Welcome to My website

Selamat datang di website pribadi saya. Tidak neko-neko, disini saya hanya ingin berbagi apa yang bisa saya bagi.

Terima kasih telah berkunjung...

Semoga Bermanfaat
OpulentDelicacy.com

Sabtu, 31 Maret 2012

Keadilan, Teks, dan Waktu*

Hubungan antara teks, ruang dan waktu selalu menjadi perdebatan di antara para penafsir, terutama penafsir teks yang dianggap suci. Masalah ini, sebetulnya, bukan saja terjadi di lingkungan masyarakat beragama, tetapi juga masyarakat pada umumnya.
Kenapa “teks” punya kedudukan yang begitu penting seperti raja? Ada banyak penjelasan. Salah satunya yang menurut saya paling penting adalah karena masyarakat bisa disebut sebagai “masyarakat” manakala ada “tata” atau ketertiban dalam dirinya. Orientasi semua masyarakat dalam lingkungan kebudayaan manapun adalah selalu mencari keteraturan, dan, jika itu sudah diperoleh, menjaganya sekuat mungkin, dengan harga apapun.
Inilah sebabnya, semua masyarakat, pada dasarnya, berwatak konservatif. Semua masyarakat akan cenderung menjaga ketertiban dan “tata” (order) yang sudah berhasil ia tegakkan dengan susah payah. Perubahan terhadap tata dan keteraturan, misalnya karena tuntutan zaman, akan selalu membuat masyarakat khawatir dan cemas.
Apa yang disebut tata dan keteraturan dalam masyarakat tentu harus didasarkan pada nilai lain yang sangat penting kedudukannya dalam tegaknya setiap sistem kemasyarakatan. Nilai itu ialah keadilan. Setiap tata atau keteraturan haruslah memenuhi satu syarat, yaitu, dia haruslah tata dan keteraturan yang adil. Tata yang tidak adil, cepat atau lambat, tentu akan rubuh, karena semua anggota dalam masyarakat itu akan melakukan perlawanan terhadapnya. Hingga waktu tertentu, perlawanan bisa dicegah. Tetapi, perlawanan terhadap tata yang tak adil tak bisa dicegah untuk selama-lamanya.
Yang menjadi soal, apa yang disebut “yang adil” bukanlah barang yang mudah didefinisikan. Konsep tentang yang adil juga tidak statis, tetapi bergerak terus. Tetapi, jika standar keadilan berubah terus, bagaimana masyarakat bisa ditegakkan? Bangunan masyarakat, pada akhirnya, toh membutuhkan fondasi yang tetap dan ajeg. Di sinilah, isu “teks” masuk. Teks dibutuhkan oleh masyarakat karena mereka membutuhkan kepastian tentang pengertian keadilan itu. Oleh karena Tuhan dianggap sebagai sumber keadilan yang mutlak, maka teks yang bersumber dari Tuhan (disebut Kitab Suci) dianggap sebagai penjamin konsep keadilan yang paling kokoh. Teks-teks sekular (misalnya konstitusi modern) dianggap tak bisa memenuhi cita-cita ini.
Itulah sebabnya teks suci menempati kedudukan penting dalam masyarakat beragama. Dalam masyarakat sekular yang mempunyai hubungan yang kian longgar atau lebih pribadi dengan agama, kedudukan teks tetaplah penting sebagai penjamin makna keadilan. Hanya saja, teks yang menjadi fondasi masyarakat sekular tidak lagi bersifat “suci”. Dalam masyarakat sekular, kedudukan teks suci digantikan dengan teks konstitusi yang dihasilkan melalui proses kesepakatan sosial.
Baik dalam masyarakat beragama dan masyarakat sekular, ada hal yang mempertemukan keduanya, yakni pentingnya kedudukan teks sebagai penjamin makna keadilan. Teks yang terbentuk melalui jalinan huruf yang membentuk kalimat dan ujaran yang bermakna, memberikan rasa kepastian kepada masyarakat. Suatu pengertian yang pra-teks (seperti pikiran yang ada di benak kita, atau percakapan longgar dalam sebuah diskusi) biasanya tak stabil. Agar suatu pengertian bersifat stabil, dibutuhkanlah teks sebagai “baju” yang memberikan bentuk yang kurang lebih pasti terhadap kekaburan makna pra-tekstual.
Pertanyaannya adalah: apakah konsep keadilan yang begitu rumit bisa ditampung secara menyeluruh dalam sebuah teks, meskipun itu adalah teks yang suci sekalipun? Jika keadaan berubah, waktu terus maju, dan pengertian manusia tentang keadilan berubah secara mendasar, apakah pengertian tentang keadilan yang sudah tertuang dalam teks tertentu (misalnya Quran atau sunnah) harus dipertahankan apa adanya? Ataukah penafsiran ulang atas teks dimungkinkan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebetulnya tak terlalu rumit jawabannya sejauh menyangkut teks yang tak suci, misalnya konstitusi. Masalahnya menjadi rumit jika teks itu dianggap oleh masyarakat tertentu sebagai teks suci yang berasal dari Tuhan dan berlaku sebagai ketentuan yang universal kapanpun dan di manapun.
Berhadapan dengan teks yang tak suci, seseorang dengan mudah akan menempuh jalur yang sederhana: jika teks itu sudah tak sesuai dengan semangat zaman, ya dibuang saja, atau pun jika dibaca, hanya sebagai sumber inspirasi umum saja. Tak ada keharusan untuk menaati makna harafiah dalam teks itu.
