Welcome to My website

Selamat datang di website pribadi saya. Tidak neko-neko, disini saya hanya ingin berbagi apa yang bisa saya bagi.

Terima kasih telah berkunjung...

Semoga Bermanfaat
OpulentDelicacy.com

Rabu, 22 Mei 2013

“Nothing to Lose” untuk PKS


Assalamu’alaikum wr wb.
“Prahara PKS”, “Kehancuran PKS”, itulah beberapa istilah-istilah yang muncul seiring dengan perkembangan kasus dan persidangan yang dijalani LHI.
Apakah istilah-istilah tersebut berlebihan? Menurut saya tidak juga. Bahkan kalau boleh saya katakan, “kehancuran” PKS sudah dimulai sesaat setelah penangkapan LHI. Kenapa seperti itu? Karena pepatah yang berbunyi “karena nila setitik, rusak susu sebelanga” adalah sangat, sangat, dan sangat berlaku bagi partai ini.
Segala usaha, pelayanan, perilaku, visi dan misi partai ini dari sejak berdirinya, membuat image positif dan mempunyai tempatnya tersendiri di hati masyarakat luas, sampai-sampai partai ini seperti kain putih yang bersih dan tanpa cacat. Namun apa daya, seiring berjalannya waktu partai ini sekarang telah ternoda dan meskipun hanya setitik, mampu menghasilkan reaksi kekecewaan laksana bom atom dari masyarakat, lantaran image positif dan harapan tinggi yang telah terlanjur disematkan untuk PKS sebelumnya. Wajar, dampaknya sangat dahsyat sekali.
Di sisi lain, dari pihak PKS juga tidak tinggal diam. Berbagai upaya klarifikasi dan pembelaan pun dilakukan. Pembelaan yang lebih dari sekedar pembelaan terhadapa individu LHI, tapi pembelaan terhadap perlakuan aparat penegak hukum dan pemberitaan media yang mereka nilai banyak kejanggalannya. Puncaknya, adanya tindakan pelaporan ke mabes polri atas perbuatan Johan Budi (jubir KPK) yang dianggap melakukan perbuatan tidak menyenangkan berkaitan dengan insiden penyitaan mobil LHI.  Tindakan inilah yang menjadikan PKS tambah babak belur di mata masyarakat lantaran dianggap melawan KPK.  Yah…pepatah “sudah jatuh, tertimpa tangga pula” pun berlaku juga bagi PKS.
Tidak cukup itu, perkembangan demi perkembangan dari persidangan banyak menyinggung soal dugaan aliran dana dari AF ke PKS sebagai parpol, sehingga banyak elit PKS yang bolak balik KPK untuk dimintai keterangan. Tidak tanggung-tanggung, wacana pembubaran ataupun pembekuan PKS pun santer terdengar, salah satunya dari ICW. Sepertinya, PKS sudah sangat babak belur ya…ditambah kabar terbaru soal LHI yang dihubung-hubungkan dengan seorang gadis bernama Darin Mumtazah. Apalagi ini???
Apapun perkembangannya, saya akan kutip kalimat sakti dari Johan Budi, yaitu “saya kira, pengadilan adalah tempat yang tepat untuk membuktikan benar atau tidaknya”. Ya…..memang semua ini masih dalam proses pengadilan, belum ada keputusan benar atau salah. Tapi apa lacur, PKS sudah salah dan hancur di mata masyarakat. Iya kan?
Lalu, kenapa artikel ini saya kasih judul Nothing to Lose untuk PKS? Bukankah kalimat itu bermakna bahwa apapun yang sedang dialami PKS saat ini adalah tidak ada untung ruginya bagi PKS? Ya…menurut saya sih begitu.
Apakah bila dikemudian hari nanti PKS bakalan hancur sehancur-hancurnya itu tidak merugikan buat PKS? Ya….tidak rugi. Ingat! Setahu dan seingat saya, PKS lahir dari salah satu harokah islamiyah (pergerakan islami) yang biasa dikenal dengan gerakan tarbiyah. Jauuuuh….sebelum PKS dibentuk. Jadi, kalau saya ibaratkan PKS adalah fisik-nya, maka harokah islamiyah adalah ruh-nya. Sehancur apapun PKS yang notabene hanya sebuah fisik, tidak akan hancur ruh yang menghidupinya yaitu harokah islamiyah. Selama pergerakan tersebut terus bergerak tanpa henti sesuai dengan makna pergerakan itu sendiri, maka selama itu pula apa-apa yang menjadi semangat dari pergerakan itu akan tetap hidup. Semangat dari pergerakan itu sendiri adalah Dakwah Islam.
Sebaliknya, bila dikemudian hari nanti PKS terbukti bersih atau setidaknya tetap dipercaya oleh masyarakat, apakah itu bukan suatu keuntungan buat PKS? Menurut saya sih bukan juga. Justru itu adalah buah dari segala amal dan dakwah yang dilakukan PKS selama ini. Anggaplah bonus. Kenapa saya berkata seperti ini? Ingat! Segala kebaikan itu datangnya dari Alloh SWT. Dia-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada tempat bagi PKS untuk berbangga diri. Karena Alloh SWT sendiri yang telah menjamin bahwa barang siapa yang menolong agama Alloh SWT, maka Alloh SWT akan menolongnya. Sudah otomatis seperti itu.
Jadi intinya, Nothing to Lose untuk PKS. Fokus saja pada tagline kalian yang baru, Cinta, Kerja, Harmoni. Lalu perhatikan apa yang akan terjadi…….
Wassalamu’alaikum wr wb.

Sabtu, 13 April 2013

PKS Anugerahi Habibie Gelar Guru Demokrasi Bangsa


JAKARTA, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menganugerahi Prof Dr Bacharudin Jusuf Habibie gelar Guru Demokrasi Bangsa. Penghargaan diberikan untuk jasa Habibie yang memberikan teladan kepemimpinan demokratis saat menjadi Presiden.
"Kebebasan pers, keran politik untuk berdirinya parpol baru, dan otonomi daerah adalah beberapa dari peninggalan Habibie yang sangat menentukan bangsa ini saat itu," ujar Ketua Fraksi PKS di DPR Hidayat Nurwahid dalam siaran pers yang diterimaKompas.com, Kamis (11/4/2013) malam. Dia mengatakan, selama 16 bulan menjadi Presiden pada 1998-1999, Habibie telah meninggalkan pesan demokrasi yang monumental bagi bangsa Indonesia.
Penghargaan diserahkan oleh Presiden PKS Anis Matta seusai Dialog Demokrasi dan Peradaban yang digelar dalam rangka Milad ke-15 PKS, di Jakarta, Kamis (11/4/2013). Hidayat mengatakan, penghargaan ini diberikan untuk mengingatkan generasi yang saat ini memimpin dan generasi yang lebih muda untuk tetap menjaga nilai-nilai demokrasi yang dasarnya sudah diletakkan para pendiri bangsa dan Habibie sebagai pemimpin di masa transisi.
"PKS berharap, Pak Habibie dapat terus memberikan sumbangsih bagi bangsa ini, menularkan jiwa demokrasi kepada anak-anak muda, dan memotivasi bangsa ini untuk selalu menjaga Indonesia sebagai negara demokratis terbesar di dunia," ujar Hidayat.
Habibie adalah Presiden ketiga Indonesia. Dia menggantikan Soeharto yang menyatakan mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 setelah sebelumnya Habibie menjadi Wakil Presiden. Masa jabatan Habibie berakhir pada 1999, seusai pesta demokrasi yang kemudian mengantarkan Abdurrahman Wahid menjadi Presiden. Saat itu, presiden belum dipilih secara langsung, masih dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
http://nasional.kompas.com/read/2013/04/12/02381426/PKS.Anugerahi.Habibie.Gelar.Guru.Demokrasi.Bangsa

Minggu, 16 Oktober 2011

Perang Paderi (1821-1837)

Masyarakat Minangkabau telah memeluk ajaran Islam sejak Abad 16 atau bahkan sebelumnya. Namun hingga awal abad 19, masyarakat tetap melaksanakan adat yang berbau maksiat seperti judi, sabung ayam maupun mabuk-mabukan. Hal demikian menimbulkan polemik antara Tuanku Koto Tuo -seorang ulama yang sangat disegani, dengan para muridnya yang lebih radikal. Terutama Tuanku nan Reneh.

Mereka sepakat untuk memberantas maksiat. Hanya, caranya yang berbeda. Tuanku Koto Tuo menginginkan jalan lunak. Sedangkan Tuanku nan Reneh cenderung lebih tegas. Tuanku nan Reneh kemudian mendapat dukungan dari tiga orang yang baru pulang dari haji (1803) yang membawa paham puritan Wahabi. Mereka Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piobang dari Lima Puluh Kota.

Kalangan ini kemudian membentuk forum delapan pemuka masyarakat. Mereka adalah Tuanku nan Reneh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan dan Tuanku Kubu Sanang. Mereka disebut "Harimau nan Salapan" (Delapan Harimau). Tuanku Koto Tuo menolak saat ditunjuk menjadi ketua. Maka anaknya, Tuanku Mensiangan, yang memimpin kelompok tersebut. Sejak itu, ceramah-ceramah agama di masjid berisikan seruan untuk menjauhi maksiat tersebut.

Ketegangan meningkat setelah beberapa tokoh adat sengaja menantang gerakan tersebut dengan menggelar pesta sabung ayam di Kampung Batabuh. Konflik terjadi. Beberapa tokoh adat berpihak pada ulama Paderi. Masing-masing pihak kemudian mengorganisasikan diri. Kaum Paderi menggunakan pakaian putih-putih, sedngkan kaum adat hitam-hitam.

