" dan benar-benar merupakan upaya untuk mencegah imigran Muslim dari integrasi ke dalam masyarakat Kanada.

"Ini adalah orang-orang yang memiliki keengganan untuk sukacita," kata Raza. "Kami memiliki situasi yang sangat menyedihkan dimana orang-orang seperti Philips yang membawa hal-hal dalam Islam yang benar-benar tidak benar, dan menumbuhsuburkan Islamophobia."


Philips, yang memiliki gelar dari Universitas Islam Madinah dan Universitas Riyadh, dan mendirikan Universitas Islam Online, tinggal di Qatar tapi tetap menjadi pembicara konferensi yang populer di Kanada. Dia memberikan kuliah tentang "musik dan kencan" di sebuah masjid Toronto April lalu.

Dalam video online-nya, mantan musisi panggilan musik kecanduan jahat. "Intinya adalah bahwa jika musik itu bermanfaat, maka musisi akan menunjukkan manfaat yang dalam hidup mereka," katanya dalam sebuah video YouTube.

"Apa yang Anda lihat justru adalah bahwa beberapa elemen yang paling korup masyarakat yang ditemukan di antara para musisi. Obat-obatan, penyimpangan dan homoseksualitas, hal ini jenis dan semua korupsi yang ada di sana, orang bunuh diri, "katanya. "Kenyataannya adalah bahwa hal itu sebenarnya tidak membawa sisi, jahat gelap yang memproduksi jenis korupsi antara mereka sendiri dan, pada akhirnya, berakhir sampai merusak elemen masyarakat."

Sumber: Daily Mail

Daulah Umayyah: Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M) Dekat dengan Ulama

Hisyam bin Abdul Malik adalah khalifah kesepuluh Daulah Umayyah. Ketika dilantik menjadi khalifah menggantikan saudaranya, Yazid bin Abdul Malik, usianya baru 35 tahun. Ia menjabat khalifah selama hampir 20 tahun. Para ahli sejarah menyebutnya negarawan yang ahli dalam strategi militer. Pada masa pemerintahannya, selain memadamkan kemelut internal, ia juga meluaskan wilayahnya ke luar.

Ketika imperium Romawi Timur berada di bawah kekuasaan Kaisar Leo III. Ia berhasil memulihkan wewenang pemerintahan pusatnya di daerah Balkan. Kini Kaisar Leo III kembali ingin merebut wilayah Asia Kecil dari kekuasaan Daulah Umayyah yang sedang dipimpin Hisyam bin Abdul Malik. Jadi, dua kekuatan siap berhadap-hadapan.

Sementara itu, sepeninggal Empress Wu yang mengalami kemelut berkepanjangan, Dinasti Tang di Tiongkok berhasil memulihkan diri di bawah kekuasaan Kaisar Hsuan Tsung. Setelah kondisi internal pulih, ia bermaksud merebut daerah Sinkiang (Turkistan Timur) yang berhasil ditaklukkan oleh Panglima Qutaibah bin Muslim.

Di wilayah Andalusia, Khalifah Hisyam mengukuhkan Panglima Anbasa bin Syuhain sebagai gubernur menggantikan Sammah bin Malik Al-Khaulani yang gugur. Dengan pasukan cukup besar, Panglima Anbasa menyeberangi pengunungan Pyren dan menaklukkan wilayah Narbonne di selatan Prancis. Selanjutnya ia maju ke Marseilles dan Avignon serta Lyon, menerobos wilayah Burgundy.

Kemenangan itu membangkitkan semangat Anbasa. Ia terus maju ke arah utara dan menaklukkan beberapa daerah sampai ke benteng Sens di pinggir sungai Seine yang jaraknya hanya sekitar 100 mil dari Paris, ibukota wilayah Neustria kala itu.

Karel Martel, yang menjadi pejabat wilayah Neustria, segera maju menghadang pasukan kaum Muslimin. Terjadi pertempuran sengit. Panglima Anbasa gugur, dan pasukannya bertahan di wilayah selatan Prancis.

Peristiwa itu segera sampai ke Damaskus. Khalifah Hisyam segera mengangkat Panglima Besar Abdurrahman Al-Ghafiqi untuk menggantikan Panglima Anbasa. Dalam hal melanjutkan cita-cita pendahulunya, Panglima Abdurrahman Al-Ghafiqi sangat hati-hati. Ia mempersiapkan pasukannya semaksimal mungkin. Tak hanya bekal makanan, tetapi juga fisik tentara untuk menghadapi cuaca dingin di daerah lawan.

Enam tahu kemudian, pasukan itu berangkat ke arah utara. Mereka berhasil merebut Toulouse, ibukota wilayah Aquitania kala itu. Karel Martel terpaksa mundur dan bertahan di benteng Aungoleme.

Nama Panglima Al-Ghafiqi tersebar luas di daratan Eropa. Karel Martel dan Raja Teodorick IV menyerukan seluruh rakyatnya untuk memberikan perlawanan. Sementara itu, pasukan Islam berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Pasukan Islam terlalu terbuai dengan harta rampasan. Ketika perang pecah, pasukan kaum Muslimin terdesak. Panglima Abdurrahman Al-Ghafiqi gugur.

Sementara itu, kemelut yang terjadi di kawasan Asia Kecil berhasil dipadamkan. Pasukan Romawi Timur yang ingin merebut daerah itu bisa dihalau setelah Khalifah Hisyam mengirim panglima Said Khuzainah dari wilayah Khurasan untuk membantu Panglima Maslamah bin Abdul Malik. Namun, dalam suatu peperangan Said gugur.

Khalifah Hisyam bin Abdul Malik wafat dalam usia 55 tahun. Namanya cukup harum dalam sejarah. Dalam ketegasannya, ia senang menerima masukan dari para ulama.

Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Keberagaman Pemikiran Islam dan Pemikiran Barat

Upaya pengenalan global epistemologi, ontologi dan aksiologi dua pemikiran

 

Prolog
Berpikir adalah proses menemukan kepastian akan sesuatu yang dicari oleh akal manusia. Dikarenakan berpikir tidak memerlukan batasan tempat dan waktu ataupun kondisi khusus, maka tiada siapapun yang dapat melarang orang lain untuk berhenti berpikir. Kebebasan berpikir inilah yang dapat membuat dunia beraneka ragam, serba baru, indah dan  “warna-warni”. Bahkan dengan kehebatan berpikir, dapat mengangkat kedudukan di atas makhluk Allah Swt. lainnya. Firman Allah Swt. yang berbunyi “Dan bersujudlah kepada Adam…[1] merupakan fi’il Amr yang ditujukkan Allah kepada seluruh makhluk, karena tingginya kedudukan Adam as. dibanding makhluk lainnya. Ini  disebabkan karena kelebihan akalnya, yang diantaranya bisa menyebutkan nama-nama ciptaan Allah Swt.
Akal –sebagai alat berpikir manusia- bisa mengangkat kedudukan manusia jika hal itu digunakan dengan baik, baik itu digunakan dengan tujuan agar mendapat ridla Allah ataupun tidak. Kenapa demikian?, karena tidak sedikit ilmuan non-muslim yang tinggi “kedudukannya” dibandingkan muslim yang tidak berpikir, padahal mereka tidak mengharap ridla Allah dan bahkan ada yang tidak mempercayai adanya eksistensi Mutlak (Tuhan). Karena, ini semua adalah janji Allah bagi para ilmuan, apalagi jika ilmuan itu mengimani keEsaan Allah Swt maka kedudukannya lebih tinggi dari pada ilmuan yang tidak beriman[2].
Dampak dari berpikirnya manusia sangat berpengaruh pada