Sikap “santai” semacam ini sulit kita berlakukan terhadap teks yang dianggap suci. Jika ada yang memakai sikap rileks seperti itu, dia akan menanggung resiko sosial dan keagamaan yang berat. Sejauh menyangkut teks suci, biasanya seseorang harus menempuh jalan berliku dan argumen yang bertakik-takik yang ujungnya sebetulnya sederhana: bahwa teks suci itu sudah tak relevan, sehingga harus ditafsir ulang, sebab tak mungkin dibuang sama sekali.
Saya akan memberikan contoh sederhana. Sebuah hadis riwayat Ibn Majah menyebutkan, siapapun budak perempuan yang melahirkan anak (karena digauli oleh majikannya), maka ia akan dengan sendirinya menjadi merdeka setelah majikannya itu meninggal. Teks aslinya: ayyuma amatin waladat min sayyidiha fa hiya hurratun ‘an duburin minhu. Dalam kitab-kitab fikih (hukum Islam), biasanya hadis ini menjadi landasan untuk pembahasan lebih jauh tentang apa yang disebut ummahat al-aulad (budak perempuan yang mempunyai anak dari majikannya).
Dalam keyakinan umat Islam, hadis menempati kedudukan sebagai teks suci kedua setelah Quran. Ketentuan yang tertuang dalam hadis, oleh umat Islam dianggap sebagai norma yang mengikat, sebab ia adalah sumber keadilan yang berasal dari Tuhan. Jika demikian halnya, bagaimana kita berhadapan dengan teks pendek di atas yang berasal dari hadis Nabi itu?
Hadis di atas mengandung norma penting tentang keadilan, yakni, hak budak perempuan untuk merdeka setelah majikannya meninggal, karena yang terakhir ini telah menggaulinya sebagai layaknya seorang isteri.
Tetapi, pertanyaan berikutnya juga segera menyeruak ke permukaan: apakah hadis di atas juga mengandung norma lain—misalnya, apakah ia menyetujui lembaga perbudakan? Jawaban tentu jelas sekali: ya. Hadis itu, secara implisit (mafhum/makna tersirat), mengandung pengertian bahwa lembaga perbudakan disetujui oleh Islam. Tidak seperti gerakan abolisionis yang muncul pada abad ke-18 di negeri-negeri Barat yang menghendaki penghapusan perbudakan secara total, Islam datang ke masyarakat Arab pada abad ke-7 dengan ajaran yang non-abolisionistik. Islam bisa menerima lembaga perbudakan pada zaman itu, tetapi, secara pelan-pelan, melakukan reformasi atas lembaga itu. Islam mengenalkan sejumlah norma keadilan dalam memperlakukan budak, antara lain melalui ketentuan tentang hak kemerdekaan otomatis bagi seorang budak perempuan yang memiliki anak dari majikannya setelah yang terakhir ini meninggal, seperti termuat dalam teks hadis di atas.
Pertanyaan berikutnya lagi: apakah lembaga perbudakan ini harus tetap dipertahankan saat ini, semata-mata karena teks hadis di atas mengandung makna implisit tentang pengakuan atas lembaga itu? Jika jawabannya ya, apakah mempertahankan lembaga itu memenuhi norma keadilan untuk konteks sekarang?
Saya kira, jawaban untuk pertanyaan ini sangat mudah: jelas, lembaga perbudakan tak bisa lagi dipertahankan saat ini. Selain berlawanan dengan hukum internasional, ia juga berlawanan dengan norma keadilan yang diajarkan oleh Islam sendiri. Setahu saya, tak ada seorang ulama modern yang masih berpendapat bahwa lembaga perbudakan masih bisa dipertahankan saat ini, dengan alasan bahwa praktek itu tidak pernah dihapuskan secara mutlak baik melalui teks Quran atau hadis.
Contoh kecil ini memperlihatkan beberapa hal. Pertama, baik ketentuan yang berasal dari teks suci (agama) atau teks “sekular” (seperti konstitusi modern), memiliki aspirasi yang sama, yaitu hendak menegakkan tatanan yang adil. Kedua, apa yang disebut sebagai tatanan yang adil sudah tentu berkembang terus, seturut dengan perkembangan peradaban manusia. Pada suatu zaman, lembaga perbudakan dianggap tak menyalahi norma keadilan. Di zaman yang lain, lembaga itu dianggap tak adil lagi, dan karena itu harus dihapuskan sama sekali. Ketiga, karena pengertian tentang norma keadilan ini terus berubah, maka pemahaman kita terhadap teks juga harus berubah, terutama teks suci yang biasanya sama sekali tak bisa dihapuskan begitu saja. Jika pemahaman kita statis, maka kita akan berpendapat bahwa lembaga perbudakan harus tetap dipertahankan dengan landasan teks di atas. Pemahaman yang terakhir ini, jelas bertentangan dengan rasa keadilan manusia modern saat ini.
Tetapi, yang lebih penting dari semuanya ialah kenyataan bahwa teks tak bisa bersifat “exhaustive”,  sempurna dan lengkap memuat makna keadilan secara menyeluruh. Contoh hadis tentang budak umm al-walad di atas adalah ilustrasi yang sangat bagus untuk memperlihatkan ketidaksempurnaan teks dalam memuat pengertian tentang keadilan. Sebab, memang setiap teks akan selalu terikat dengan konteks tertentu. Yang bisa membebaskan teks dari kungkungan konteks ini agar norma keadilan yang terkandung di dalamnya bisa terus relevan ialah pemahaman (baca: tafsir) kita. Manusialah yang bertugas untuk “membebaskan” teks dari kungkungan spasio-temporal yang membatasinya.
 
