Welcome to My website

Selamat datang di website pribadi saya. Tidak neko-neko, disini saya hanya ingin berbagi apa yang bisa saya bagi.

Terima kasih telah berkunjung...

Semoga Bermanfaat
OpulentDelicacy.com

Minggu, 16 Oktober 2011

Perang Paderi (1821-1837)

Masyarakat Minangkabau telah memeluk ajaran Islam sejak Abad 16 atau bahkan sebelumnya. Namun hingga awal abad 19, masyarakat tetap melaksanakan adat yang berbau maksiat seperti judi, sabung ayam maupun mabuk-mabukan. Hal demikian menimbulkan polemik antara Tuanku Koto Tuo -seorang ulama yang sangat disegani, dengan para muridnya yang lebih radikal. Terutama Tuanku nan Reneh.

Mereka sepakat untuk memberantas maksiat. Hanya, caranya yang berbeda. Tuanku Koto Tuo menginginkan jalan lunak. Sedangkan Tuanku nan Reneh cenderung lebih tegas. Tuanku nan Reneh kemudian mendapat dukungan dari tiga orang yang baru pulang dari haji (1803) yang membawa paham puritan Wahabi. Mereka Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piobang dari Lima Puluh Kota.

Kalangan ini kemudian membentuk forum delapan pemuka masyarakat. Mereka adalah Tuanku nan Reneh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan dan Tuanku Kubu Sanang. Mereka disebut "Harimau nan Salapan" (Delapan Harimau). Tuanku Koto Tuo menolak saat ditunjuk menjadi ketua. Maka anaknya, Tuanku Mensiangan, yang memimpin kelompok tersebut. Sejak itu, ceramah-ceramah agama di masjid berisikan seruan untuk menjauhi maksiat tersebut.

Ketegangan meningkat setelah beberapa tokoh adat sengaja menantang gerakan tersebut dengan menggelar pesta sabung ayam di Kampung Batabuh. Konflik terjadi. Beberapa tokoh adat berpihak pada ulama Paderi. Masing-masing pihak kemudian mengorganisasikan diri. Kaum Paderi menggunakan pakaian putih-putih, sedngkan kaum adat hitam-hitam.

Tuanku Pasaman yang juga dikenal sebagai Tuanku Lintau di pihak Paderi berinisiatif untuk berunding dengan Kaum Adat. Perundingan dilngsungkan di Kota Tengah, antara lain dihadiri Raja Minangkabau Tuanku Raja Muning Alamsyah dari Pagaruyung. Perundingan damai tersebut malah berubah menjadi pertempuran. Raja Muning Alamsyah melarikan diri ke Kuantan, Lubuk Jambi. Pada 1818, Raja Muning mengutus Tuanku Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam untuk menemui Jenderal Inggris Raffles di Padang. Gubernur Jenderal Inggris Lord Minto yang berkedudukan di Kalkuta menolak untuk campur tangan soal ini. Melalui "Tractat London", Inggris bahkan menyerahkan kawasan Barat Sumatera pada Belanda.

Pada 10 Februari 1821, Tuanku Suruaso memimpin 14 penghulu dari pihak Adat mengikat perjanjian dengan Residen Du Puy. Du Puy lalu mengerahkan 100 tentara dan dua meriam untuk menggempur kota Simawang. Perang pun pecah. Sejak peristiwa itu, permusuhan kaum Paderi bukan lagi terhadap kalangan Adat, melainkan pada Belanda. Mereka pun memperkuat Benteng Bonjol yang telah dibangun Datuk Bandaro. Muhammad Syabab -kemudian dikenal dengan panggilan Tuanku Imam Bonjol-ditunjuk untuk memimpin benteng itu.

Dengan susah payah Belanda menguasai Air Sulit, Simabur dan Gunung. Dari Batavia, Belanda mengirim bantuan 494 pasukan dan 5 pucuk meriam. Pagaruyung dan Batusangkar dapat direbut. Mereka membangun benteng Fort van der Capellen, dan menawarkan damai. Tuanku Lintau menolak. Pertempuran sengit terjadi lagi. Tanggal 17 Maret 1822, pasukan Letkol Raaff yang hendak menyerang melalui Kota Tengah dan Tanjung Berulak berhasil dijebak Tuanku nan Gelek.

Juli 1822, sekitar 13 ribu pasukan Paderi merebut pos Belanda di Tanjung Alam. Pada 15 Agustus juga merebut Penampung, Kota Baru dan Lubuk Agam. Maka, pada 12 April 1823, Belanda mengerahkan kekuatan terbesarnya di bawah komando Raaff. Sebanyak 26 opsir, 562 serdadu, dan 12 ribu orang pasdukan adat menggempur Lintau. Namun mereka dapat dihancurkan di Bukit Bonio. Pasukan van Geen yang hendak menyelamatkan meriam di Bukit Gadang juga kocar-kacir. Tiga perwira dan 45 serdadu Belanda tewas. Van Geen luka parah tertusuk tombak.