Tuanku Pasaman yang juga dikenal sebagai Tuanku Lintau di pihak Paderi berinisiatif untuk berunding dengan Kaum Adat. Perundingan dilngsungkan di Kota Tengah, antara lain dihadiri Raja Minangkabau Tuanku Raja Muning Alamsyah dari Pagaruyung. Perundingan damai tersebut malah berubah menjadi pertempuran. Raja Muning Alamsyah melarikan diri ke Kuantan, Lubuk Jambi. Pada 1818, Raja Muning mengutus Tuanku Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam untuk menemui Jenderal Inggris Raffles di Padang. Gubernur Jenderal Inggris Lord Minto yang berkedudukan di Kalkuta menolak untuk campur tangan soal ini. Melalui "Tractat London", Inggris bahkan menyerahkan kawasan Barat Sumatera pada Belanda.

Pada 10 Februari 1821, Tuanku Suruaso memimpin 14 penghulu dari pihak Adat mengikat perjanjian dengan Residen Du Puy. Du Puy lalu mengerahkan 100 tentara dan dua meriam untuk menggempur kota Simawang. Perang pun pecah. Sejak peristiwa itu, permusuhan kaum Paderi bukan lagi terhadap kalangan Adat, melainkan pada Belanda. Mereka pun memperkuat Benteng Bonjol yang telah dibangun Datuk Bandaro. Muhammad Syabab -kemudian dikenal dengan panggilan Tuanku Imam Bonjol-ditunjuk untuk memimpin benteng itu.

Dengan susah payah Belanda menguasai Air Sulit, Simabur dan Gunung. Dari Batavia, Belanda mengirim bantuan 494 pasukan dan 5 pucuk meriam. Pagaruyung dan Batusangkar dapat direbut. Mereka membangun benteng Fort van der Capellen, dan menawarkan damai. Tuanku Lintau menolak. Pertempuran sengit terjadi lagi. Tanggal 17 Maret 1822, pasukan Letkol Raaff yang hendak menyerang melalui Kota Tengah dan Tanjung Berulak berhasil dijebak Tuanku nan Gelek.

Juli 1822, sekitar 13 ribu pasukan Paderi merebut pos Belanda di Tanjung Alam. Pada 15 Agustus juga merebut Penampung, Kota Baru dan Lubuk Agam. Maka, pada 12 April 1823, Belanda mengerahkan kekuatan terbesarnya di bawah komando Raaff. Sebanyak 26 opsir, 562 serdadu, dan 12 ribu orang pasdukan adat menggempur Lintau. Namun mereka dapat dihancurkan di Bukit Bonio. Pasukan van Geen yang hendak menyelamatkan meriam di Bukit Gadang juga kocar-kacir. Tiga perwira dan 45 serdadu Belanda tewas. Van Geen luka parah tertusuk tombak.

Pada 16 Desember 1823, Raaff kemudian diangkat menjadi Residen menggantikan Du Puy. Ia berhasil membuat perjanjian damai di Bonjol. Namun, diam-diam ia juga mengkonsolidasikan pasukan. Dan bahkan menggempur Guguk Sigadang dan Koto Lawas. Pemimpin Paderi, Tuanku Mensiangan terpaksa hoijrah ke Luhak Agam. Paderi semakin kuat karena kini pasukan adat mulai berpihak ke mereka.

Raaff meninggal lantaran sakit. Penggantinya, de Stuers memilih jalan damai. Langkah ini ditempuhnya karena Belanda mengkonsentrasikan kekuatan untuk menghadapi pemberontakan Diponegoro. Stuers menugasi seorang Arab, Said Salim al-Jafrid, untuk menjadi penghubung. Tanggal 15 Nopember 1825, perjanjian damai pun diteken antara de Stuers dan Tuanku Keramat. Suasana Sumatera Barat kemudian relatif tenang.

Namun pengkhianatan terjadi lagi. Kolonel Elout menggempur Agam dan Lintau. Ia juga menugasi kaki tangannya, anak Tuanku Limbur, untuk membunuh Tuanku Lintau dengan bayaran. Pembunuhan terjadi pada 22 Juli 1832. Usai Perang Diponegoro itu, tentara Belanda dikerahkan kembali ke Sumatera Barat. Kota demi kota dikuasai. Benteng Bonjol pun bahkan berhasil direbut. Namun sikap kasar tentara Belanda pada tokoh-tokoh masyarakat yang telah menyerah, membuat rakyat marah. Ini membangkitkan perlawanan yang lebih sengit.

Pada 11 Janurai 1833, Paderi bangkit. Secara serentak mereka menyerbu dan menguasai pos-pos Belanda di berbagai kota. Benteng Bonjol berhasil mereka rebut kembali. Seluruh pasukan Letnan Thomson, 30 orang, mereka tewaskan. Belanda kembali menggunakan siasat damai lewat kesepakatan "Plaakat Panjang", 25 Oktober 1833. Namun Jenderal van den Bosch kembali menyerbu Bonjol. Ia gagal, 60 orang tentaranya tewas. Kegagalan serupa terjadi pada pasukan Jenderal Cochius.

Namun serangan dadakan berikutnya menggoyahkan kubu Paderi. Masjid dan rumah Imam Bonjol terbakar. Paha Imam Bonjol tertembak. Ia juga terkena 13 tusukan, meskipun ia sendiri berhasil menewaskan sejumlah serdadu. Dalam keadaan terluka parah, Imam Bonjol terus memimpin Paderi dari tempat perlindunganya di Merapak, lalu ladang Rimbo, dan kemudian Bukit Gadang.

Benteng Bonjol kembali jatuh, 16 Agustus 1837. Belanda kemudian menawarkan perundingan damai. Saat itulah Tuanku Imam Bonjol dapat dijebak dan kemudian ditangkap pada 28 Oktober 1837. Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, lalu dipindah ke Ambon pada 19 Januari 1839. Pada 1841, ia dipindahkan ke Manado dan wafat di sana pada 6 Nopember 1864.

Tuanku Tambusai melanjutkan perlawanan dan berbasis di Mandailing -Tapanuli Selatan. Tuanku Tambusai inilah yang menjadikan Mandailing sebagai daerah berbasis muslim.

 

Minggu, 18 September 2011

Perang Diponegoro (1825-1830)

Sebelas November 1785, keluarga kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berbahagia. Hamengku Buwono III (HB-III), hari itu, mempunyai anak pertama yang dinamai Antawirya. Konon Hamengkubuwono I (HB-I) sangat tertarik pada cicitnya itu. Ia, katanya, akan melebihi kebesarannya. Ia akan memusnahkan Belanda.

Antawirya dibesarkan di Tegalrejo dalam asuhan Ratu Ageng, istri HB-I. Di sana ia belajar mengaji Quran dan nilai-nilai Islam. Tegalrejo juga memungkinkannya untuk lebih dekat dengan rakyat. Spiritualitasnya makin terasah dengan kesukaannya berkhalwat atau menyepi di bukit-bukit dan gua sekitarnya. Hal demikian membuat Antawirya semakin tak menikmati bila berada di kraton yang mewah, dan bahkan sering mengadakan acara-acara model Barat. Termasuk dengan pesta mabuknya. Kabarnya, Antawirya hanya "sowan" ayahnya dua kali dalam setahun. Yakni saat Idul Fitri dan 'Gerebeg Maulid".

Antawirya kemudian bergelar Pangeran Diponegoro. Ia tumbuh sebagai seorang yang sangat disegani. Ayahnya hendak memilihnya sebagai putra mahkota. Ia menolak. Ia tak dapat menikmati tinggal di istana. Ia malah menyarankan ayahnya agar memilih Djarot, adiknya, sebagai putra mahkota. Ia hanya akan mendampingi Djarot kelak.

Pada 1814, Hamengku Buwono III meninggal. Pangeran Djarot, yang baru berusia 13 tahun, diangkat menjadi Hamengku Buwono IV. Praktis kendali kekuasaan dikuasai Patih Danurejo IV -seorang pro Belanda dan bahkan bergaya hidup Belanda. Perlahan kehidupan kraton makin menjauhi suasana yang diharapkan Diponegoro. Apalagi setelah adiknya, Hamengku Buwono IV meninggal pada 1822. Atas inisiatif Danurejo pula, Pangeran Menol yang baru berusia 3 tahun dinobatkan menjadi raja. Makin berkuasalah Danurejo.

Saran-saran Diponegoro tak digubris. Danurejo dan Residen Yogya A.H. Smissaert malah berencana membuat jalan raya melewati tanah Diponegoro di Tegalrejo. Tanpa pemberitahuan, mereka mematok-matok tanah tersebut. Para pengikut Diponegoro mencabutinya. Diponegoro minta Belanda untuk mengubah rencananya tersebut. Juga untuk memecat Patih Danurejo. Namun, pada 20 Juli 1825, pasukan Belanda dan Danurejo IV mengepung Tegalrejo. Diponegoro telah mengungsikan warga setempat ke bukit-bukit Selarong. Di sana, ia juga mengorganisasikan pasukan.

Pertempuran pun pecah. Upaya damai dicoba dirintis. Belanda dan Danurejo mengutus Pangeran Mangkubumi -keluarga kraton yang masih dihormati Diponegoro. Namun, setelah berdialog, Mangkubumi justru memutuskan bergabung dengan Diponegoro. Gubernur Jenderal van der Capellen memperkuat pasukannya di Yogya. Namun 200 orang tentara itu, termasuk komandannya Kapten Kumsius, tewas di Logorok, Utara Yogya, atas terjangan pasukan Diponegoro di bawah komando Mulyosentiko.

Dalam pertikaian ini, dua kraton Surakarta -Paku Buwono dan Mangkunegoro- berpihak pada Belanda. Pasukan pimpinan Tumenggung Surorejo dapat menghancurkan pasukan bantuan Mangkunegoro. Di Magelang, pasukan Haji Usman, Haji Abdul Kadir mengalahkan tentara Belanda dan Tumenggung Danuningrat. Danuningrat tewas di pertempuran itu. Di Menoreh, Diponegoro sendiri memimpin pertempuran yang menewaskan banyak tentara Belanda dan Bupati Ario Sumodilogo.