 
*Ulil Abshar-Abdalla

Rabu, 21 Maret 2012

Tafsir Munir DR. Wahbah Zuhayli


Setelah kemarin saya upload setup qur’an in Ms. Word, saya hari ini mempunyai sesuatu untuk dibagikan kepada teman-teman semuanya. Yakni ebook tafsir munir karangan DR. Wahbah Zuhayli yang cocok untuk tambahan buku bagi yang sudah memiliki maktabah syamilah. Saya upload ebook kitab ini karena saya yakin banyak teman-teman yang membutuhkan kitab ini dalam versi ebook. Entah karena untuk mempermudah ketika membacanya dan mudah dibawa-bawa tapi yang pasti ebook ini sangat murah dan bahkan gratis tis tis..hehe
Sebetulnya keinginan saya untuk menyebarkan ebook ini berawal ketika saya kehilangan kitab tafsir munir karangan DR. Wahbah Zuhayli dua jilid yaitu jilid delapan dan sebelas ketika di kereta dari Rangkasbitung menuju Ciputat (curhat dikit hehe..)
DR. Wahbah Zuhayli

Berawal kecintaan saya dengan kitab ini yang sangat menarik untuk di baca dan dari musibah yang saya alami maka saya berinisiatif untuk mencari versi ebooknya dan setelah saya dapatkan, maka saya pun membagikannya kepada teman-teman yang membutuhkannya.
Maka malam ini saya sempatkan untuk beramal di dunia maya. Langung aja Chekedot….