Sabtu, 23 April 2011

Khalifah Abu Bakar

Abu Bakar adalah khalifah Islam yang pertama dan orang paling terpercaya, serta pembantu Nabi yang sangat setia. Beliau dilahirkan di Mekkah dua setengah tahun setelah tahun Gajah, atau lima puluh setengah tahun sebelum dimulainya hijrah. Di masa pra Islam, Abu Bakar dikenal sebagai Abul Ka’ab dan waktu masuk Islam Nabi memberinya nama Abdullah dengan gelar ash-Shiddiq (orang terpercaya). Ia termasuk suku Quraisy dari Bani Taim, dan silsilah keturunannya sama dengan Nabi SAW, dari garis ke-7. Dia salah seorang pemimpin yang sangat dihormati, sebelum dan sesudah mereka memeluk agama Islam.
Nenek moyangnya berdagang dan sekali-kali mengadakan perjalanan dagang ke Syria atau Yaman. Sering Abu Bakar mengunjungi Nabi dan ketika turun wahyu, ia sedang berada di Yaman. Setelah kembali ke Mekkah ia mendengar para pemimpin Quraisy, seperti Abu Jahal, Ataba dan Shoba mengejek pernyataan pengangkatan Muhammad menjadi Rasul Allah. Abu Bakar menjadi sangat marah, lalu bergegas ke rumah Nabi dan langsung memeluk agama Islam.
Menurut Shuyuti, pengarang Tarikh ul-khulafa, Nabi berkata, “Apabila saya menawarkan agama Islam kepada seseorang, biasanya orang itu menunjukkan keragu-raguannya sebelum memeluk agama Islam. Tapi Abu Bakar adalah suatu perkecualian. Dia memeluk agama Islam tanpa sedikitpun keragu-raguan pada dirinya.” Pemeluk agama Islam pertama-tama di antara orang dewasa adalah Abu Bakar. Di antara kaum mudanya tercatat nama Ali, sedang di antara kaum wanitanya adalah Khadijah. Abu Bakar sebagai seorang yang kaya raya, telah menyerahkan seluruh harta kekayaannya untuk digunakan Nabi.
Ketika itu Madinah sebagai ibu kota Islam sangat terancam oleh gerombolan-gerombolan musuh. Nabi menghimbau perlunya dana untuk membiayai kampanye guna mempertahankan diri dari bahaya yang akan tiba. Maka Umar yang juga kaya raya seketika itu juga ingin mengambil kesempatan emas ini, sehingga ia berharap bisa menandingi Abu Bakar dalam berbakti kepada Islam. Beliau bergegas pulang ke rumah dan kembali membawa sejumlah besar harta kekayaannya.
Nabi sangat senang melihat tindakan sahabatnya itu, dan bertanya, “Apakah ada yang anda tinggalkan untuk keturunan Anda?”
“Sebagian dari kekayaan telah saya sisihkan untuk anak-anak saya,” jawab Umar.
Demikian pula ketika Abu Bakar membawa pulang hartanya, pertanyaan yang sama juga diajukan kepadanya.
Beliau langsung menjawab, “Yang saya tinggalkan untuk anak-anak saya hanyalah Allah dan Rasul-Nya.” Sangat terkesan akan ucapan Abu Bakar, Umar berkata, “Tidak akan mungkin bagi saya melebihi Abu Bakar.”
Di samping itu, ia membeli dan membebaskan sejumlah budak belian, termasuk Bilal yang mendapat siksaan secara kejam sebelum masuk Islam. Bilal harus menjalani segala macam penderitaan, intimidasi dan siksaan demi berbakti kepada kepercayaan barunya (Islam). Abu Bakar mempunyai 40.000 dirham ketika masuk agama Islam, tapi kemudian hanya tinggal 5.000 dirham saja pada waktu hijrah. Beliau ikut hijrah ke Madinah menemani Nabi, dan meninggalkan isteri serta anak-anaknya pada lindungan Allah. Ia juga berjuang bahu-membahu dengan Nabi dalam pertempuran mempertahankan diri, di saat para pemeluk agama baru itu sedang berjuang untuk eksistensinya.
Abdur Rahman bin Abu Bakar, putra Abu Bakar, mengatakan kepada ayahnya bahwa di dalam perang Badar, dengan mudah dia mendapat kesempatan membunuh ayahnya. Abu Bakar langsung menjawab bahwa apabila hal itu terjadi pada dirinya dalam menghadapi anaknya, ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Abu Bakar meninggal pada 23 Agustus 634 M dalam usia 63 tahun, dan kekhalifahannya berlangsung selama dua tahun tiga bulan sebelas hari. Jenazahnya dimakamkan di samping makam Nabi.
Pada waktu Nabi wafat, Abu Bakar dipilih menjadi khalifah Islam yang pertama. Setelah terpilih, banyak orang berebut menawarkan bai’at, khalifah lalu menyampaikan pidatonya yang mengesankan di hadapan para pemilih. Abu Bakar berkata, “Saudara-saudara, sekarang aku telah terpilih sebagai amir meskipun aku tidak lebih baik dari siapa pun di antara kalian. Bantulah aku apabila aku berada di jalan yang benar, dan perbaikilah aku apabila aku berada di jalan yang salah. Kebenaran adalah suatu kepercayaan dan kesalahan adalah suatu penghianatan. Orang yang lemah di antara kalian akan menjadi kuat bersamaku sampai (Insya Allah) kebenarannya terbukti, dan orang yang kuat di antara kalian akan menjadi lemah bersamaku sampai (Insya Allah) kuambil apa yang menjadi haknya. Patuhlah kepadaku sebagaimana aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku tidak mematuhi-Nya dan Rasul-Nya, janganlah sekali-kali kalian patuh kepadaku.”
Abu Bakar berdiri tegak bagaikan batu karang menghadapi kekuatan-kekuatan yang mengacau setelah Nabi wafat. Nampaknya seluruh struktur Islam yang telah diletakkan Nabi yang baru saja mangkat akan hancur berantakan. Namun Abu Bakar telah membuktikan dirinya menjadi orang yang kuat memegang teguh jalan yang ditunjukkan Nabi. Selama Nabi sakit, satuan tentara yang berkekuatan 7000 orang dimobilisir di bawah pimpinan Usamah bin Zaid menuntut balas atas kekalahan orang-orang Muslim dari tangan pasukan Romawi. Begitu Nabi wafat terjadi pula huru-hara besar di Arab. Maka Abu Bakar mengirim pasukan. Pengukuhan Usamah sebagai panglima pasukan berkuda yang diangkat Nabi dipimpin langsung oleh khalifah sendiri. Tentara Usamah menyelesaikan tugasnya dalam tempo 40 hari. Ekspedisi itu berpengaruh sangat baik terhadap suku-suku bangsa yang mulai membandel dan ragu-ragu tentang kekuatan Islam yang sesungguhnya.
Tindakan Abu Bakar yang imajinatif, tepat waktu dan dinamis itu telah menyatukan kekuatan Islam. Segera Abu Bakar menghadapi krisis yang lain, waktu Nabi wafat, sejumlah Nabi palsu, yaitu para penipu lihai yang muncul di berbagai bagian Arab. Di antara mereka yang terkenal ialah Aswad Asni, Talha Bani Asad, Musailamah si pendusta dan Sajah seorang wanita Yaman. Di suatu daerah di Zhul Qassa, khalifah memberikan sebelas peta untuk menyamai jumlah komandannya dan menugaskan mereka di berbagai sektor. Ekspedisi melawan Musailamah terasa sangat berat dan baru setelah Khalid bin Walid menggempur dengan dahsyatnya, musuh dapat dihancurkan. Musailamah mati terbunuh.