Pada 16 Desember 1823, Raaff kemudian diangkat menjadi Residen menggantikan Du Puy. Ia berhasil membuat perjanjian damai di Bonjol. Namun, diam-diam ia juga mengkonsolidasikan pasukan. Dan bahkan menggempur Guguk Sigadang dan Koto Lawas. Pemimpin Paderi, Tuanku Mensiangan terpaksa hoijrah ke Luhak Agam. Paderi semakin kuat karena kini pasukan adat mulai berpihak ke mereka.

Raaff meninggal lantaran sakit. Penggantinya, de Stuers memilih jalan damai. Langkah ini ditempuhnya karena Belanda mengkonsentrasikan kekuatan untuk menghadapi pemberontakan Diponegoro. Stuers menugasi seorang Arab, Said Salim al-Jafrid, untuk menjadi penghubung. Tanggal 15 Nopember 1825, perjanjian damai pun diteken antara de Stuers dan Tuanku Keramat. Suasana Sumatera Barat kemudian relatif tenang.

Namun pengkhianatan terjadi lagi. Kolonel Elout menggempur Agam dan Lintau. Ia juga menugasi kaki tangannya, anak Tuanku Limbur, untuk membunuh Tuanku Lintau dengan bayaran. Pembunuhan terjadi pada 22 Juli 1832. Usai Perang Diponegoro itu, tentara Belanda dikerahkan kembali ke Sumatera Barat. Kota demi kota dikuasai. Benteng Bonjol pun bahkan berhasil direbut. Namun sikap kasar tentara Belanda pada tokoh-tokoh masyarakat yang telah menyerah, membuat rakyat marah. Ini membangkitkan perlawanan yang lebih sengit.

Pada 11 Janurai 1833, Paderi bangkit. Secara serentak mereka menyerbu dan menguasai pos-pos Belanda di berbagai kota. Benteng Bonjol berhasil mereka rebut kembali. Seluruh pasukan Letnan Thomson, 30 orang, mereka tewaskan. Belanda kembali menggunakan siasat damai lewat kesepakatan "Plaakat Panjang", 25 Oktober 1833. Namun Jenderal van den Bosch kembali menyerbu Bonjol. Ia gagal, 60 orang tentaranya tewas. Kegagalan serupa terjadi pada pasukan Jenderal Cochius.

Namun serangan dadakan berikutnya menggoyahkan kubu Paderi. Masjid dan rumah Imam Bonjol terbakar. Paha Imam Bonjol tertembak. Ia juga terkena 13 tusukan, meskipun ia sendiri berhasil menewaskan sejumlah serdadu. Dalam keadaan terluka parah, Imam Bonjol terus memimpin Paderi dari tempat perlindunganya di Merapak, lalu ladang Rimbo, dan kemudian Bukit Gadang.

Benteng Bonjol kembali jatuh, 16 Agustus 1837. Belanda kemudian menawarkan perundingan damai. Saat itulah Tuanku Imam Bonjol dapat dijebak dan kemudian ditangkap pada 28 Oktober 1837. Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, lalu dipindah ke Ambon pada 19 Januari 1839. Pada 1841, ia dipindahkan ke Manado dan wafat di sana pada 6 Nopember 1864.

Tuanku Tambusai melanjutkan perlawanan dan berbasis di Mandailing -Tapanuli Selatan. Tuanku Tambusai inilah yang menjadikan Mandailing sebagai daerah berbasis muslim.

 

Selasa, 11 Oktober 2011

Andalusia

Bismillah. Tekad itu dipancangkan Thariq bin Ziyad. Sebanyak 7.000 orang pasukan yang dipimpinnya -mereka suku Berber dan Arab-telah selamat tiba di dataran Andalusia atau Spanyol. Mereka telah mengarungi selat yang memisahkan tanah Maroko di Afrika Utara dengan Eropa itu. Tanpa ragu sedikit pun Thariq memerintahkan untuk membakar kapal-kapalnya. Pilihannya jelas: terus maju untuk menang atau mati. Tak ada kata untuk mundur dan pulang.

Peristiwa di tahun 711 Masehi itu mengawali masa-masa Islam di Spanyol.Pasukan Thariq sebenarnya bukan misi pertama dari kalangan Islam yang menginjakkan kaki di Spanyol. Sebelumnya, Gubernur Musa Ibnu Nushair telah mengirimkan pasukan yang dikomandani Tharif bin Malik. Tharif sukses. Kesuksesan itu mendorong Musa mengirim Thariq. Saat itu, seluruh wilayah Islam masih menyatu di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Walid dari Bani Umayah.