Selasa, 20 Maret 2012

Qur’an in word

Wah sudah lama sekali ternyata saya tidak pernah upload software di blog ini. Dengan sedikit agak lelah pulang kerja sekaligus tadi pagi saya kehilangan buku tafsir munir karangan DR. Wahbah Zuhayli (curhat dikit hehe..) saya sempatkan untuk beramal di dunia maya.
oy untuk sekedar tahu aja ya bahwa ketika nulis ini saya sedang menikmati makan malam dengan istri tercinta..hehe
Oke hari ini saya upload plug in Qur’an untuk Ms. Word yaitu Qur’an in word. Plug in ini berfungsi untuk menulis al-qur’an beserta terjemahannya dengan mudah di Ms. Word.
Langsung zz download di SINI!

Rabu, 22 Februari 2012

Metode Jigsaw dan penerapannya

Metode  jigsaw adalah teknik pembelajaran kooperatif di mana siswa, bukan guru, yang memiliki tanggung jawab lebih besar dalam melaksanakan pembelajaran. Tujuan dari jigsaw ini adalah mengembangkan kerja tim, ketrampilan belajar kooperatif, dan menguasai pengetahuan secara mendalam yang tidak mungkin diperoleh apabila mereka mencoba untuk mempelajari semua materi sendirian.
Setiap siswa yang ada di “kelompok awal” mengkhususkan diri pada satu bagian dari sebuah unit pembelajaran. Para siswa kemudian bertemu dengan anggota kelompok lain yang ditugaskan untuk mengerjakan bagian yang lain, dan setelah menguasai materi lainnya ini mereka akan pulang ke kelompok awal mereka dan menginformasikan materi tersebut ke anggota lainnya.
Semua siswa dalam “kelompok awal” telah membaca materi yang sama dan mereka bertemu serta mendiskusikannya untuk memastikan pemahaman.
Mereka kemudian berpindah ke “kelompok jigsaw” – dimana anggotanya berasal dari kelompok lain yang telah membaca bagian tugas yang berbeda. Dalam kelompok-kelompok ini mereka berbagi pengetahuan dengan anggota kelompok lain dan mempelajari materi-materi yang baru.
Setelah menguasai materi baru ini, semua siswa pulang ke “kelompok awal” dan setiap anggota berbagi pengetahuan yang baru mereka pelajari dalam kelompok “jigsaw.” Seperti dalam “jigsaw puzzle” (teka-teki potongan gambar), setiap potongan gambar – analogi dari setiap bagian pengetahuan – adalah penting untuk penyelesaian dan pemahaman utuh dari hasil akhir
Jigsaw adalah teknik pembelajaran aktif yang biasa digunakan karena teknik ini mempertahankan tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi.
Fasilitator dapat mengatur strategi jigsaw dengan dua cara:
Pengelompokkan Homogen
Instruksi: Kelompokkan para peserta yang memiliki kartu nomor yang sama. Misalnya, para pe­serta akan diorganisir ke dalam kelompok diskusi berdasarkan apa yang mereka baca. Oleh karena itu, semua peserta yang membaca Bab 1, Bab 2, dst, akan ditempatkan di kelompok yang sama.
Sediakanlah empat kertas lipat, lipatlah masing-masing menjadi dua menjadi papan nama, berilah nomor 1 sampai 4 dan letakkanlah di atas meja.
Kelebihan: Pengelompokan semacam ini memungkinkan peserta berbagi perspektif yang ber­beda tantang bacaan yang sama, yang secara potensial diakibatkan oleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap salah satu bab. Potensi yang lebih besar untuk memunculkan proses analisis daripada hanya sekedar narasi sederhana.
Kelemahan: fokusnya sempit (satu bab) dan kemungkinan akan berlebihan.
Pengelompokkan Hiterogen
Instruksi: Tempatkan para peserta yang memiliki nomor yang berbeda-beda untuk duduk ber­sama. Misalnya, setiap kelompok diskusi kemungkinan akan terdiri atas 4 individu: satu yang telah membaca Bab 1, satu yang telah membaca Bab 2, dsb.
Sediakanlah empat kertas lipat, lipatlah masing-masing menjadi dua menjadi papan nama, berilah nomor 1 sampai 4 dan letakkanlah di setiap meja. Biarkan para peserta mencari tempatnya sendiri sesuai bab yang telah mereka baca berdasarkan “siapa cepat ia dapat”.
Kelebihan: Memungkinkan “peer instruction” dan pengumpulan pengetahuan, memberikan pe­serta informasi dari bab-bab yang tidak mereka baca.
Kelemahan: Apabila satu peserta tidak membaca tugasnya, informasi tersebut tidak dapat dibagi/ didiskusikan. Potensi untuk pembelajaran yang naratif (bukan interpretatif) dalam berbagi infor­masi.