Seorang sejarawan, Tabrani mengatakan, “Belum pernah Muslimin bertempur sedahsyat pertempuran ini.”
Tak lama setelah pemilihan khalifah, sejumlah anggota suku mengimbau para pemimpin Islam di Madinah agar mereka dibebaskan dari membayar zakat. Keadaan tampaknya begitu suram, sehingga menghadapi masalah itu orang seperti Umar pun terpaksa mengalah dan ia memohon kepada Abu Bakar, “O, Khalifah Rasul, bersikap ramahlah kepada orang-orang ini, dan perlakukanlah mereka dengan lemah lembut.”
Khalifah sangat jengkel dengan pameran kelemahan yang tidak disangka-sangka itu, dan dengan amarah yang amat sangat ia menjawab, “Anda begitu keras pada zaman jahiliyah, tapi sekarang Anda menjadi begitu lemah. Wahyu Allah telah sempurna dan iman kita telah mencapai kesempurnaan. Sekarang Anda ingin merusakkannya pada saat aku masih hidup. Demi Allah, walau sehelai benang pun yang akan dikurangi dari zakat, aku akan berjuang mempertahankannya dengan semua kekuatan yang ada padaku.”
Dalam sejarahnya, khalifah Abu Bakar adalah seorang yang memegang teguh pendirian dan integritasnya, berwatak baja. Ia selalu tampil mempertahankan ajaran dasar agama Islam pada saat-saat yang sangat kritis. Semua ekspedisi militer yang ditujukan terhadap orang-orang yang ingkar kepada agama dan terhadap suku-suku yang berontak, berakhir dengan sukses menjelang akhir tahun 11 H. Pemberontakan dan perselisihan yang mencekam Arab dapat ditumpas untuk selama-lamanya.
Di dalam negeri tidak ada pergolakan lagi, tetapi khalifah harus menghadapi bahaya dari luar yang pada gilirannya dapat menghancurkan eksistensi Islam. Dua orang raja paling berkuasa di dunia, Kaisar dan Kisra, sedang mengintai kesempatan untuk menyerang pusat agama baru itu. Orang-orang Persi selama berabad-abad memerintah Arab sebagai maharaja, yang tentu saja tidak dapat mentolerir setiap kekuatan Arab militan untuk bersatu membentuk kekuatan yang besar. Hurmuz adalah raja lalim yang memerintah Irak atas nama Kisra. Penganiayaan terhadap orang-orang Arab menimbulkan pemberontakan kecil, tapi lalu berkembang menjadi peperangan berdarah. Kini keadaan yang terjadi malah sebaliknya; orang-orang Persia yang dengan penuh kecongkakan dan selalu meremehkan kekuatan orang-orang Muslim akhirnya tidak dapat menahan gelombang maju pasukan Islam, dan mereka harus mundur dari satu tempat ke tempat lainnya sampai Irak jatuh.
Pada mulanya, Muthanna yang memimpin tentara Islam melawan orang-orang Persi. Dia banyak mendapat kemenangan. Lalu kemudian Khalid bin Walid yang tak terkalahkan dan dikenal sebagai Pedang Allah itu bergabung. Pertempuran yang menentukan melawan Hurmuz dimenangkan orang-orang Muslim, dan saat itulah Hurmuz mati terbunuh di tangan Khalid bin Walid dan orang-orang Persi dihancurkan dengan meninggalkan banyak korban jiwa. Seekor unta dimuati rantai seberat tujuh setengah Maund yang dikumpulkan dari medan tempur, sehingga pertempuran itu dikenal sebagai ‘Pertempuran Rantai’.
Khalid bin Walid ketika menjabat panglima tentara Islam di Irak memisahkan administrasi sipil dan militer. Said bin No’man diangkat sebagai kepala departemen militer, sedangkan Suwaid memegang kepala administrasi sipil. Sebagian besar daerah Irak direbut selama pemerintahan Khalifah Abu Bakar, sedang sisanya ditaklukkan oleh pemerintahan Umar. Raja Byzantium, Heraclius, yang menguasai Syria dan Palestina, benar-benar musuh Islam yang paling besar dan paling perkasa. Intrik-intrik dan akal bulusnya menimbulkan beberapa kerusuhan yang dilakukan oleh suku-suku non Islam di Arab. Dialah bahaya laten bagi Islam. Sejak tahun 9 H, Nabi sendiri telah memimpin tentara melawan orang Romawi, kemudian pada masa Abu Bakar, sang khalifah mengirimkan tentaranya untuk menghadang orang-orang Romawi dan membagi kekuatannya dalam empat pasukan di bawah komando Abu Ubaidah, Syarjil bin Hasanah, Yazid bin Sofyan dan Amr bin Ash serta menempatkan mereka di beberapa sektor di Suria.
Tentara Islam tanpa persenjataan yang lengkap, tidak terlatih dan rendah mutunya sedangkan angkatan perang Romawi bersenjata lengkap dan baik, terlatih dan jumlahnya lebih banyak. Pasukan Islam dan musuh berhadapan di dataran Yarmuk. Tentara Romawi yang hebat itu berkekuatan lebih dari 3 lakh serdadu bersenjata lengkap, di antaranya 80.000 orang diikat dengan rantai untuk mencegah kemungkinan mundurnya mereka. Tentara Muslim seluruhnya berjumlah 46.000 orang. Sesuai dengan strategi Khalid, mereka dipecah menjadi 40 kontingen untuk memberi kesan seolah-olah mereka lebih besar dari musuh. Operasi militer yang tak terlupakan bagi ummat Islam berakhir dengan kemenangan di pihak kaum Muslimin.
Pertempuran Yarmuk, dengan persiapan pendahuluannya yang dimulai sejak khalifah Abu Bakar, dimenangkan pada masa khalifah Umar. Abu Bakar adalah sahabat Nabi yang paling terpercaya.
Nabi berkata, “Saya tidak tahu apakah ada orang yang melebihi Abu Bakar dalam kedermawaannya.” Ketika sakit Nabi semakin parah, beliau meminta Abu Bakar menjadi imam dalam shalat. Abu Bakar mengimami shalat 17 kali selama Nabi hidup.
Nabi berkata, “Saya sudah membayar semua kewajiban saya, kecuali kepada Abu Bakar yang akan mendapatkan ganjarannya pada hari kiamat.”
Menurut Tarmidzi, Umar pernah berkata, “Oh Abu Bakar, Anda orang terbaik sesudah Rasul Allah.”
Menurut keterangan Imam Ahmad, Ali pernah berkata, “Orang-orang terbaik di antara umat Islam setelah Nabi adalah Abu Bakar dan Umar.”
Abu Bakar merupakan salah seorang tokoh revolusi besar Islam. Ia telah menciptakan berbagai perubahan sosial, politik dan ekonomi yang paling fundamental dalam sejarah manusia. Juga beliau sebagai salah seorang peletak dasar demokrasi yang sebenarnya di dunia ini, lebih dari 1.400 tahun yang lalu, tapi tak pernah ada lagi setelah itu. Abu Bakar adalah seorang khalifah dan juga merupakan raja. Tapi Abu Bakar berjalan hilir mudik tanpa pengawal atau pun teman. Ia makan makanan yang jelek dan pakaian yang lusuh. Bahkan rakyat awam pun dapat menghubunginya setiap waktu di siang hari, dan menanyakan segala tindakannya secara terbuka. Beliau pernah memerintahkan pembuatan daftar tuntunan moral bagi tingkah laku para prajurit Islam.