Thariq mencatat sukses. Ia mengalahkan pasukan Raja Roderick di Bakkah. Setelah itu ia maju untuk merebut kota-kota seperti Cordova, Granada dan Toledo yang saat itu menjadi ibukota kerajaan Gothik. Ketika merebut Toledo, Thariq diperkuat dengan 5.000 orang tentara tambahan yang dikirim Musa.

Thariq sukses. Bukit-bukit di pantai tempat pendaratannya lalu dinamai Jabal Thariq, yang kemudian dikenal dengan sebutan Gibraltar. Musa bahkan ikut menyebarang untuk memimpin sendiri pasukannya. Ia merebut wilayah Seville dan mengalahkan Penguasa Gothic, Theodomir. Musa dan Thariq lalu bahu-membahu menguasai seluruh wilayah Spanyol selatan itu.

Pada 755 Masehi, Abdurrahman -keturunan Keluarga Umayah yang lolos dari kejaran penguasa Abbasiyah-tiba di Spanyol. Abdurrahman Ad-Dakhil, demikian orang-orang menjulukinya. Ia membangun Masjid Cordova, dan menjadi penguasa tunggal di Andalusia dengan gelar Emir. Keturunannya melanjutkan kekuasaan itu sampai 912 Masehi. Kalangan Kristen sempat mengobarkan perlawanan "untuk mencari kematian" (martyrdom). Namun Dinasti Umayah di Andalusia ini mampu mengatasi tantangan itu.

Abdurrahman Al-Aushat kemudian menjadikan Andalusia sebagai pusat ilmu terpenting di daratan Eropa. Pada 912, Abdurrahman An-Nasir mendengar kabar bahwa khalifah Abbasiyah di Baghdad tewas dibunuh. Ia lalu menggunakan gelar khalifah. Ia mendirikan universitas Cordova dengan perpustakaan berisi ratusan ribu buku.

Hal demikian dilanjutkan oleh Khalifah Hakam. Pusat-pusat studi dibanjiri ribuan pelajar, Islam dan Kristen, dari berbagai wilayah. Ladang-ladang pertanian Spanyol tumbuh dengan subur mengadopsi kebun-kebun dari wilayah Islam lainnya. Sistem hidraulik untuk pengairan dikenalkan. Andalusia inilah yang mendorong era pencerahan atau renaissance yang berkembang di Italia.

Kekacauan timbul setelah Hakam wafat dan kendali dipegang Manshur Billah -seorang ambisius yang menghabisi teman maupun lawan-lawannya. Kebencian masyarakat, baik Islam maupun Kristen mencuat. Situasi tak terkendalikan lagi setelah Manshur Billah wafat. Pada 1013, Dewan Menteri menghapuskan jabatan khalifah. Andalusia terpecah-pecah menjadi sekitar 30 negara kota.

Dua kekuatan dari Maghribi sempat menyatukan kembali seluruh wilayah itu. Pertama adalah Dinasti Murabithun (1086-1143) yang berpusat di Marakesy, Maroko. Pasukan Murabithun datang buat membantu kalangan Islam melawan Kerajaan Castilla. Mereka memutuskan untuk menguasai Andalusia setelah melihat Islam terpecah-belah. Dinasti Muwahiddun, yang menggantikan kekuasaan Murabithun di Afrika Utara, kemudin juga melanjutkan kepemimpinan Islam di Andalusia (1146-1235). Di masa ini, hidup Ibnu Rusyd -seorang pemikir besar yang banyak menafsirkan naskah Aristoteles.

Pada 1238 Cordova jatuh ke tangan Kristen, lalu Seville pada 1248 dan akhirnya seluruh Spanyol. Hanya Granada yang bertahan di bawah kekuasaan Bani Ahmar (1232-1492). Kepemimpinan Islam masih berlangsung sampai Abu Abdullah -meminta bantuan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella-- untuk merebut kekuasaan dari ayahnya. Abu Abdullah sempat naik tahta setelah ayahnya terbunuh. Namun Ferdinand dan Isabella kemudian menikah dan menyatukan kedua kerajaan. Mereka kemudian menggempur kekuatan Abu Abdullah untuk mengakhiri masa kepemimpinan Islam sama sekali.

Sejak itu, seluruh pemeluk Islam (juga Yahudi), dikejar-kejar untuk dihabisi sama sekali atau berpindah agama. Kekejian penguasa Kristen terhadap pemeluk Islam itu dibawa oleh pasukan Spanyol yang beberapa tahun kemudian menjelajah hingga Filipina. Kesultanan Islam di Manila mereka bumihanguskan, seluruh kerabat Sultan mereka bantai.

Memasuki Abad 16, Tanah Andalusia -yang selama 8 Abad dalam kekuasaan Islam-- kemudian bersih sama sekali dari keberadaan Muslim.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More