Jumat, 17 Februari 2012

Dua Model Kebebasan*

Dalam pola keberagamaan yang dewasa semacam ini, seseorang didorong untuk bertanggung-jawab secara moral atas segala tindakan yang ia lakukan. Jika yang bersangkutan memutuskan untuk menaati ajaran agama yang ia percayai, maka ketaatannya itu bukanlah disebabkan kerana adanya “polisi moral” yang memaksanya untuk taat. Sebaliknya, ia taat karena ia tahu bahwa ketaatannya itu membawa maslahat yang besar, baik bagi dirinya atau masyarakat secara lebih luas. Ia taat karena dia sadar bahwa dengan itulah dia menjadi manusia yang bermakna. 

Dalam pola keberagamaan yang dewasa itu, seseorang dajarkan bahwa pada akhirnya, kesalehan atau ketidaksalehan adalah perkara yang menyangkut hubungan antara dirinya dengan Tuhan. Tak ada orang lain yang berhak mencampuri urusan yang sangat personal semacam ini.

Bayangkanlah dua situasi berikut ini.
Yang pertama, seorang anak umur belasan tahun (teenager), katakan saja, umurnya 12 tahun. Dia hidup dalam rumah yang diatur oleh berbagai aturan yang keras. Dia diasuh oleh orang tua yang galak yang dengan ketat menerapkan segala bentuk aturan yang ketat. Dia hidup di bawah model dragon parenthood.
Suatu hari, si orang tua absen karena sedang ke luar kota. Si anak tinggal sendirian bersama pembantu di rumah. Sebelum si orang tua pergi, dia telah berpesan agar si pembantu mengawasi si anak. Tentu saja, di mata yang tarakhir ini, otoritas pembantu tak semenakutkan si orang tua. Begitu orang tuanya pergi, anak itu mendadak sontak seperti binatang yang lepas dari kurungan. Ia langsung memanfaatkan situasi bebas karena absennya orang tua itu untuk melakukan apa saja.
Ia mulai meninggalkan bukunya dan menikmati waktu berjam-jam untuk menonton TV dan bermain game di komputer. Si pembantu, demi melihat anak yang sedang menikmati “euforia” kebebasan itu, hanyalah geleng-geleng kepala saja. Dia hendak “ngrawehi” atau mencegah, tetapi si anak tak peduli. Mumpung orang tua saya tak ada, begitu pikir si anak, saya mau melakukan apa saja. Aku telah bebas!
Situasi kedua adalah seorang dewasa yang sudah berumur 30 tahun. Dia sedang menempuh studi pasca-sarjana di sebuah universitas negeri yang terkenal. Dia hidup jauh dari orang tuanya. Bahkan dia harus membiayai kuliahnya sendiri karena keluarganya tak cukup berkemampuan secara ekonomi. Dia hidup sebatang kara di perantauan. Tak ada orang yang mengawasinya. Tak ada orang otoritas apapun yang mengharuskan dia untuk berbuat begini dan begitu. Kalau mau, dia bisa bebas berbuat apa saja. Dia mau tidur sehari-semalam, mau menonton TV selama 24 jam penuh, mau melewatkan waktu setiap hari bersama seorang pacar – kalau dia mau melakukan hal itu semua, dia mempunyai kebebasan penuh. Tak ada seorang pun yang akan menghardiknya.
Tetapi dia tahu, jika hal itu semua dia lakukan, dia bisa gagal dalam sekolahnya, dan masa depannya akan gelap gulita. Dia bisa menikmati kenikmatan maksimal saat ini karena kebebasan yang ia punyai, tetapi dia akan menanggung resiko kegagalan di kemudian hari. Dia memahami benar, setiap tindakan ada konsekwensinya. Setiap aksi akan menimbulkan reaksi di belakang hari.
Karena menyadari situasi semacam itu, dia memilih mengorbankan kenikmatan sesaat, menunda sejumlah privelese hidup pada saat ini, bekerja keras untuk menyelesaikan studinya, demi mencapai kebahagiaan di kemudian hari. Dia tahu, memuaskan diri dengan menikmati segala bentuk kenikmatan pada usia muda adalah hal yang sungguh menggiurkan. Dia bisa melakukannya, jika mau. Tapi dia memutuskan untuk tidak menikmati kemewahan usia muda seperti itu. Dia memilih kerja keras, bersakit-sakit, karena dia hendak meraih kepuasan yang lebih besar saat usia dewasa nanti.