Tuntunan ini seyogyanya menjadi contoh bagi dunia yang sekarang. Di zaman modern ini semuanya sudah kacau balau dengan moral yang sudah menyimpang jauh dari nilai-nilai kemanusian apalagi nilai agama. Hanya sedikit sekali prajurit yang masih memegang nilai-nilai etik moral dan keagamaan.
Kepada setiap tentara, Khalifah Abu Bakar memberi instruksi, “Jangan melakukan penyelewengan, jangan menipu orang, jangan ingkar kepada atasan, jangan memotong bagian badan manusia, jangan membunuh orang-orang tua, para wanita dan anak-anak. Jangan menebang atau membakar pohon buah-buahan, jangan membunuh hewan kecuali disembelih untuk dimakan, jangan menganiaya para pendeta Kristen, dan jangan lupa kepada Allah atas karunia-Nya yang telah anda nikmati.”  
Abu Bakar mengangkat Umar sebagai Qadhi Agung. Tapi kehidupan moral rakyat telah terbiasa dengan hidup jujur dan bersih, sehingga tak ada pengaduan yang disampaikan kepada Qadhi selama satu tahun. Adapun Utsman, Ali dan Zaid bin Tsabit bekerja sebagai khatib. Abu Bakar selalu cermat dalam mengambil uang bantuan dari Baitul Mal. Beliau menggunakan secukupnya saja untuk keperluan hidup minimal setiap hari.
Pernah isterinya minta manisan tapi si suami tidak punya uang lebih untuk membelinya. Untung, isterinya punya uang tabungan beberapa dirham selama dua Minggu, yang lalu diberikannya uang itu kepada suaminya untuk membeli manisan. Melihat uang itu, Abu Bakar bilang terus terang kepada isterinya bahwa tabungannya itu telah membuatnya mengambil uang melebihi dari jumlah yang mereka butuhkan. Lalu dikembalikan uang itu kepada Baitul Mal dan dikurangi pengambilan uangnya di masa mendatang.
Abu Bakar senang sekali mengerjakan semua pekerjaan dengan tangannya sendiri, dan tidak pernah mengizinkan siapapun juga untuk ikut membantu melakukan pekerjaan rumah tangganya. Bahkan seandainya tali kekang untanya terjatuh, ia tidak akan pernah meminta siapapun untuk mengambilnya. Ia lebih suka turun dari unta dan mengambilnya sendiri. Apabila di hadapannya ada orang memujinya, dia berkata, “Ya, Allah! Engkau lebih tahu akan diriku dari pada aku sendiri, dan aku mengetahui diriku sendiri lebih dari pada orang-orang ini. Ampunilah dosa-dosaku yang tidak mereka ketahui, dan janganlah mengakibatkan aku bertanggung jawab atas puji-puji mereka itu.”
Abu Bakar dikenal memiliki kebiasaan hidup sangat sederhana. Pada suatu hari, seorang putra mahkota Yaman dalam pakaiannya yang mewah tiba di Madinah. Dilihatnya Abu Bakar hanya mengenakan dua lembar kain warna cokelat, yang selembar menutupi pinggang dan yang selembar lagi menutupi bagian badan yang lainnya. Putra mahkota itu begitu terharu melihat kesederhanaan khalifah, sehingga dia juga membuang pakaiannya yang indah itu. Dia berkata, “Di dalam Islam, saya tidak menikmati kepalsuan seperti ini.”
Pada akhir perjalanan hidupnya, Abu Bakar bertanya kepada petugas Baitul Mal, berapa jumlah yang telah ia ambil sebagai uang tunjangan. Petugas itu memberi tahu bahwa beliau telah mengambil 6.000 dirham selama dua setengah tahun kekhalifahan. Ia lalu memerintahkan agar tanah miliknya dijual dan seluruh hasilnya diberikan kepada Baitul Mal. Amanatnya sebelum mangkat itu telah dilaksanakan. Dan untuk seekor unta dan sepotong baju seharga seperempat rupee milik pribadinya, ia amanatkan agar diberikan kepada khalifah baru setelah ia meninggal dunia. Ketika barang-barang tersebut dibawa kepada yang berhak, Umar yang baru saja menerima jabatan sebagai khalifah mengeluarkan air mata dan berkata, “Abu Bakar, engkau telah membuat tugas penggantimu menjadi sangat sulit.”
Pada malam sebelum meninggal, Abu Bakar bertanya pada putrinya Aisyah, berapa jumlah kain yang digunakan sebagai kain kafan Nabi.
Aisyah menjawab, “Tiga, ya, Ayahanda.”
Seketika itu juga ia bilang bahwa dua lembar yang masih melekat di badannya supaya dicuci, sedangkan satu lembar kekurangannya boleh dibeli. Dengan berurai air mata Aisyah berkata bahwa dia tidaklah sedemikian miskinnya, sehingga tidak mampu membeli kain kafan untuk ayahnya. Khalifah menjawab, kain yang baru lebih berguna bagi orang yang hidup dari pada orang yang sudah meninggal. Banyak penghargaan yang diberikan kepada khalifah Abu Bakar tentang kepandaian dan kebaikan hatinya. Baik kawan maupun lawan memuji kesetiaannya kepada agama baru itu, demikian pula watak kesederhanaan, kejujuran, dan integritas pribadinya.
Jurji Zaidan, sejarawan Mesir beragama Kristen menulis, “Zaman khalifah-khalifah yang alim adalah merupakan masa keemasaan Islam. Khalifah-khalifah itu terkenal karena kesederhanaan, kealiman dan keadilannya. Ketika Abu Bakar masuk Islam, ia memiliki 40.000 dirham, jumlah yang sangat besar pada waktu itu akan tetapi ia habiskan semua, termasuk uang yang diperolehnya dari perdagangan, demi memajukan agama Islam. Ketika wafat, tidaklah ia memiliki apa-apa kecuali uang satu dinar. Ia biasa berjalan kaki ke rumahnya di Sunh, di pinggir kota Madinah. Ia juga jarang sekali menunggangi kudanya. Ia datang ke Madinah untuk memimpin sembahyang berjamaah dan kembali ke Sunh di sore hari.
Setiap hari Abu Bakar membeli dan menjual domba, dan mempunyai sedikit gembalaan yang sesekali harus ia gembalakan sendiri. Sebelum menjadi khalifah, ia telah terbiasa memerah susu domba milik kabilahnya, sehingga ketika ia menjadi khalifah, seorang budak anak perempuan menyesalkan dombanya tidak ada yang memerah lagi. Abu Bakar kemudian meyakinkan anak perempuan itu bahwa akan tetap memerah susu dombanya. Sebelum wafat, ia memerintahkan menjual sebidang tanah miliknya dan hasil penjualannya dikembalikan kepada masyarakat Muslim sebesar sejumlah uang yang telah ia ambil dari masyarakat sebagai honorarium.”***