Markas Prambanan diduduki. Meriam-meriam Belanda berhasil dirampas. Di daerah Bojonegoro-Pati-Rembang, pihak Belanda ditaklukkan pasukan rakyat Sukowati pimpinan Kartodirjo. Pertahanan Belanda di Madiun dihancurkan pasukan Pangerang Serang dan Pangeran Syukur. Belanda kemudian mendatangkan pasukan Jenderal van Geen yang terkenal kejam di Sulawesi Selatan. Dalam pertempuran di Dekso, Sentot Alibasyah menewaskan hampir semua pasukan itu. Van Geen, Kolonel Cochius serta Pangeran Murdoningrat dan Pangeran Panular lolos.

Murdoningrat dan Panular kembali menyerang Diponegoro. Kali ini bersama Letnan Habert. Di Lengkong, mereka bentrok. Habert tewas di tangan Diponegoro sendiri. Pasukan Surakarta yang sepakat melawan Diponegoro dihancurkan di Delanggu. Benteng Gowok yang dipimpin Kolonel Le Baron, jatuh dalam serbuan 15-16 Oktober 1826. Diponegoro tertembak di kaki dan dada dalam pertempuran itu. Pasukan Sentot Alibasyah yang tinggal selangkah merebut kraton Surakarta dimintanya mundur. Tujuan perang, kata Diponegoro, adalah melawan Belanda dan bukan bertempur sesama warga.

Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya. Pemberontakan Paderi di Sumatera Barat, untuk sementara dibiarkan. Sekitar 200 benteng telah dibangun untuk mengurangi mobilitas pasukan Diponegoro. Perlahan langkah tersebut membawa hasil. Dua orang panglima penting Diponegoro tertangkap. Kyai Mojo tertangkap di Klaten pada 5 Nopember 1828. Sentot Alibasyah, dalam posisi terkepung, menyerah di Yogya Selatan pada 24 Oktober 1829.

Diponegoro lalu menyetujui tawaran damai Belanda. Tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro disertai lima orang lainnya (Raden Mas Jonet, Diponegoro Anom, Raden Basah Martonegoro, Raden Mas Roub dan Kyai Badaruddin) datang ke kantor Residen Kedu di Magelang untuk berunding dengan Jenderal De Kock. Mereka disambut dengan upacara militer Belanda. Dalam perundingan itu, Diponegoro menuntut agar mendapat "kebebasan untuk mendirikan negara sendiri yang merdeka bersendikan agama Islam."

De Kock melaksanakan tipu muslihatnya. Sesaat setelah perundingan itu, Diponegoro dan pengikutnya dibawa ke Semarang dan terus ke Betawi. Pada 3 Mei 1830, ia diasingkan ke Manado, dan kemudian dipindahkan lagi ke Ujungpandang (tahun 1834) sampai meninggal. Di tahanannya, di Benteng Ujungpandang, Diponegoro menulis "Babad Diponegoro" sebanyak 4 jilid dengan tebal 1357 halaman.

Pergolakan rakyat pimpinan Diponegoro telah menewaskan 80 ribu pasukan di pihak Belanda -baik warga Jawa maupun Belanda dan telah menguras keuangan kolonial. Hal demikian mendorong Belanda untuk memaksakan program tanam paksa yang melahirkan banyak pemberontakan baru dari kalangan ulama. Di Jawa, para pengikut Diponegoro seperti Pangeran Ario Renggo terus melancarkan perlawanan meskipun secara terbatas.

Kamis, 15 September 2011

Pasai-Aceh

Catatan tertua tentang kerajaan wilayah ini berasal dari Cina. Yakni tentang kedatangan utusan dari negeri Lan Wo Li (Lamuri) dan Samutala (Samudera) Nama kedua utusan itu bercirikan muslim. Lamuri kini berlokasi di Aceh Besar, sedangkan Samudera berada di kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara.

Pada 1345, Ibnu Batuthah dari Maroko singgah di Samudera Pasai dalam perjalanan dari Delhi-India ke Cina. Ia menggambarkan jumlah penduduk kota sekitar 20 ribu jiwa. Di sana terdapat istana yang ramai dengan ratusan ilmuwan dan ulama. Pada masa itu, sultan adalah Ahmad Malik Ad-Dhahir (1326-1371). Ia mewarisi kekuasaan di sana dari Sultan Muhammad Malik ad-Dhahir (1297-1326).

Yang dianggap sebagai pembangun Dinasti Kerajaan Samudera Pasai adalah Merah Silu (1275-1297). Semula, ia adalah penyembah berhala. Kemudian Merah Silu masuk Islam dan menggunakan nama Malik Saleh. Beberapa nama sultan sempat tercatat. Antara lain Zainal Abidin Malik (1371-1405), lalu Sultan Hidayah Malik, juga Nahrisyah.

Bersamaan dengan itu, di ujung utara Aceh juga tumbuh menjadi satu pusat kekuasaan. Buku "Sejarah Umat Islam" terbitan MUI menyebut sembilan nama sultan yang dimulai dengan Johansyah (601 H. atau sekitar peralihan abad 12-13 Masehi), sebelum kemudian terjadi dua kerajaan kecil. Yakni raja Mudhafarsyah di Mahkota Alam dan Inayatsyah di Darul Kamal. Mudhafarsyah menang. Penggantinya, Ali Mughayatsyah menyatukan kedua kerajaan itu, dan menetapkan Bandar Aceh Darussalam sebagai ibukota.

Mughayatsyah pula yang menyatukan Kesultanan Pasai ke dalam kendalinya pada 1524. Pasai berakhir. Wilayah Deli bahkan dikuasai. Pada 1521, armada laut Aceh menghancurkan kekuatan Portugis pimpinan Jorge de Brito. Anak Mughasyatsyah, Salahuddin, pada 1537 menyerang Malaka namun gagal. Aceh dapat memulihkan kekuatannya di masa Sultan Alauddin Rihayatsyah yang digelari Al- Kahar (sang penakluk).

Musafir Portugis F. Mendez Pinto yang tinggal di Aceh 1539, menyebut pasukan Al-Kahar berasal dari berbagai bangsa. Ia memiliki batalyon tentara Turki. Al-Kahar dua kali menggempur Malaka, yakni 1547 dan 1568. Pasukannya bahkan mengalahkan Portugis (1562) dengan meriam yang dibelinya dari Turki. Masyarakat Aceh mengenal cerita "lada secupak". Cerita sat Raja Aceh mengirim utusan ke Turki untuk membeli meriam dengan menggunakan lada sebagai pembayarannya. Di Turki mereka lama menunggu, sampai akhirnya utusan itu menjual lada sedikit demi sedikit sehingga tinggal "secupak".

Pada 28 September 1571, Sultan Alauddin wafat. Perebutan kekuasaan terus terjadi, sampai seorang tua bernama Sayyid Al-Mukammil disepakati menjadi raja. Ali Riayatsyah menggantikan Al-Mukammil. Aceh diserbu Portugis. Raja wafat dalam serbuan itu. Iskandar Muda -keponakan yang tengah dipenjara oleh raja-bangkit memimpin perlawanan dan mampu mengusir Portugis. Kitab "Bustanus-salatin" menyebut Iskandar Muda dinobatkan pada 6 Dzulkhijjah 1015, atau awal April 1607.

Para bangsawan kerajaan dikontrol dengan keras oleh Iskandar Muda. Mereka diharuskan ikut jaga malam di istana setiap tiga hari sekali tanpa membawa senjata. Setelah semua terkontrol, Iskandar Muda memegang kendali terhadap produksi beras. Di masanya, Kerajaan Aceh Darussalam mengekspor beras keluar wilayah. Ia memperketat pajak kelautan bagi kapal-kapal asing, mengatur kembali pajak perdagangan (saat itu banyak pedagang Inggris dan Belanda berada di Aceh), bahkan juga mengenai harta untuk kapal karam.

Untuk militer, Iskandar Muda membangun angkatan perang yang sang kuat. Seorang asing, Beaulieu mencatat jumlah pasukan darat Aceh sekitar 40 ribu orang. Untuk armada laut, diperkirakan Aceh memiliki 100-200 kapal, diantaranya kapal selebar 30 meter dengan awal 600-800 orang yang dilengkapi tiga meriam. Ia juga mempekerjakan seorang Belanda sebagai penasihat militer yang mengenalkan teknik perang bangsa Belanda dan Perancis. Benteng Deli dijebol. Beberapa kerajaan ditaklukkan seperti Johor (1613), Pahang (1618), Kedah (1619) serta Tuah (1620).

Iskandar Muda wafat pada 29 Rajab 1046 H, atau 27 Desember 1636. Ia digantikan menantunya, Sultan Iskandar Tsani yang lembut. Tidak bertangan besi seperti mertuanya. Iskandar Tsani lebih menitikberatkan pada masalah keagamaan ketimbang kekuasaan. Begitu pula istrinya, Sri Sultan Taju al_Alam Syafiatuddin Syah (1641-1675) setelah Iskandar Tsani wafat. Setelah itu, tiga perempuan memegang kendali kerajaan Aceh. Mereka adalah Sultanah Nurul Alam Zakiatuddin Syah (1675-1677), Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (1677-1688) dan Ratu Kamalat. (1688-1699).

Kesultanan Aceh terus berjalan. Namun, pamornya terus menyurut. Pertikaian internal terus berlangsung. Sementara pusat kegiatan ekonomi dan politik bergeser ke selatan ke wilayah Riau-Johor-Malaka. Aceh baru muncul kembali dua abad kemudian, yakni akhir Abad 19, ketika Belanda berusaha menguasai wilayah tersebut. Pemberontakan oleh para bangsawan Aceh terjadi. Sekali lagi, sejarah Aceh kepemimpinan perempuan yakni melalui perlawanan Tjut Nya' Dhien, sekalipun sudah tanpa Teuku Umar dan Panglima Polim.n Dua abad kemudian, kepemimpinan perempuan di Aceh mewujud pada Tjut Nya' Dhien yang memimpin pemberontakan terhadap Belanda.