Dalam dua situasi seperti yang saya gambarkan di atas itu, kita berjumpa dengan keadaan yang kurang lebih serupa. Baik anak yang barumur 12 tahun yang sedang ditinggal-pergi oleh orang tuanya itu,  atau si mahasiswa pasca-sarjana yang sedang hidup sendirian di rantau, dua-duanya hidup dalam situasi kebebasan. Mereka bebas untuk melakukan segala hal yang mereka mau.
Tetapi, kita tahu, secara kualitatif, ada perbedaan mendasar antara dua situasi kebebasan itu. Yang pertama adalah kebebasan seorang kanak-kanak yang bahagia karena terlepas dari segala bentuk kekangan lalu bersorak karena akhirnya, tanpa pengawasan Si Orang Tua yang galak, bisa bebas melakukan segala hal, tanpa mengetahui akibat dari tindakannya itu.Yang kedua, adalah kebebasan yang mengandaikan bahwa si subyek yang menikmatinya mengetahui apa konsekwensi segala pilihan bebas yang terhampar di hadapannya.
Kita tentu tahu, kebebasan yang pertama bukanlah kebebasan yang ideal. Kebebasan model pertama ini pada dasarnya bukanlah kebebasan yang sesungguhnya. Dia hanyalah kebebasan semu, kebebasan yang kekanak-kanakan, kebebasan infantilistik. Kebebasan yang sesungguhnya adalah kebebasan jenis kedua; yakni, kebebasan yang mengandaikan rasa tanggung-jawab yang besar. Kebebasan kedua hanya bisa dinikmati oleh orang yang secara mental dan intelektual telah dewasa.
Dua situasi ini saya pakai hanyalah untuk menyampaikan pokok pikiran yang sederhana – bahwa sudah selayaknya, dalam masyarakat, dikembangkan pola keberagamaan yang mendekati situasi kedua di atas. Yaitu, pola keberagamaan yang menekankan pentingnya kebebasan, namun kebebasan yang juga sekaligus mengandaikan tanggung-jawab, persis seperti situasi kedua yang dialami oleh si mahasiswa pasca-sarjana di atas.
Pola keberagamaan yang mendekati situasi pertama, menurut saya, masih kuat mencirikan bagaimana agama diajarkan di dalam masyarakat. Norma agama tentang apa yang boleh dan tak boleh juga sering diajarkan kepada publik dengan cara yang mirip dengan “dragon parent” atau si orang tua galak mengajarkan aturan-aturan yang ketat kepada anaknya yang baru berumur 12 tahun seperti tergambar dalam situasi pertama di atas.
Dalam situasi seperti ini, kerap muncul salah paham di masyarakat tentang makna kebebasan. Seringkali, jika ada pihak tertentu menganjurkan ide kebebasan dalam komunitas agama atau masyarakat tertentu, maka dia akan langsung dituduh hendak mengajarkan kebebasan tanpa batas. Setiap kata kebebasan disebut, yang timbul di benak beberapa pihak ialah kebebasan dalam pengertian sikap permisif atau “apa saja boleh” (anything goes). Reaksi semacam ini muncul, saya kira, karena selama ini pola keberagamaan yang dikembangkan ialah pola yang mirip-mirip dengan pengasuhan anak ala dragon-parenthood. Di mata orang-orang yang diasuh dalam pola keberagamaan semacam ini, menganjurkan kebebasan sama saja dengan menganjurkan situasi “bebas-permisif” seperti dialami oleh si anak berumur12 tahun yang ditinggalkan oleh orang tuanya.
Dengan kata lain, di mata sebagian kalangan masyarakat, kebebasan hanyalah punya satu arti saja, yakni kebebasan infantilisitik.