Kamis, 07 April 2011

Cara Mudah Menghafal al-Qur’an


Saya akan memberikan beberapa tips untuk menghafal Al-Qur'an, dan di antaranya adalah sebagai berikut:


  1. Dengan membaca,
  2. Dengan cara menulis, atau
  3. Dengan cara mendegnar bacaan para qurra’.

Perkiraan Waktu Menghafal Al-Qur’an


Perhatikan tabel di bawah ini!
Jumlah hafalan setiap hari
Waktu yang dibutuhkan untuk hafal seluruh al-Qur’an
Jumlah hafalan setiap hari
Waktu yang dibutuhkan untuk hafal seluruh al-Qur’an
tahun
bulan
hari
Tahun
bulan
Hari
1 ayat
17
7
9
12  ayat
1
5
15
2 ayat
8
9
18
13 ayat
1
4
6
3 ayat
5
10
13
14 ayat
1
3
-
4 ayat
4
4
24
15 ayat
1
2
1
5 ayat
3
6
7
16 ayat
1
1
6
6 ayat
2
11
4
17 ayat
1
-
10
7 ayat
2
6
3
18 ayat
-
11
19
8 ayat
2
2
12
19 ayat
-
11
1
9 ayat
1
11
12
½ Lembar
3
4
24
10 ayat
1
9
12
1 Lembar
1
8
12
11 ayat
1
7
6
2 Lembar
-
10
6