Selasa, 09 Agustus 2011

Dirgahayu RI Ke-67

Jika kita sebutkan tanggal 9 Ramadhan 1365 mungkin kurang familiar di telinga bahkan di antara kita ada yang belum tahu bahwa ada apakah pada hari itu, tapi kalau disebutkan 17 Agustus 1945 insya Allah pasti sudah pada tahu. Padahal kedua tanggal itu terjadi pada saat yang sama yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Pada hari ini yang tepat tanggal 9 Ramadhan 1432 H berarti kita bisa merayakan HUT RI yang ke 67 menurut perhitungan perputaran bulan (Qamariyah) yang oleh umat Islam dihitung sejak hijrahnya Rasul SAW dari kota Makkah ke Yatsrib yang selanjutnya dinamakan kota Nabi (Madinatun Nabi) Al-Madinah.

Pada kesempatan kali ini saya ingi mengucapkan selamat HUT RI ke-67 menurut perhitungan kalender Hijriyah. Semoga pada tahun ini muncullah sufi-sufi kantor, dewan, dan di segala bidang, yang insya Allah akan berdampak pada kemajuan bangsa dan negara tercinta ini. Dikarenakan banyak para korup yang bertaubat karena mereka tidak hanya menjadi sufi sebatas halaman Masjid.

Selamat Ulang Tahun Indonesiaku…

Jumat, 08 Juli 2011

Perang Aceh (1873-1903)

Awalnya adalah "Tractat London 1871". Dalam perjanjian tersebut, Inggris menyerahkan seluruh wilayah Sumatera pada Belanda. Sebelumnya, "Tractat 1824", wilayah yang diserahkan hanya "Pantai Barat Sumatera". Dengan demikian Aceh terlindung dari tangan-tangan Belanda.

Kini Belanda mengincar Aceh. Pada 27 Desember 1871, wakil Sultan Aceh -Habib Abdurrahman-berunding dengan Belanda di geladak kapal Jambi. Intinya, Aceh sepakat untuk berdagang dan bersahabat dengan Belanda asalkan wilayah yang pernah menjadi bagian Kerajaan Aceh dikembalikan. Di antaranya adalah Sibolga, Barus, Singkel, Pulau Nias dan beberapa kerajaan di pesisir Sumatera Timur. Lima orang utusan Sultan Aceh dipimpin Tibang Muhammad datang untuk berunding dengan Residen Riau, Desember 1872.

Sebulan di Riau duta tersebut pun diantar pulang dengan kapal uap Mernik, melalui Singapura. Di Singapura, mereka sempat bertemu dengan Konsul Amerika dan Konsul Italia. Pertemuan tersebut dimanfaatkan Belanda untuk menuduh Aceh berselingkuh. Belanda lalu mempersiapkan armada perangnya untuk menggempur Aceh. Kesultanan Aceh juga bersiaga. Mereka mendatangkan 1349 senjata -berikut 5.000 peti mesiu-dari Pulau Pinang. Rakyat juga telah dimobilisasi oleh T. Chik Kutakarang.

Tanggal 1 April 1873, F.N. Nieuwenhuyzen menyatakan perang. Sebanyak 33 kapal mengepung Aceh, dengan kekuatan 168 perwira dan 3198 prajurit. Tanggal 5 April, perang pecah di Pantai Cermin -Banda Aceh. Kapal "Citadel van Antwerpen" terkena 12 tembakan meriam. Belanda terus mendesak ke arah Masjid Raja dan "dalam" -istilah untuk menyebut istana. Rakyat Aceh -yang terus meneriakkan "La ilaha illallah"-semakin gigih. Tanggal 14 April, Jenderal Mayor J.H.R. Kohler tewas. Belanda mundur. Sebanyak 45 orang pasukan Belanda tewas, 405 lain luka-luka. Tanggal 25 April, serdadu Belanda kembali ke kapal. Empat hari kemudian, mereka meninggalkan pantai Aceh.

Tanggal 16 Nopember 1873, 60 kapal bertolak dari Batavia untuk kembali menyerang Aceh. Kapal tersebut membawa 389 perwira, 7888 serdadu, 32 perwira dokter, juga "3565 orang hukuman dan 246 perempuan". Mereka membawa pula 206 pucuk meriam dan 22 mortir, dilengkapi pasukan zeni pembuat rel kereta api dan rakit untuk menyusuri sungai, seorang pastur, seorang ustad H.M. Ilyas asal Semarang, dan lima orang Jawa dan Cina sebagai mata-mata.

Sebelumnya, Belanda juga telah menyusupkan seorang bernama Ali Bahanan. Mangkunegara yang membantu Belanda menggempur Diponegoro, dilibatkan pula dalam serangan ke Aceh. Perwira Mangkunegara Ario Gondo Sisworo ikut berangkat ke Aceh bersama Perwira Paku Alam, Raden Mas Panji Pakukuning. Tanggal 9 Desember 1873, tentara Belanda mendarat di Kualalue dan bergerak di Kuala Gigieng. Perlawanan pasukan Tuanku Hasyim dan Tuanku Manta Setia dipatahkan Jenderal Mayor Verpijck.

Panglima Polim mengorganisasikan 3000 pasukannya di sekitar Masjid Raya. Ia dibantu 800 tentara Raja Teunom, 500 tentara Raja Pidie, dan sekitar 1000 rakyat Peusangan. Namun, 6 Januari 1874, Masjid Raya jatuh. Tanggal 13 Januari, Sultan dan Panglima Polim meninggalkan istana dan mengungsi ke Luengbata, lalu Pade Aye. Namun lima hari kemudian Sultan wafat karena penyakit kolera. Panglima Polim dan petinggi kerajaan kemudian mengangkat Muhammad Daudsyah -putra sultan yang baru berusia enam tahun-- sebagai sultan baru. Tanggal 31 Januari 1874, Jenderal van Swieten mengumumkan bahwa Aceh sudah ditaklukkan.

Namun, di luar Banda Aceh, perlawanan terus berlangsung sengit. Habib Abdurrahman, utusan Aceh ke Turki, berhasil mendarat di Idi dengan menyamar sebagai seorang Keling. Ia memimpin perlawanan yang menimbulkan banyak korban di kalangan Belanda. Belanda memperkuat gempurannya dengan mengganti Jenderal Diemont dengan Van der Hejden. Mereka berhasil menjepit perlawanan rakyat Aceh. Habib Abdurrahman menyerah, dan dikirim ke Jedah dengan kapal "Curacau" pada 23 Nopember 1878, dan dibekali 1200 ringgit. Dari Habib Abdurrahman, Belanda juga mendapat strategi untuk mematahkan rakyat Aceh.

Di Aceh Barat, Teuku Umar dan istrinya, Tjut Nya' Dhien memimpin perlawanan. Di Tiro, Tengku Cik di Tiro Muhammad Amin dan penggantinya, Tengku Syeikh Saman menggalang perlawanan rakyat. Pada Agustus 1893, Teuku Umar sempat menyeberang ke pihak Belanda dan dianugerahi gelar Teuku Umar Johan Pahlawan.

Tiga tahun kemudian, Teuku Umar bergabung kembali dengan kawan-kawannya. Ia, bersama Sultan dan Panglima Polim habis-habisan bertempur. Dalam pertempuran di Pulo Cicem dan Kuta Putoih, 78 orang tentara Aceh tewas. Teuku Umar mundur ke Aceh Barat. Ia tewas pada 11 Februari 1899, dalam bentrokan di Meulaboh. Gubernur J.B. Van Heutz memimpin langsung serangan ke Pidie. Ia juga menggunakan penasihatnya, Snouck Horgonje, yang mengaku telah masuk Islam untuk menarik simpati rakyat Aceh.

Sultan dan Panglima Polim membentuk basis di Kuta Sawang. Namun pertahanan tersebut hancur dalam serangan 14 Mei 1899. Di saat kekuatan Sultan terdesak, di Aceh Timur seorang ulama bernama Abdullah Pakeh atau Teungku Tapa, berhasil mengorganisasikan 10 ribu pasukan. Ia juga menggalang laskar perempuan berkekuatan 500 orang. Berulang kali pasukan Teungku Tapa menyulitkan tentara Belanda.

Pertempuran demi pertempuran terus berlangsung. Februari 1900, Sultan dan para pengikutnya menyingkir ke Gayo. Tanggal 1 Oktober 1901, Mayor G.C.E van Daaelen menyisir Tanah Gayo di pedalaman sekitar Danau Laut Tawar. Tidak ada hasil. Belanda kemudian bersiasat dengan menangkap istri Sultan di Glumpang Payong, dan kemudian istri lainnya di Pidie. Anak Sultan, Tuanku Ibrahim, juga ditangkap. Sultan, pada tanggal 10 Januari 1903, menyerahkan diri setelah Belanda mengancam akan mengasingkan istri dan anak sultan. Tanggal 6 September 1903, Panglima Polim juga menyerah setelah istrinya ditangkap. Perlawanan Tjut Nya' Dhien juga dapat diakhiri. Ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, dan meninggal pada 1906. Perlawanan rakyat masih terus berlangsung. Namun Belanda telah menguasai keadaan.

Senin, 20 Juni 2011

Demak-Mataram

Adalah Raden Patah yang menjadi perintis kerajaan Islam di Jawa. Ia disebut-sebut sebagai putra Raja Majapahit Brawijaya V dengan putri asal Campa (kini Kamboja) yang telah masuk Islam. Masa kecilnya dihabiskan di Pesantren Ampel Denta -pesantren yang dikelola Sunan Ampel. Ibu Sunan Ampel (istri Maulana Malik Ibrahim) juga putri penguasa Campa. (Lihat: "Walisongo").