Para pemikir, intelektual, dan aktivis Muslim yang berwawasan liberal-progresif, biasanya hendak mengembangkan pola keberagamaan yang lain, yakni keberagamaan yang dilandasi oleh kebebasan jenis kedua. Keberagamaan seperti ini mengandaikan bahwa masyarakat seharusnya didorong terus untuk mencapai taraf kedewasaan, bukan dibiarkan berada dalam situasi kanak-kanak, agar Si Orang Tua (elit agama?) bisa terus-terusan berada pada posisi sebagai The Big Brother yang mengawasi kehidupan moral anak-anaknya. Keberagamaan jenis kedua ini juga mengandaikan bahwa seseorang harus diajarkan untuk terus menalar, bukan menerima “perintah agama” sebagaimana adanya, tanpa memperhitungkan konteks yang sudah berubah.
Dengan kata lain, jenis keberagamaan yang hendak dikembangkan oleh mereka adalah keberagamaan yang dewasa dan matang. Dalam keberagamaan model ini, umat seharusnya diajak untuk sampai ke taraf kedewasaan seperti itu, bukan dihambat proses pendewasaannya dengan cara ditakut-takuti dengan ayat ini atau itu, hadis ini atau itu, pendapat ulama ini atau itu, dst.
Dalam keberagamaan yang dewasa semacam ini, seseorang tak diajarkan untuk takut dan resah karena ada orang lain yang mempunyai keyakinan atau paham yang beda dengan dirinya. Sebaliknya, dia justru dibiasakan untuk menghadapi situasi yang beragam. Jika ada orang lain yang memiliki paham atau keyakinan yang berbeda dengan dirinya, dia justru memandangnya sebagai kesempatan positif untuk belajar. Sebab, dengan menjumpai orang-orang lain yang berbeda, dia merasa bahwa dirinya bisa diperkaya secara mental dan intelektual. Dia tak harus sepakat dengan orang-orang lain itu, tetapi dia bisa belajar sesuatu dari mereka.
Dalam pola keberagamaan yang dewasa semacam ini, seseorang didorong untuk bertanggung-jawab secara moral atas segala tindakan yang ia lakukan. Jika yang bersangkutan memutuskan untuk menaati ajaran agama yang ia percayai, maka ketaatannya itu bukanlah disebabkan kerana adanya “polisi moral” yang memaksanya untuk taat. Sebaliknya, ia taat karena ia tahu bahwa ketaatannya itu membawa maslahat yang besar, baik bagi dirinya atau masyarakat secara lebih luas. Ia taat karena dia sadar bahwa dengan itulah dia menjadi manusia yang bermakna.
Dalam pola keberagamaan yang dewasa itu, seseorang dajarkan bahwa pada akhirnya, kesalehan atau ketidaksalehan adalah perkara yang menyangkut hubungan antara dirinya dengan Tuhan. Tak ada orang lain yang berhak mencampuri urusan yang sangat personal semacam ini.
Tentu saja, orang itu tahu bahwa di luar sana ada hukum positif yang mengatur tata-kehidupan sosial agar tertib. Jika dia mencuri, dia tahu dia akan dihukum. Jika seseorang membunuh, dia juga akan diadili. Tetapi perkara bagaimana dia beribadah atau berpakaian, perkara jenis paham atau akidah apa yang dia peluk – hukum positif itu tak punya wewenang apapun untuk mencampurinya. Sebab itu adalah bagian dari kebebasan personal yang seharusnya dihormati oleh hukum publik.
Model keberagamaan seperti inilah yang dikehendaki oleh para intelektual Muslim liberal-progresif di mana-mana. Tujuan akhirnya bukanlah membebaskan umat untuk menjadi kanak-kanak yang bebas berbuat apa saja karena Si Orang Tua sedang tak rumah, tetapi menjadi manusia yang dewasa dengan rasa tanggung-jawab yang mendalam.
Agama dihayati bukan lagi sebagai beban. Agama juga bukan lagi dipandang sebagai sederetan hukum yang tak bisa dinalar, dan harus ditaati tanpa sikap dewasa yang rasional. Agama ditaati karena aturan-aturannya memang masuk akal. Jika aturan-aturan yang lama sudah tak lagi sesuai dengan keadaan, dia tak ragu-ragu untuk memahami aturan itu dengan cara yang baru yang lebih sesuai dengan denyut zaman. Hanya dengan mengembangkan sikap keberagamaan semacam inilah, umat akan mengalami pendewasaan terus-menerus.
* Ulil Abshar Abdala

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More