Yang diperlukan dalam menghafal al-Qur'an adalah

Jumat, 01 April 2011

Prof. Dr. Nurcholis Madjid

Nurcholish Madjid kecil semula bercita-cita menjadi masinis kereta api. Namun, setelah dewasa, lelaki kelahiran Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939, ini malah menjadi kandidat masinis dalam bentuk lain, menjadi pengemudi lokomotif yang membawa gerbong bangsa. Setidaknya ini terjadi sejak Senin pekan lalu, ketika Ketua Yayasan Wakaf Paramadina ini menyatakan siap menjadi calon Presiden Indonesia pada pemilihan umum mendatang.
Sebenarnya menjadi masinis lokomotif politik adalah pilihan yang lebih masuk akal. Nurcholish muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental membicarakan soal politik ketimbang mesin uap. Keluarganya berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai Haji Abdul Madjid, adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat terjadi “geger” politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap bertahan di Masyumi. “Dengan nuansa politik pada waktu itu, keluarga Cak Nur biasa mengobrol, mendengar, bicara soal-soal politik,” kata Utomo Dananjaya, 67 tahun, sahabat lama Nurcholish.
Utomo juga kerap dituding sebagai salah seorang “kompor” yang mendorong Nurcholish ke pentas politik. “Ah tidak, politik sudah ada dalam pemikiran Cak Nur sejak pemilu tahun 1955. Generasi saya dan dia sudah cukup dewasa untuk memahami, membaca, dan melihat politik,” demikian kata Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta, itu. Kesadaran politik Nurcholish muda terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang aktif sekali dalam urusan pemilu. Apalagi orang tua santri Kulliyatul Mualimin al-Islamiyah Pesantren Darus Salam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, itu adalah kiai, tokoh masyarakat, sekaligus pemimpin Masyumi. “Mengobrol dalam keluarga tentu termasuk juga soal politik. Hanya, Cak Nur itu kan yang menonjol pemikirannya, bukan sikap politiknya,” kata Utomo, yang akrab dipanggil Mas Tom.
Padahal politik praktis mulai dikenal Nurcholish saat menjadi mahasiswa. Ia terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat, tempat Nurcholish menimba ilmu di Fakultas sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Pengalamannya bertambah saat menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI. Saat menjadi kandidat, menurut Eki Syahrudin kepada Utomo, kemampuan Nurcholish sudah cukup komplet. “Pikirannya, ngajinya, menjadi imam, khotbah, ceramah agama, bagus semua. Orang-orang HMI waktu itu terpukau oleh pikiran-pikiran Cak Nur,” kata Utomo menirukan kekaguman Duta Besar Indonesia untuk Kanada itu.
Namun, kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde Baru itu, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangkan Presiden Sukarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama pendapatnya tentang soal demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan westernisme. “Modernisme dilihatnya sebagai gejala global, seperti halnya demokrasi,” ujar Tom.
Pemikiran Nurcholish tersebar melalui berbagai tulisannya yang dimuat secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi, yang diterbitkan anak-anak HMI. Gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak orang, hingga Nurcholish digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda”. “Gelar Natsir muda itu bukan karena dia pintar agama, melainkan karena pemikiran-pemikirannya. Saat itu hampir semua orang bilang begitu,” ujar Utomo, yang mengaku kenal Nurcholish sejak tahun 1960-an, yaitu saat Tom menjadi Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Nurcholish Ketua Umum HMI.
Pemikiran Nurcholish yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”. Nurcholish ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam. Partai atau organisasi Islam dianggap sakral dan orang Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar. Bahkan, bagi kalangan NU, haram memilih Partai Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di mana-mana, termasuk di partai milik penguasa Orde Baru, Golkar. “Waktu itu sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak bersatu, Islam menjadi lemah. Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks yang lebih luas, yaitu kebangsaan,” kata Mas Tom.
Karena gagasannya ini, tuduhan negatif datang ke arah Nurcholish, mulai dari pemikir aktivis gerakan Islam sampai peneliti asing. Di dalam negeri, pemikiran Nurcholish ditentang tokoh Masyumi, Profesor H.M. Rasjidi. Sedangkan dari negeri jiran, Malaysia, ia dicerca oleh Muhammad Kamal Hassan, penulis disertasi yang kemudian diterbitkan dengan judul Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia. Hassan menuding Nurcholish sebagai anggota Operasi Khusus (Opsus) di bawah Ali Moertopo. Tudingan ini dibantah Utomo, yang kenal betul pribadi Nurcholish. “Tuduhan itu tidak berdasar, karena kami saat itu benar-benar bersama-sama. Itu fitnah, dan Kamal Hassan tak pernah bertemu kami untuk mengkonfirmasi sumbernya itu,” ujar Tom.
Kejutan berikut datang lagi pada Pemilu 1977, dalam pertemuan di kantor KAMI, saat para aktivisnya sedang cenderung memilih Golkar sebagai kendaraan politik. Nurcholish satu-satunya tokoh yang meminta agar mahasiswa tidak memilih Golkar. “Sebab, waktu itu, menurut Cak Nur, Golkar sudah memiliki segalanya, militer, birokrasi, dan uang,” kata Utomo. Maka, dalam kampanye Partai Persatuan Pembangunan (P3), Nurcholish mengemukakan teori “memompa ban kempes”, yaitu pemikiran agar mahasiswa memilih partai saja ketimbang Golkar. “Cak Nur percaya pada check and balances, mengajak mahasiswa agar tidak memilih Golkar, dan dia tak masuk Golkar. Ada pengaruh atau tidak? Nyatanya, di Jakarta PPP menang. Dengan tema demokrasinya itu, orang menjadi lebih berani, sehingga Golkar di Jakarta terus-terusan kalah,” ujar Mas Tom.
Pemikiran politik Nurcholish semakin memasuki ranah filsafat setelah ia kuliah di Universitas Chicago, di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, untuk meraih gelar doktor dalam bidang filsafat. Nurcholish terlibat perdebatan segitiga yang seru dengan Amien Rais dan Mohamad Roem. Pemicunya adalah tulisan Amien Rais di majalah Panji Masyarakat, “Tidak Ada Negara Islam”, yang menggulirkan kegiatan surat-menyurat antara Nurcholish yang berada di Amerika dan Roem di Indonesia. Cak Nur menyatakan tidak ada ajaran Islam yang secara qoth’i (jelas) untuk membentuk negara Islam. Surat-surat pribadi itu ternyata tak hanya dibaca Roem, tetapi juga menyebar ke tokoh lain, misalnya Ridwan Saidi dan Tom sendiri.
Barangkali itu sebabnya, ketika Nurcholish pulang dari Amerika pada tahun 1984, setelah meraih gelar Ph.D, lebih dari 100 orang menyambutnya di Pelabuhan Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Mereka antara lain Fahmi Idris, Soegeng Sarjadi, A.M. Fatwa, dan para tokoh lainnya. “Cak Nur saya kira istimewa. Ketika pulang dari AS, ternyata banyak sekali orang yang menyambutnya. Saya tidak pernah me lihat seseorang yang selesai sekolah disambut seperti itu,” kata Mas Tom kagum.
Memang, di kalangan alumni HMI, Nurcholish sangat berpengaruh. Misalnya, saat Korps Alumni HMI akhirnya menerima asas tunggal dan harus menemui Presiden Soeharto di Istana, Nurcholish “diculik” kawan-kawan HMI-nya untuk menghadap Presiden. “Karena ada orang yang berusaha tidak mengikutkannya. Tapi ada yang menyatakan dia harus ikut. Sebab, kalau Cak Nur datang, pertemuan menjadi cukup kuat,” kata ahli pendidikan itu.
Pertemuan Nurcholish dengan Soeharto terakhir, pada Mei 1998, menurut Tom menunjukkan besarnya pengaruh Cak Nur. Saat itu Nurcholish berbicara langsung kepada Soeharto, memintanya mundur. “Itu dikatakan di depan Pak Harto. Saya kira Pak Harto memahami pikiran Cak Nur itu,” kata Utomo. Terbukti sebagian pemikiran Nurcholish, misalnya soal mengadakan pemilu ulang dan menarik tentara dari politik, diambil oleh Soeharto sebagai syarat turunnya.
Tahun 1999, dia sempat digadang-gadang sekelompok orang menjadi calon presiden. Tapi Nurcholish tak mau karena tahu diri bukan orang partai. “Apalagi Gus Dur sudah mencalonkan diri. Saya menjadi makmum saja. Masa, harus ada dua imam,” katanya. Namun, Nurcholish tak berhenti mengkritik Presiden Abdurrahman Wahid. Bahkan Ketua Umum PDI Perjuangan yang sekarang jadi presiden, Megawati Soekarnoputri, diminta tak lagi mencalonkan diri pada Pemilu 2004. “Sebab, ada peluang kondisi Indonesia tak akan membaik dari krisis ekonomi seperti pada masa Megawati saat ini. Pertanyaan besarnya adalah kita tahan-enggak untuk lima tahun sengsara lagi?” kata Nurcholish pertengahan April lalu.
Megawati ternyata tak menggubris permintaan itu. Dan Nurcholish bereaksi dengan menggelar konferensi pers menyatakan siap jadi calon presiden pada pemilu mendatang. Pernyataan itu segera menjadi kepala berita berbagai media cetak ataupun elektronik dan disambut gembira para pendukungnya.
Namun, ada juga yang bersikap lain. Penentang lama Nurcholish, Daud Rasyid, meragukan kemampuan Cak Nur. Menurut Daud, pengalaman Cak Nur terjun ke kancah politik belum ada. “Cak Nur cukup dekat dengan pemerintah Orde Baru, sering memanfaatkan situasi, dan mengikuti arah politik pada saat itu,” katanya. Nah, tipe pemimpin seperti itu, menurut Daud, susah diharapkan membawa bangsa yang besar. “Pemimpin yang dikenal tegar saja menghadapi sebuah rezim kadang-kadang tak kuat,” ujar Daud.
Rupanya, Daud tak menyimak sepuluh butir pernyataan yang menjadi platform Cak Nur. Salah satu butirnya menyebutkan perlunya dilakukan rekonsiliasi nasional. Dan hanya dengan cara ini bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa besar.