Ketika Majapahit melemah dan terjadi pertikaian internal, Raden Patah melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit dan membangun Kesultanan Demak. Dalam konflik dengan Majapahit, ia dibantu Sunan Giri. Berdirilah Kesultanan Demak pada 1475 atau beberapa tahun setelah itu. Kelahiran Demak tersebut mengakhiri masa Kerajaan Majapahit. Banyak penganut Hindu kemudian pindah ke Bali mendesak penduduk asli, atau mengasingkan diri ke Tengger.

Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa pengganti Raden Patah adalah Pangeran Sabrang Lor. Dia yang menyerbu Portugis di Malaka pada 1511. Pangeran Sabrang Lor ini tampaknya adalah Dipati Unus menurut sumber Portugis. Pada 1524-1546, kekuasaan Demak dipegang oleh Sultan Trenggono yang dilantik oleh Sunan Gunung Jati -Sultan Cirebon yang juga salah seorang "walisongo".

Dalam buku "Sejarah Ummat Islam Indonesia" yang diterbitkan Majelis Ulama Indonesia, Trenggono banyak membuat langkah besar. Pada masanya, Sunda Kelapa (kini Jakarta) digempur. Berbagai wilayah lain ditaklukkannya. Namun ia tewas dalam pertempuran menaklukkan Panarukan - Jawa Timur. Ia diganti adiknya, Sunan Prawoto, yang lemah. Banyak adipati memberontak. Prawoto dibunuh Adipati Jipang, Ario Penangsang.

Demak berakhir. Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya -menantu Trenggono-memindahkan kerajaan ke Pajang. Atas bantuan Senopati, anak Ki Ageng Pemanahan, Ario Penangsang dapat dikalahkan. Senopati dijadikan menantu Sultan. Begitu Adiwijaya wafat, dia mengambil alih kekuasaan dan memindahkannya ke Mataram.

Senopati berkuasa dengan tangan besi. Legenda rakyat menyebut ia membunuh menantunya sendiri, Ki Mangir, dengan menghantamkan kepala korban ke batu. Ia digantikan anaknya, Pangeran Seda ing Krapyak yang meninggal pada 1613. Pemerintahan dilanjutkan oleh anak Seda ing Krapyak, Mas Rangsang yang kemudian bergelar Sultan Agung (1613-1645).

Model kepemimpinan Sultan Agung dianggap menjadi patron "kepemimpinan Soeharto". Dia memegang erat kekuasaan dengan gaya yang anggun. Wilayah demi wilayah ditaklukkannya untuk tunduk ke Mataram. Adipati Ukur di Sumedang diserangnya. Panembahan Kawis Gua -pelanjut Sunan Giri- berhasil dibekuk dan ditawan di Mataram. Blambangan digempur.

Kesultanan Cirebon diikatnya dengan perkawinan. Putri Sultan Agung menikah dengan Pangeran Cirebon. Adipati Surabaya yang memberontak dikalahkannya, lalu Pangeran Pekik, putra adipati itu diambilnya sebagai menantu.

Ia juga mengirim utusan ke Mekah, menggunakan kapal Inggris, untuk memperoleh gelar Sultan. Tahun 1641, gelar itu diperolehnya. Jadilah Mataram bukan hanya pusat kekuasaan namun juga pusat Islam di Jawa. Sultan Agung mengubah penanggalan Jawa dari Tahun Saka menjadi Tahun Hijriah. Ia juga memerintahkan para pujangga kraton untuk menulis 'Babad Tanah Jawi'.

Setelah era Demak, Sultan Agung adalah satu-satunya kekuasaan yang berani menggempur asing. Pada 1618, VOC Belanda bertikai dengan Jepara yang berada di pihak Mataram. Pada 1628 dan 1629, Sultan Agung dua kali menyerang markas VOC di Batavia. Upayanya gagal setelah gudang persediaan makanannya dibakar Belanda.

Pada Februari 1646, Sultan Agung wafat. Ia dimakamkan di puncak bukit imogiri, komplek pemakaman yang dibangunnya pada 1631. (Soeharto juga membangun komplek pemakamannya sendiri). Ia digantikan anaknya, Amangkurat I (1647-1677). Pada masa inilah, Mataram hancur. Ia banyak mengumbar nafsu. Ribuan ulama dikumpulkan di alun-alun untuk dibantai karena mereka bersimpati pada Pangeran Alit, paman Amangkurat yang tewas setelah berontak.

Sang anak, Amangkurat II, seorang ambisius. Ia ingin sesegera mungkin mendepak ayahnya. Ia mengundang kawannya seorang Madura, Trunojoyo, untuk memberontak. Trunojoyo menguasai kerajaan. Pada 1677 itu, di saat rakyat tertimpa musibah kelaparan hebat, Amangkurat I terlunta-lunta mengungsi hingga meninggal di daerah Tegal. Sejak Amangkurat I, kekuasaan di Jawa sepenuhnya dalam kendali pihak Belanda.

Amangkurat II kemudian berkoalisi dengan Belanda untuk menyingkirkan Trunojoyo. Bahkan Amangkurat II menikam sendiri perut sahabat dekatnya tersebut. Amangkurat II ini yang menurunkan Dinasti Pakubuwono di Solo dan Hamengkubuwono di Yogya. Dari Pakubuwono kemudian pecah Dinasti Mangkubumi. Sedangkan dari Hamengkubuwono lahir Dinasti Paku Alam.

Senin, 13 Juni 2011

Cirebon-Banten (1500-an -1812)

Kalangan kesultanan di Cirebon meyakini, pendiri Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang. Ia kemudian digantikan oleh Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati yang lahir pada 1448. Dialah yang membangun kesultanan tersebut. Ayahnya ulama dari Timur Tengah, sedang ibunya dipercaya sebagai putri Raja Pajajaran.

Sunan Gunung Jati mempunyai ikatan erat dengan Demak. Jika di Demak posisi "raja" dan "ulama" terpisah, Sunan Gunung Jati adalah "raja" sekaligus "ulama". Ia mengenalkan Islam pada masyarakat di wilayah Kuningan, Majalengka hingga Priangan Timur. Bersama kerajaan Mataram, Kesultanan Cirebon mengirim ekspedisi militer untuk menaklukkan Sunda Kelapa (kini Jakarta) di bawah Panglima Fadhillah Khan atau Faletehan, pada 1527.

Sekitar tahun 1520, Sunan Gunung Jati dan anaknya, Maulana Hasanuddin melakukan ekspedisi damai ke Banten. Saat itu kekuasaan berpusat di Banten Girang di bawah kepemimpinan Pucuk Umum -tokoh yang berada di bawah kekuasaan Raja Pakuan, Bogor. Pucuk Umum menyerahkan wilayah itu secara sukarela, sebelum ia mengasingkan diri dari umum. Para pengikutnya menjadi masyarakat Badui di Banten, sekarang. Maulana Hasanuddin lalu membangun kesultanan di Surosowan, dan Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon.

Setelah Raden Patah meninggal, begitu pula Dipati Unus yang menyerbu Portugis di Malaka, kepemimpinan dilanjutkan oleh Sultan Trenggono. Sunan Gunung Jati-lah yang menobatkan Sultan Trenggono. Anaknya, Maulana Hasanuddin dinikahkan dengan Ratu Nyawa, putri Sultan Demak itu. Mereka dikaruniai dua anak, Maulana Yusuf dan Pangeran Aria Jepara -nama yang diperolehnya karena ia dititipkan pada Ratu Kalinyamat di Jepara.

Di Cirebon, dalam usia lanjut Sunan Gunung Jati menyerahkan keraton pada cicitnya, Panembahan Ratu. Setelah itu, kesultanan dipegang oleh putranya, Pangeran Girilaya. Setelah itu Cirebon terbelah. Yakni Kesultanan Kasepuhan dengan Pangeran Martawijaya Samsuddin sebagai raja pertamanya, dan Kasultanan Kanoman yang dipimpin Pangeran Kartawijaya Badruddin. Pada 1681, kedua kesultanan minta perlindungan VOC. Posisi Cirebon tinggal sebagai simbol, sementara kekuasaan sepenuhnya berada di tangan VOC.

Sementara itu, Banten justru berkembang menjadi pusat dagang. Maulana Hasanuddin meluaskan pengembangan Islam ke Lampung yang saat itu telah menjadi produsen lada. Di Banten tumbuh tiga pasar yang sangat sibuk. Ia wafat pada 1570. Sedangkan putranya, Maulana Yusuf menyebarkan Islam ke pedalaman Banten setelah ia mengalahkan kerajaan Pakuan pada 1579. Maulana Muhammad -putra Maulana Yusuf-tewas saat mengadakan ekspedisi di Sumatera Selatan (1596), kesultanan lalu dipegang Sultan Abdul Mufakir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651).

Pada masa itulah, kapal-kapal Belanda dan Portugis berdatangan ke Banten. Demikian pula para pedagang Cina. Ketegangan dengan Kesultanan Banten baru terjadi setelah Sultan Abdul Mufakir wafat, dan digantikan cucunya Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu, Sultan Ageng didampingi ulama asal Makassar Syekh Yusuf. Tokoh ini berperan besar dalam perlawanan Kerajaan Gowa (Makassar) di bawah Sultan Hasanuddin terhadap VOC. Sultan Ageng Tirtayasa yang menganggap kompeni menyulitkan perdagangan Banten, memboikot para pedagang Belanda.

Persoalan muncul setelah Sultan Ageng Tirtayasa menyerahkan kekuasaan pada anaknya yang baru pulang berhaji, Abdul Kohar Nasar atau Sultan Haji (1676). Sultan Haji lebih suka berhubungan dengan kompeni. Ia memberi keleluasaan pada Belanda untuk berdagang di Banten. Sultan Ageng Tirtayasa tak senang dengan kebijakan itu. Para pengikutnya kemudian menyerang Istana Surosowan pada 27 Februari 1682. Sultan Haji pun minta bantuan dari Belanda. Armada Belanda -yang baru mengalahkan Trunojoyo di jawa Timur-dikerahkan untuk menggempur Sultan Ageng Tirtayasa.