Abdurrahman Ambo Dalle

Kemunduran umat Islam Indonesia yang kita lihat dan alami saat ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh para pemimpin dan tokoh-tokoh Islam yang kurang memerhatikan metode pendidikan dan seni dakwah serta tidak menggunakan senjata berupa sumber daya manusia dan dakwah sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain, umat membutuhkan keteladanan dan ulama serta pemimpin bangsa.
Dalam bukunya yang berjudul Anregurutta Ambo Dalle: Mahaguru dari bumi Bugis, HM Nasruddin Anshoriy Ch mengungkapkan, sangat sedikit para pemimpin dan tokoh Islam saat ini yang mampu melakukan kerja keras di bidang pendidikan, menebarkan kasih sayang kepada segenap umat dengan jalan silaturahim, serta berjihad dengan indah melalui jalan dakwah untuk mengajak masyarakat ke jalan benar, lurus, dan lempang sebagaimana yang telah dilakukan sosok mahaguru dari bumi Bugis bernama Abdurrahman Ambo Dalle.
Keteladanan ini pula yang dilakukan Ambo Dalle dalam menebarkan Islam dan kasih sayang kepada umat Islam di Sulawesi Selatan dan murid-muridnya.
Penikmat novel trilogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata tentu masih ingat dengan apa yang dilakukan Lintang, seorang anak nelayan yang harus mengayuh sepeda sejauh 40 kilometer agar bisa menuntut ilmu di SMP Muhammadiyah, Belitong.
Seperti itulah yang dilakukan Ambo Dalle. Ulama asal Sulawesi Selatan ini mengayuh sepedanya sejauh 35 kilometer demi mengajar murid-muridnya dan menemui umatnya untuk berdakwah. Ambo Dalle menunjukkan keteladanan seorang pemimpin dalam mengayomi dan melayani umat. Masihkah ada pemimpin dan ulama seperti Ambo Dalle saat ini?
Anregurutta (guru–Red) Abdurrahman Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan, sekitar tahun 1900, di sebuah desa bernama Ujung yang berada di Kecamatan Tanasitolo, sekitar tujuh kilometer sebelah utara Sengkang yang merupakan ibu kota Kabupaten Wajo. Ayahnya bernama Puang Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Puang Candara Dewi.
Kedua orang tuanya memberi nama Ambo Dalle yang berarti bapak yang memiliki banyak rezeki. Orang tuanya mengharapkan dirinya agar kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abdurrahman diberikan oleh seorang ulama setempat bernama KH Muhammad Ishak pada saat berusia 7 tahun dan sudah dapat menghafal Alquran.
Menuntut ilmu
Pada masa kecilnya, Ambo Dalle mempelajari ilmu agama dengan metode sorogan (sistem monolog), yaitu guru membacakan kitab, sementara murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru. Pelajaran membaca dan menghafal Alquran ia peroleh dari bimbingan bibi serta kedua orang tuanya, terutama sang ibu. Agar lebih fasih membaca Alquran, Ambo Dalle belajar tajwid kepada kakeknya, Puang Caco, seorang imam masjid yang fasih membaca Alquran di Desa Ujung.
Selama menuntut ilmu, Ambo Dalle tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran, seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu, sharaf, tafsir, dan fikih saja, tapi ia juga mengikuti Sekolah Rakyat (Volk School) pada pagi hari serta kursus bahasa Belanda pada sore hari di HIS Sengkang dan belajar mengaji pada malam harinya.
Sementara itu, untuk memperluas cakrawala keilmuan, terutama wawasan modernitas, Ambo Dalle lalu berangkat meninggalkan Wajo menuju kota Makassar. Di kota ini, ia mendapatkan pelajaran tentang cara mengajar dengan metodologi baru melalui Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI). Pada saat itu, SI yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto berada dalam masa kejayaan dan benar-benar membuka tabir kegelapan bagi wawasan sosial, politik, dan kebangsaan di seluruh Tanah Air.
Ketika mengikuti sekolah guru di Makassar inilah, ia menemukan kehidupan sosial yang lain dan jauh berbeda dari tanah Wajo yang masih sepi. Makassar, yang saat itu telah menjadi sebuah kota pelabuhan terpenting di kawasan Indonesia Timur, ramai disinggahi oleh kapal besar dan perahu dari berbagai penjuru yang memuat barang-barang dagangan. Beraneka ragam barang niaga, seperti beras, kelapa, hasil hutan, dan kain tenun sutera, ditawarkan orang-orang di pasar-pasar.
Ketika kembali ke Wajo, Ambo Dalle semakin matang secara keilmuan ataupun wawasan. Karena itu, ia bertekad untuk mencerdaskan putra-putri bangsa, khususnya di daerahnya sendiri. Selain kegiatan rohani dengan pendalaman spiritual yang menjadi gairah hidupnya sehari-hari, kegiatan fisik juga tidak diabaikannya. Misalnya, ia selalu aktif berolahraga. Olahraga yang paling digemarinya adalah sepak bola. Ambo Dalle terkenal sebagai seorang pemain bola yang andal. Karena keahliannya dalam menggiring dan mengolah si kulit bundar, rekan-rekannya menjuluki Ambo Dalle sebagai ‘Si Rusa.’
Selain itu, Ambo Dalle terus menambah ilmunya, terutama dalam ilmu agama. Ia pun belajar kepada ulama-ulama asal Wajo yang merupakan alumni Makkah, seperti H Syamsudin dan Sayyid Ali al-Ahdal. Para ulama asal Wajo ini bermaksud membuka pengajian di kampung halaman mereka.
Merintis madrasah
Salah seorang guru Ambo Dalle, yakni Gurutta H As’ad, suatu ketika menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Ambo Dalle. Ternyata, jawaban Ambo Dalle dianggap yang paling tepat dan benar. Maka, sejak saat itu, ia diangkat menjadi asisten dan mulai meniti karier mengajar serta secara intens menekuni dunia pendidikan.
Berkat kerja sama antara Gurutta H As’ad dan Ambo Dalle, pengajian itu bertambah maju. Hal tersebut terdengar sampai ke telinga Raja Wajo saat itu, Arung Matoa Wajo. Arung Matoa Wajo pun memutuskan mengadakan peninjauan langsung ke tempat pengajian milik Gurutta H As’ad. Dalam kunjungannya, Raja Wajo ini meminta agar Gurutta H As’ad membuka sebuah madrasah yang seluruh biayanya ditanggung pemerintah setempat. Gayung bersambut. Maka, tak lama kemudian, dimulailah pembangunan madrasah.
Madrasah yang dibangun ini menyelenggarakan jenjang pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD), dan tsanawiyah (SMP). Lembaga pendidikan itu diberi nama Al-Madrasah al-Arabiyah al-Islamiyah (disingkat MAI) Sengkang. Lambangnya diciptakan oleh Ambo Dalle dengan persetujuan Gurutta H As’ad bin Abdul Rasyid dan ulama lainnya. Dalam waktu singkat, popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasah) menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah.