Para pengikut Sultan Ageng Tirtayasa pun menyebar ke berbagai daerah untuk berdakwah. Syekh Yusuf lalu dibuang ke Srilanka -tempat ia memimpin gerakan perlawanan lagi, sebelum dibuang ke Afrika Selatan. Di tempat inilah Syekh Yusuf menyebarkan Islam. Sedangkan Banten jatuh menjadi boneka Belanda. Daendels yang membangun jalan raya Anyer-Panarukan kemudian memindahkan pusat kekuasaan Banten ke Serang. Istana Surosowan dibakar habis pada 1812.

Pada tahun 1887, setelah meledak wabah penyakit anthrax tahun 1880 yang menewaskan 40.000 orang dan letusan Gunung Krakatau 23 Agustus 1883 yang menewaskan 21 ribu jiwa, Kiai Wasid dan para ulama memimpin pemberontakan heroik di Cilegon.

Senin, 06 Juni 2011

Rangkasbitung My City

Hari itu, 22 Januari 1857, langit Rangkasbitung dihiasi awan putih bersemu kelabu ketika seorang Belanda yang ditugaskan sebagai Asisten Residen di Kabupaten Lebak berpidato. Puluhan orang berbaju rapih, duduk berjajar teratur menghadap sang Asisten Residen yang baru dilantik itu. Suasana takzim terpancar dari roman muka hadirin, terlebih dari sinar mata Asisten Residen yang memulai pidatonya.
”Tapi saya lihat, bahwa rakyat tuan-tuan miskin, dan itulah yang ”menggembirakan” hati saya.... Katakan kepada saya, bukankah si petani miskin? Bukankah padi menguning seringkali untuk memberi makan orang yang tidak menanamnya? Bukankah banyak kekeliruan di negeri tuan?”

Demikianlah tukilan pidato Eduard Douwes Dekker alias Multatuli alias Max Havelaar di hadapan para petinggi Kabupaten Lebak. Pidato yang kritis itu dilakukan di serambi kantor di Rangkasbitung, sehari setelah pengangkatannya sebagai Asisten Residen Lebak.

Pernyataan kegembiraan Douwes Dekker mengenai banyaknya rakyat miskin di Kabupaten Lebak bermakna sebagai sindiran halus, bagi para petinggi di Rangkasbitung. Melalui sindiran itu, dia berharap terjadi perubahan kinerja di kalangan pemerintahan di Rangkasbitung, yang saat itu terkenal korup.

Tingginya pajak, panen yang selalu gagal, kesenjangan ekonomi-sosial yang lebar dan menurunnya produksi ternak, menjadi sebuah keniscayaan yang tak terelakkan bagi penduduk Rangkasbitung, dan Lebak pada umumnya. Korupsi besar-besaran di kalangan pejabat pemerintahan kala itu, pun semakin menurunkan standar hidup penduduk. Situasi ini juga dialami di hampir seluruh daerah di Banten. Sehingga, pada masa selanjutnya, beberapa faktor pemiskinan tersebut, menjadi pemicu gerakan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial.

Begitulah kondisi umum Kabupaten Lebak di zaman kolonial, yang digambarkan secara gamblang oleh Douwes Dekker dalam novelnya ”Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda”. Benar, Douwes Dekker tak pernah berhasil mengangkat taraf hidup penduduk Lebak lebih baik; alih-alih, melalui sebuah konspirasi rivalnya, ia difitnah dan berhasil dicampakkan dari jabatannya sebagai Asisten Residen. Namun demikian, kendati dia seorang pegawai kolonial, semangatnya untuk melakukan perubahan dan meningkatkan taraf hidup penduduk Lebak, menjadi contoh yang patut ditiru.

Rangkasbitung dan Revolusi Indonesia

Kemiskinan telah menjadi keseharian penduduk Lebak. Dan dampaknya dari faktor itu pula, sifat radikalisme terbangunkan. Sejak pemberontakan komunis 1926, Rangkasbitung sebagai ibukota Lebak, menjadi kota terpenting kedua di Banten setelah Serang. Kota ini selalu dijadikan basis pergerakan politik para tokoh revolusioner Banten.

Pada Juni 1945 misalnya, menjelang menyerahnya Jepang, beberpa pemuda Banten yang tergabung dalam Badan Pembantu Keluarga Peta (BPP) dan beberapa unsur pemuda lainnya, mengadakan sebuah pertemuan rahasia di kediaman Tachril, di Rangkasbitung. Pertemuan yang disponsori oleh BPP itu, dilakukan untuk membicarakan kemungkinan kemerdekaan Indonesia pasca menyerahnya Jepang dan memilih wakil Banten untuk menghadiri konferensi pemuda di Jakarta pada 9 Agustus 1945.

BPP adalah sebuah organisasi sosial yang memberikan bantuan kepada keluarga dari prajurit-prajurit Peta dan Heiho yang sudah meninggal. Organisasi ini menerbitkan dua kali sebulan majalahnya, dengan nama Pradjurit. Majalah ini dipimpin oleh Oto Iskandardinata dan Sjamsudin Sutan Makmur (Nugroho Notosusanto: 1979).

Dalam pertemuan Rangkasbitung itu, hadir pula Tan Malaka, tokoh pergerakan yang ketika berada di Banten mengubah namanya menjadi Ilyas Husein. Sebagian besar pemuda yang hadir dalam pertemuan, menyatakan akan memutuskan setiap hubungan kerjasama dengan Jepang dan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sebagian kecil lainnya berpendapat, masih perlu menjalin kerjasama dengan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

Di tengah hiruk pikuk perdebatan, Tan Malaka mengemukakan pendapatnya, supaya perbedaan taktis itu hendaknya diselesaikan di konferensi Jakarta saja. Kemudian Tan Malaka menambahkan, bahwa perlu dibentuk sebuah organisasi sendiri dengan pemimpinnya sendiri yang sama sekali tak berhubungan dengan Jepang. Akhirnya pertemuan diakhiri dengan memilih Tan Malaka sebagai wakil Banten. Selain itu, terpilih juga enam orang radikal lainnya, Tje Mamat adalah salah satunya.

Pertemuan Rangkasbitung tersebut jarang disebut, dalam sejarah Indonesia, kecuali dicatat dalam laporan Tan Malaka, yang kemudian dikutip oleh Harry A. Poeze dalam bukunya ”Pergulatan Menuju Republik: Tan Malaka 1925-1945”. Pertemuan Rangkasbitung itu, diyakini menjadi tonggak awal beberapa peristiwa lain yang mewarnai kondisi politik Banten selama periode awal revolusi.

Dewan Perwakilan dan Terbunuhnya Bupati R.T. Hardiwinangun
Hubungan tokoh-tokoh revolusioner di Banten dengan Tan Malaka pada periode Jepang hingga masa awal kemerdekaan Indonesia, terjalin dengan dekat. Tokoh besar yang riwayatnya diselubungi misteri itu berhasil menanamkan pengaruh kuat dikalangan tokoh-tokoh tersebut. Didirikannya Dewan Rakyat oleh Tje Mamat diyakini, oleh karena anjuran Tan Malaka kepada segenap eksponen perjuangan di Banten, untuk mendirikan sebuah organisasi yang bertujuan demi kemerdekaan rakyat semata.

Kekacauan politik dan kekosongan pemerintahan, menyebabkan munculnya tindakan-tindakan beberapa kelompok politik, khususnya veteran pemberontakan 1926, untuk membalaskan dendam mereka kepada pejabat pemerintah, polisi dan orang-orang Belanda. Suasana revolusi yang euforistik mendorong kaum ulama mengambil alih kepemimpinan. Atas dasar itulah K.H. Achmad Chatib diangkat sebagai residen Banten. Kendati demikian, pemerintahan yang baru itu tak dapat segera mengendalikan keadaan. Pembunuhan tetap terjadi dimana-mana.

Di pihak lain, Tje Mamat dengan Dewan Perwakilan Rakyatnya semakin leluasa bergerak, bahkan dalam level tertentu mereka menjelma, menjadi penguasa Banten yang sesungguhnya. Tujuan mereka hanyalah satu: mencapai kemerdekaan rakyat Indonesia yang hakiki. Hubungan Dewan Rakyat dengan Pemerintahan Pusat RI di Jakarta yang renggang, membuat gusar Presiden Soekarno. Beberapa media massa di Jakarta memberitakan bahwa Banten, dibawah kendali Dewan Rakyat akan memisahkan diri dari Republik. Aksi bersenjata untuk membubarkan Dewan Rakyat pun dilakukan oleh TKR, Namun hal itu tak semudah yang diperkirakan pemerintah Jakarta. Dewan Rakyat tetap berkuasa.

Hingga akhirnya, Presiden Soekarno disertai Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Jaksa Agung Mr. Kasman Singodimedjo, mengunjungi Serang dan Rangkasbitung pada tanggal 9-12 Desember 1945. Dalam pidatonya di Rangkasbitung, Bung Karno mengatakan, bahwa kedaulatan rakyat jangan ditafsirkan secara harfiah. Adalah penting untuk menjaga persatuan nasional dalam bingkai Negara Republik Indonesia. Bung Hatta yang terkenal pendiam pun turut bicara, ia mengatakan, bahwa Dewan Rakyat tak berguna dan harus dibubarkan.

Ketika Bung Karno dan Bung Hatta berada di Rangkasbitung, beberapa anggota Dewan Rakyat menculik dan membunuh Bupati Lebak R.T. Hardiwinangun di daerah Cisiih. Para penculik datang kepadanya dengan mengaku sebagai utusan Presiden Soekarno. Peristiwa pembunuhan itu tidak lain bertujuan untuk menunjukkan kepada Presiden Soekarno, bahwa Dewan Rakyat tidak main-main dengan tujuannya. Tetapi pada akhirnya Dewan Rakyat dibubarkan, dan para pembunuh Bupati R.T. Hardiwinangun berhasil ditangkap. Banten tetap menjadi bagian integral Republik Indonesia.

Setitik Rangkasbitung dalam Belanga Sejarah Indonesia

Seluruh rangkaian peristiwa tersebut, menunjukkan pergolakan sejarah yang pernah terjadi di Banten, khususnya di Rangkasbitung sebagai salah satu kota terpenting dalam aktivitas politik di Banten. Rangkasbitung dengan segala kekurangan dan kelebihannya memiliki posisi yang sangat penting dalam sejarah Indonesia. Kendati hanya sebuah kota kecil, Rangkasbitung, atau Kabupaten Lebak dalam skala yang lebih luas, merupakan memorabilia perjuangan bangsa yang sudah selayaknya diperkenalkan ke segala penjuru Indonesia, bahkan dunia.

Oleh karena itu, penting bagi segenap komponen masyarakat di Kabupaten Lebak untuk bersama-sama mengambil hikmah dari sejarah dan mewarisi serta memaknai sifat radikalisme rakyat Banten dalam bingkai transformasi yang progresif. Penggalan kisah diatas, merupakan rekreasi ke masa lampau yang bertujuan merefleksikan kembali berbagai hal dimasa lalu, sehingga kita bersama dapat mengambil pelajaran serta melakukan kritik dan otokritik bagi diri kita, sebagai bagian dari sejarah Rangkasbitung.

Sejarah ibarat Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tanpa KTP kita takkan memiliki identitas, yang tentu akan sangat merepotkan. Begitu pula sejarah, tanpa seorang individu atau sekelompok masyarakat, bagaikan kehilangan ingatan (amnesia) dan tak memiliki jati diri. Dan Rangkasbitung, adalah seumpama satu pilar penyanggga bangunan sejarah Indonesia. Menghilangkan peran Rangkasbitung dalam sejarah Indonesia, sama halnya dengan meruntuhkan bangunan sejarah itu sendiri.

Sejalan dengan semua itu, Rangkasbitung sebagai salah sebuah kota bersejarah, menyimpan berbagai memori penting dalam kaitannya dengan sejarah Indonesia. Sejak zaman kolonial hingga awal kemerdekaan, Rangkasbitung terkenal sebagai salah satu pusat radikalisme rakyat Banten. Selain beberapa peristiwa penting, juga banyak tokoh nasional yang dilahirkan atau mengawali karirnya di kota ini.

Bagi Benjamin Mangkoedilaga misalnya, mantan hakim agung yang terkenal karena keberaniannya memutus TEMPO tak bersalah dalam kasus pembredelan tahun 1994, Rangkasbitung adalah sebuah kota yang memberinya inspirasi. Dari kota ini pula ia memulai kesuksesannya sebagai hakim. Oleh karena itu, untuk mengenang kembali pergaulannya dengan Rangkasbitung, ia menulis sebuah buku dengan judul ”Dari Alun-alun Timur Rangkasbitung ke Medan Merdeka Utara”.

Wajar jika W.S. Rendra menciptakan sebuah puisi ”Doa Pemuda Rangkasbitung Rotterdam”, dan harapan ribuan warga lainnya: semoga tak ada lagi ketimpangan sosial-ekonomi yang mendera, tak ada lagi kemiskinan yang meililit dan tak ada lagi korupsi yang merajalela.

Rabu, 25 Mei 2011

SEJARAH KABUPATEN LEBAK


Sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Banten, Kabupaten Lebak dengan luas Wilayah 304.472 Ha, sejarahnya tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kesultanan Banten.
Berkaitan dengan Hari Jadi Kabupaten Lebak yang jatuh pada tanggal 2 Desember 1828,  terdapat beberapa catatan sejarah yang menjadi dasar pertimbangan, antara lain :

1.Pembagian Wilayah Kesultanan Banten

   Pada tanggal 19 Maret 1813, Kesultanan Banten dibagi 4 wilayah yaitu :

    - Wilayah Banten Lor
    - Wilayah Banten Kulon
    - Wilayah Banten Tengah
    - Wilayah Banten Kidul

Ibukota Wilayah Banten Kidul terletak di Cilangkahan dan pemerintahannya dipimpin oleh  Bupati yang diangkat oleh Gubernur Jendral Inggris (RAFFLES) yaitu TUMENGGUNG SURADILAGA.


2. Pembagian Wilayah Keresidenan Banten

Berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Nomor 1, Staatsblad Nomor 81 tahun 1828, Wilayah Keresidenan Banten dibagi menjadi 3 (tiga)  Kabupaten yaitu :
      - Kabupaten Serang
      - Kabupaten Caringin
      - Kabupaten Lebak

Wilayah Kabupaten Lebak, berdasarkan pembagian diatas memiliki batas-batas yang meliputi District dan Onderdistrict yaitu :

a. District Sajira, yang terdiri dari Onderdistrict Ciangsa, Somang dan Onderdistrict Sajira,
b. District Lebak Parahiang, yang terdiri dari Onderdistrict Koncang dan Lebak Parahiang.
c. District Parungkujang, yang terdiri dari Onderdistrict Parungkujang dan Kosek,
d. District Madhoor (Madur) yang terdiri dari Onderdisrict Binuangeun, Sawarna dan Onderdistrict  Madhoor (Madur).


3. Pemindahan Ibukota Kabupaten Lebak
Pada tahun 1851, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, nomor 15 tanggal 17 Januari 1849, Ibukota Kabupaten Lebak yang saat itu berada di Warunggunung dipindahkan ke Rangkasbitung. Pelaksanaan pemindahannya secara resmi baru dilaksanakan pada tanggal 31 Maret 1851.


4. Perubahan Wilayah Kabupaten Lebak
Wilayah Kabupaten Lebak yang pada tahun 1828 memiliki District, dengan terbitnya  Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 29 Oktober 1828, Staatsblad nomor 266 tahun 1828,   diubah  menjadi :

- District Rangkasbitung,  meliputi  Onderdistrict Rangkasbitung, Kolelet Wetan, Warunggunung dan Onderdistrict Cikulur.
- District Lebak, meliput Onderdistrict Lebak, Muncang, Cilaki dan Cikeuyeup.
- District Sajira meliputi Onderdistrict Sajira, Saijah, Candi dan Maja.
- District Parungkujang, meliputi Onderdistrict Parungkujang, Kumpay, Cileles dan Bojongmanik.
- District Cilangkahan, meliputi Onderdistrict Cilangkahan, Cipalabuh, Cihara dan Bayah.
5. Tanggal 14 Agustus 1925
   Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 14 Agustus 1925, Staatsblad nomor 381 tahun 1925 Kabupaten Lebak menjadi daerah Pemerintahan yang berdiri sendiri dengan wilayah meliputi District Parungkujang, Rangkasbitung, Lebak dan Cilangkahan.


6. Tanggal 8 Agustus 1950
Undang-undang Nomor 14 tahun 1950 tentang Pembentukan daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Barat.
Berdasarkan rangkaian sejarah  tersebut kami berpendapat bahwa titi mangs  tepat untuk ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Lebak adalah tanggal 2 Desember 1828, dengan dasar pemikiran dan pertimbangan sebagai berikut :

a. Tanggal 2 Desember 1828, berdasarkan Staatsblad Nomor 81 tahun 1828 merupakan titik awal pembentukan 3 (tiga) Kabupaten di wilayah bekas Kesultanan Banten dan nama Lebak mulai diabadikan menjadi nama Kabupaten dengan batas-batas wilayah yang lebih jelas sebagaimana tercantum dalam pembagian wilayah ke dalam District dan Onderdistrict (Kewedanaan dan Kecamatan). Walaupun terdapat perubahan nama dan penataan kembali wilayah District dan Onderdistrict tersebut, wilayah Kabupaten Lebak dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana tertuang dalam Staatsblad nomor 226 tahun 1828, Staatsblad nomor 381 tahun 1925 dan Undang-undang nomor 14 tahun 1950, merupakan wilayah Kabupaten Lebak sebagaimana adanya saat ini.
Sebelum adanya Staatsblad nomor 81 tahun 1828, selain nama Lebak belum pernah diabadikan  batas wilayah untuk Kabupaten yang ada di wilayah Banten karena belum adanya kejelasan yang dapat dijadikan dasar penetapan.

b. Tanggal 2 Desember 1828 yang bertepatan dengan saat diterbitkannya Staatsblad nomor 81 tahun1828,  tidak dijadikan dasar penetapan sebagai Hari Jadi bagi dua Kabupaten lainnya, yaitu Kabupaten Serang dan Pandeglang.
Upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Lebak beserta seluruh aparat serta dukungan seluruh masyarakat Kabupaten Lebak melalui wakil-wakilnya di DPRD,  telah berhasil menentukan Hari Jadi Kabupaten Lebak dengan lahirnya Keputusan DPRD nomor 14/172.2/D-II/SK/X/1986, yang memutuskan untuk  menerima dan menyetujui bahwa  Hari Jadi Kabupaten Lebak jatuh pada tanggal 2 Desember 1828 beserta rancangan peraturan daerahnya.