Selanjutnya, atas izin sang guru, Ambo Dalle pindah dan mendirikan MAI di Mangkoso pada 29 Syawal 1356 H atau 21 Desember 1938. Mulai saat itulah, ia mendapat kehormatan penuh dari masyarakat dengan gelar Gurutta Ambo Dalle. MAI Mangkoso ini kelak menjadi cikal bakal kelahiran organisasi pendidikan keagamaan bernama Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI).
Sementara itu, sepeninggal Gurutta H As’ad, MAI Sengkang diubah namanya menjadi Madrasah As’adiyah. Perubahan nama tersebut sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa Gurutta H As’ad.
Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah yang dipimpin oleh Ambo Dalle ini sangat pesat. Hal ini terbukti dengan banyaknya permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang MAI Mangkoso. Untuk merespons permintaan itu, dibukalah cabang MAI Mangkoso di berbagai daerah.
Zaman Jepang
Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan. Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai menghadapi kesulitan karena Pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah.
Untuk mengatasi masalah ini, Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Ia pun mengambil inisiatif. Pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca pada bagian pintu dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu, pada malam hari dilarang menggunakan lampu.
Bukannya sepi peminat, justru siasat yang dilakukan Ambo Dalle ini mengundang masyakarat sekitar untuk mendaftarkan anak-anak mereka belajar di madrasah milik Ambo Dalle. Bahkan, cara yang ditempuhnya ini membuat madrasah tersebut luput dari pengawasan Jepang. berbagai sumber ed:sya
Membangun Benteng Tauhid
Setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, Anregurutta Abdurrahman Ambo Dalle dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok Tanah Air.
Melihat kondisi ini, Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang nyaris terbengkalai. Ia sadar, selain bertempur melawan penjajah dengan senjata, berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dalam kolonialisme selama berabad-abad.
Namun, usaha yang dirintis Ambo Dalle ini sempat mengalami kendala ketika terjadi Peristiwa Korban 40 Ribu Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara sekutu (NICA) di bawah komando Kapten Westerling mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat Sulawesi Selatan yang dituduh sebagai ekstremis.
Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso. Banyak santri, yang ditugaskan oleh Ambo Dalle untuk mengajar di cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat beliau untuk mengembangkan MAI.
Bahkan, dalam situasi seperti itu, bersama beberapa ulama alumni MAI Sengkang, ia mengadakan pertemuan alim ulama se-Sulawesi Selatan di Watang Soppeng pada 16 Rabiul Awal 1366 H/7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati pembentukan organisasi yang diberi nama Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. Ambo Dalle kemudian ditunjuk sebagai ketua dan Anregurutta HM Abduh Pabbajah sebagai sekretaris organisasi.
Meski disibukkan memimpin organisasi dan madrasah, Ambo Dalle tidak melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang taat. Ia bersama KH Fakih Usman dari Departemen Agama (Depag) Pusat dipercayakan oleh Pemerintah RI untuk membenahi dan merealisasi pembentukan Departemen Agama wilayah Sulawesi. Tugas itu dapat dilaksanakannya dengan baik. Kepala Depag yang pertama diangkat adalah KH Syukri Gazali, sedangkan Ambo Dalle diangkat menjadi kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Pare Pare pada 1954.
Menurut Prof KH Ali Yafie, salah seorang santri Ambo Dalle, apa yang telah dilakukan oleh gurunya itu selama berpuluh-puluh tahun di bumi Bugis pada khususnya dan bumi Sulawesi pada umumnya adalah sebuah gerakan pembaruan membangun benteng tauhid. Dengan kata lain, yang dikembangkan Ambo Dalle melalui program dakwah, pendidikan, sosial, dan kebudayaan tersebut sesungguhnya bagian dari jihad, ijtihad, dan mujahadah untuk membangun ‘budaya tauhid’.
Keteguhan sikap Ambo Dalle tak lekang di setiap peristiwa dan pergolakan yang ia lalui dalam perjalanan hidupnya. Ketika terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili di Pare Pare tak bergeming dan tetap kukuh dengan prinsip dan keyakinannya. Pada waktu itu, dia berpesan kepada santrinya agar tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan terpengaruh dengan gejolak yang terjadi dalam masyarakat.
Kitab karyanya
Sebagai seorang ulama, Ambo Dalle banyak mengupas berbagai persoalan yang menyangkut hampir semua cabang ilmu agama dalam karya-karya tulisnya. Di antaranya adalah tasawuf, akidah, syariah, akhlak, balaghah, dan mantik. Semua itu tercermin lewat karangan-karangannya yang berjumlah 25 judul buku.
Salah satu karyanya yang dikenal luas adalah kitab Al-Qaulu as-Shadiq fi Ma’rifati al-Khalaqi yang memaparkan perkataan yang benar dalam mengenali Allah SWT dan tata cara pengabdian terhadap-Nya. Menurutnya, manusia hanya dapat mengenal hakikat pengadian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat tentang dirinya.
Untuk mengagungkan Allah, tidak hanya berbekal akal logika, tapi juga dengan melakukan zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makrifat kepada Allah. Meskipun, harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk memikirkan alam semesta sebagai ciptaan Allah SWT. Dalam berzikir, harus dilakukan sesuai dengan dalil-dalil naqli (Alquran dan hadis). Yakni, dilakukan dengan hati, istikamah, dan tidak boleh goyah.
Pendirian dan sikap akidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah yang terdiri atas tiga jilid. Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini kebenarannya tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah.
Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushul-nya tertulis dalam kitab Tanwiru at-Thalib, Tanwiru at-Thullab, dan Irsyadu at-Thullab. Ilmu balaghah (sastra dan paramasastra) dibahas dalam karyanya yang berjudul Ahsanu al-Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya’i, yang menerangkan kosakata dan cara penyusunan kalimat bahasa Arab. Kitab Sullamu al-Lughah menerangkan kosakata, percakapan, dan bacaan.
Beliau juga mengarang pedoman berdiskusi dalam bahasa Arab, yakni kitab Miftahu al-Muzakarah dan tentang ilmu mantik (logika) dalam kitab Miftahu al-Fuhum fi al-Mi’yarif Ulum.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More