MUHAMADIYAH DAN GERAKANNYA

Ahmad Badawi lahir di Kauman Yogyakarta pada tanggal 5 Februari 1902 sebagai putra ke-4. Ayahnya bernama KH. Muhammad Fakih (yang merupakan salah satu Pengurus Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai Komisaris), sedangkan ibunya bernama Nyai H. Sitti Habibah (yang merupakan adik kandung dari KH. Ahmad Dahlan). Jika dirunut silsilah dari garis ayah, maka Badawi memiliki garis keturunan dari Panembahan Senopati. Dalam keluarga Badawi sangat kental dengan ditanamkan nilai-nilai agama. Dan ini sangat mempengaruhi perilaku hidup dan etika kesehariannya. Di antara saudara-saudaranya, Badawi memiliki kelebihan, yaitu senang berorganisasi. Hobinya ini menjadi ciri khusus baginya yang tumbuh sedari masih remaja, yaitu ketika ia masih menempuh pendidikan. Sejak masih belajar mengaji di pondok-pondok pesantren, dia sering membuat kelompok belajar/ organisasi yang mendukung kelancaran proses mengajinya.
Usia dininya dilalui dengan belajar mengaji pada ayahnya sendiri. Pada tahun 1908-1913 menjadi santri di Pondok Pesantren Lerab Karanganyar. Di pesantren ini ia belajar banyak tentang nahwu dan sharaf. Pada tahun 1913-1915 ia belajar kepada ustadz KH. Dimyati di Pondok Pesantren Termas Pacitan. Di pesantren ini, ia dikenal sebagai santri yang pintar berbahasa Arab (Nahwu dan Sharaf) yang telah didapat di Pondok Lerab. Dan pada tahun 1915-1920 Ahmad badawi mondok di Pesantren Besuk, di Wangkal Pasuruan. Akhirnya ia mengakhiri pencarian ilmu agama di Pesantren Kauman dan Pesantren Pandean di Semarang pada tahun 1920-1921. Sedangkan pendidikan formalnya hanya didapatkan di Madrasah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Kauman Yogyakarta, kemudian berubah menjadi Standaarschool dan kemudian menjadi Sekolah Dasar.
Tumbuhnya organisasi-organisasi kebangsaan ketika usia Badawi masih remaja membuatnya harus pandai-pandai untuk menentukan pilihan aktivitas organisasi. Masing-masing organisasi berupaya menggalang anggota-anggotanya dengan berbagai macam cara untuk bersatu mengusir pemerintah kolonial Belanda dengan berbagai variasi sesuai dengan misi dan visi organisasinya.
Keinginannya untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah dipelajarinya dari berbagai pesantren akhirnya mengantarkannya pada Muhammadiyah sebagai pilihannya dalam beraktivitas. Hal ini dilatarbelakangi oleh misi, visi, dan orientasi Muhammadiyah selaras dengan cita-cita Badawi. Keberadaannya di Muhammadiyah lebih diperjelas dengan tercatatnya ia di buku Anggota Muhammadiyah Nomor 8543 pada tanggal 25 September 1927. Keanggotaan ini diperbarui pada zaman Jepang sehingga ia ditempatkan pada nomor 2 tertanggal 15 Februari 1944 (Jusuf Anis, tt, p. 25).
Pada masa perjuangan, Badawi pernah memasuki Angkatan Perang Sabil (APS). Ia turut beroperasi di Sanden Bantul, Tegallayang, Bleberan, Kecabean Kulon Progo. Pada tahun 1947-1949, Badawi menjadi Imam III APS bersama dengan KH. Mahfudz sebagai Imam I dan KRH. Hadjid selaku Imam II untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia juga pernah menjadi anggota Laskar Rakyat Mataram atas instruksi dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan bergabung di Batlyon Pati dan Resimen Wiroto, MPP Gedongan. Pada tahun 1950, Badawi dikukuhkan sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro Masyumi di Yogyakarta. Di partai ini, ia tidak banyak perannya, karena partai ini kemudian membubarkan diri.
Semenjak ia berkiprah di Muhammadiyah, ia lebih leluasa mengembangkan potensi dirinya untuk bertabligh. Keinginan ini dijalankan melalui kegiatan sebagai guru di sekolah (madrasah) dan melalui kegiatan dakwah lewat pengajian dan pembekalan ke- Muhammadiyah-an. Prestasi di bidang tabligh telah mengantarkan Badawi untuk dipercaya menjadi Ketua Majlis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1933. Pada tahun-tahun berikutnya, ia juga diserahi amanat untuk menjadi Kepala Madrasah Za'imat (yang kemudian digabung dengan Madrasah Mualimat pada tahun 1942). Di Madrasah Mualimat ia mempunyai obsesi untuk memberdayakan potensi wanita, sehingga mereka akan bisa menjadi mubalighat yang handal di daerahnya.
Semenjak itu, keberadaan Badawi tidak diragukan lagi. Di Pimpinan Pusat Muhammadiyah ia selalu terpilih dan ditetapkan menjadi wakil ketua. Kemudian pada waktu Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, Badawi terpilih menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965, dan pada Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung terpilih lagi menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1965 - 1968.
Citra politik Muhammadiyah pada periode kepemimpinan Badawi memang sedang tersudut, karena banyaknya anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota dan pengurus Masyumi yang saat itu sedang menjadi target penghancuran oleh rezim Orde Lama. Citra ini memang sengaja dihembus-hembuskan oleh PKI, bahwa Muhammadiyah dituduh anti-Pancasila, anti-NASAKOM, dan pewaris DI/TII. Muhammadiyah saat berhadapan dengan adanya banyak tekanan politik masa Orde Lama.
Menghadapi realitas politik seperti itu, Muhammadiyah akhirnya dipaksa berhadapan dengan urusan-urusan politik praktis. Muhammadiyah sendiri kurang leluasa dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan sistem politik yang dibangun Orde Lama. Akhirnya Muhammadiyah mengambil kebijakan politik untuk turut serta terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan. Meski demikian, realitas menunjukkan bahwa Muhammadiyah hanya mampu mengerem laju pengaruh komunis di masa Orde Lama yang kurang mengedepankan nilai agama dan moralitas bangsa.
Kebijakan Muhammadiyah seperti itu akhirnya membawa kedekatan Badawi dengan Presiden Soekarno. Semenjak 1963, Badawi diangkat menjadi Penasehat Pribadi Presiden di bidang agama. Perlu diperhatikan bahwa kedekatan Badawi dengan Soekarno bukan untuk mencari muka Muhammadiyah di mata Presiden. KHA. Badawi sangat bijak dan pintar dalam meloby Presiden dengan nuansa agamis. KHA. Badawi tidak menjilat dan menjadi antek Soekarno seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lain. Ia memiliki prinsip agama yang kuat, sehingga Muhammadiyah mengamanatkan kepadanya untuk mendekati Soekarno. Kedekatan ini juga dirasakan oleh Soekarno, bahwa dirinya sangat memerlukan nasehat-nasehat agama. Oleh karenanya bila KHA. Badawi memberikan masukan-masukan yang disampaikan secara bijak, Soekarno sangat memperhatikannya. Bahkan Menteri-menterinyapun diminta turut memperhatikan fatwa Badawi.
Bagi Muhammadiyah, hal ini sangat menguntungkan. Fitnahan terhadap Muhammadiyah yang bernada negatif terus jalan, maka hal itu harus diimbangi dengan upaya mengikisnya. Soekarno sendiri sadar bahwa Muhammadiyah senafas dan seiraman dengan Masyumi, ia tetap membutuhkan kehadiran Muhammadiyah. Bahkan ia semakin menyukainya atau untuk ballance of power policy (PP. Muhammadiyah, tt, halaman 6). Iktikad baik Soekarno ini menunjukkan bahwa dirinya sangat memerlukan kahadiran Muhammadiyah untuk mengimbangi keberadaan PNI, NU, dan PKI yang dirasanya lebih dekat.
Nasehat-nasehat politik yang diberikan Badawi sangat berbobot dipandang dari kacamata Islam. Secara relatif ia bisa mengendalikan Presiden Soekarno agar tidak terseret terlalu jauh dari pengaruh-pengaruh komunis yang menggerogotinya. Siraman rohani disampaikannya kepada Soekarno tidak terikat oleh ruang dan waktu. Di mana ada kesempatan, Badawi memberikan nasehatnya kepada Presiden. Pada tahun 1968, ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Pengangkatan ia berdasar pada prestasinya ketika memimpin Muhamadiyah (1962-1965 dan 1965-1968) dan pengalaman ia menjadi Penasehat Pribadi Presiden Soekarno di bidang agama. Di DPA, ia memberikan nasehat kepada Presiden Soeharto di bidang agama Islam. Di Dewan Pertimbangan Agung, KHA. Badawi sebenarnya sedikit memberikan nasehatnya pada awal Orde Baru. Hal ini dikarenakan kondisi fisiknya yang sudah melemah. Penyakit yang disandangnya kurang memungkinkan fisiknya yang sudah tua untuk turut berkiprah lebih banyak dalam memberikan sumbangsihnya kepada negara dan bangsa.
Di samping sebagai pemimpin, Badawi juga produktif sebagai penulis. Karya-karya tulis yang telah dihasilkannya antara lain ialah Pengadjian Rakjat, Kitab Nukilan Sju'abul-Imam (bahasa Jawa), Kitab Nikah (huruf Pegon dan berbahasa Jawa), Kitab Parail (huruf Latin berbahasa Jawa), Kitab Manasik Hadji (bahasa Jawa), Miah Hadits (bahasa Arab), Mudzakkirat fi Tasji'il Islam (bahasa Arab), Qawaidul-Chams (bahasa Arab), Menghadapi Orla (Bahasa Indonesia), dan Djadwal Waktu Shalat untuk selama2nja (HM. Jusuf Anis, tt: 27).
Badawi meninggal pada hari Jum'at 25 April 1969 pada pukul 09.45 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Upaya kedokteran tidak bisa menghadang takdir Allah yang telah ditentukan atasnya. Di saat meninggal, Badawi masih menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung dari tahun 1968. Sedang di Muhammadiyah ia ditempatkan sebagai Penasehat PP. Muhammadiyah periode 1969-1971 berdasar hasil Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta

Jumat, 01 April 2011

Sejarah Islam Indonesia

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah – terutama Belanda – menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi’i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More