Welcome to My website

Selamat datang di website pribadi saya. Tidak neko-neko, disini saya hanya ingin berbagi apa yang bisa saya bagi.

Terima kasih telah berkunjung...

Semoga Bermanfaat
OpulentDelicacy.com

Selasa, 16 April 2013

Pertolongan Al-Qur'an di Alam Kubur


Dari Sa’id bin Sulaim ra, Rasulullah SAW bersabda, “Tiada penolong yang lebih utama derajatnya di sisi Allah pada hari Kiamat daripada Al-Qur’an. Bukan nabi, bukan malaikat dan bukan pula yang lainnya.” (Abdul Malik bin Habib-Syarah Ihya).

Bazzar meriwayatkan dalam kitab La’aali Masnunah bahwa jika seseorang meninggal dunia, ketika orang-orang sibuk dengan kain kafan dan persiapan pengebumian di rumahnya, tiba-tiba seseorang yang sangat tampan berdiri di kepala mayat. Ketika kain kafan mulai dipakaikan, dia berada di antara dada dan kain kafan.

Setelah dikuburkan dan orang-orang mulai meninggalkannya, datanglah dua malaikat. Yaitu Malaikat Munkar  dan Nakir yang berusaha memisahkan orang tampan itu dari mayat agar memudahkan tanya jawab.

Tetapi si tampan itu berkata,” Ia adalah sahabat karibku. Dalam keadaan bagaimanapun aku tidak akan meninggalkannya. Jika kalian ditugaskan untuk bertanya kepadanya, lakukanlah pekerjaan kalian. Aku tidak akan berpisah dari orang ini sehingga ia dimasukkan ke dalam syurga.”

Lalu ia berpaling kepada sahabatnya dan berkata,”Aku adalah Alquran yang terkadang kamu baca dengan suara keras dan terkadang dengan suara perlahan. Jangan khawatir setelah menghadapi pertanyaan Munkar dan Nakir ini, engkau tidak akan mengalami kesulitan.” 

Setelah para malaikat itu selesai memberi pertanyaan, ia menghamparkan tempat tidur dan permadani sutera yang penuh dengan kasturi dari Mala’il A’la. (Himpunan Fadhilah Amal : 609)

Allahuakbar, selalu saja ada getaran haru selepas membaca hadis ini. Getaran penuh pengharapan sekaligus kekhawatiran. Getaran harap karena tentu saja mengharapkan Alquran yang kita baca dapat menjadi pembela kita di hari yang tidak ada  pembela. Sekaligus getaran takut, kalau-kalau Alquran akan menuntut kita. Allah… terimalah bacaan Alquran kami. Sempurnakanlah kekurangannya.

Banyak riwaya yang menerangkan bahwa Alquran adalah pemberi syafa’at yang pasti dikabulkan Allah SWT. Upaya agar mendapatkan syafaat Alquran tentu saja dengan mendekatkan diri kepada Alquran. Salah satu cara yang sangat baik dalam “memaksa” kita untuk dekat dengan Alquran adalah dengan menghafalkannya.

Dengan berniat menghafal Alquran hati kita seakan-akan terpanggil untuk selalu memegang Alquran. Ada tanggung jawab yang membuat kita merasa “bersalah” jika tidak memegang Al-Qur’an. Walaupun mungkin sekedar membacanya.

Pada akhirnya kita mau tidak mau “dipaksa” untuk mendekat kepada Alquran. Dapat dikatakan dengan menghafalkan Alquran kita telah mengikatkan diri dengan Al-Qur’an. Sesibuk apapun kita, kita dipaksa untuk selalu dekat Alquran. Dan itu sungguh bukan termasuk “pemaksaan” yang aniaya. Melainkan pemaksaan yang penuh kebaikan.

Semoga hadis di atas menjadi cambuk bagi kita ketika rasa malas menerpa kita. Semoga Allah dengan kemuliaanNya menjadikan Alquran sebagai syafa’at bagi kita, bukan sebagai penuntut kita. 

Semoga Alquran menjadi “teman” bagi kita ketika tidak ada sesuatupun di dunia ini yang dapat menemani kita. Amin. Mari menghafal Alquran.

Kamis, 09 Juni 2011

Air Mata Ibu


Ibu menangis. Air mata mengucur di pipinya yang cekung. Ketika itu aku baru selesai berdzikir setelah mengimaminya. Tasbih ditangannya terus berputar, bersama dzikir yang terus terlantun dari bibirnya. Ibu khusyuk dalam isak dan deraian air mata.  "Kenapa Ibu menangis?" pertanyaan itu terpaksa kusimpan. Aku tidak akan mengganggu Ibu yang masih khusyuk dengan dzikir. Aku memikirkan berbagai kemungkinan penyebab menangisnya Ibu. Mungkinkah kematian Bapak? Tapi,  bukankah kematian Bapak sudah lama sekali? Sudah lima tahun. Atau karena tanah kuburan Bapak yang tidak mendapat izin untuk dibeton dan hanya boleh didirikan batu nisan. Hal itu tidak akan membuat Ibu menangis. Aku sangat  mengenal Ibu. Ibu paling tidak menyukai hal-hal yang berbau kemewahan. Ibu  selalu ingin menginginkan kesederhanaan. Kenapa Ibu menangis? Sayang aku sangat jarang pulang dan tidak bertemu Ibu setiap hari. Hingga aku kurang mengetahui keadaan Ibu belakangan ini. Mungkin ada suatu persoalan yang membebaninya.... Bertengkar dengan seseorang? Ah rasanya tidak. Setahuku Ibu tidak punya musuh. Ia selalu mengalah setiap kali berbenturan dengan orang lain. Ibu lebih banyak diam daripada mengomel. Tidak mungkin rasanya Ibu bertengkar dengan orang lain, karena memang itu bukan kebiasaan Ibu.  Tapi kenapa Ibu menangis? Ibu belum juga selesai berdzikir. Aku sudah selesai sejak lima menit lalu. Aku sudah berdoa, mohonkan ampun atas dosa Ibu dan Bapak yang telah mengasuhku sejak kecil. Ibu belum juga usai.  Aku berdiri dan meninggalkan Ibu sendirian di ruang shalat dengan tetap menyimpan pertanyaan, kenapa Ibu menangis? Kutunggu Ibu di ruang makan.  Bukankah Ibu selalu khusyuk dalam shalat? Kembali aku dibayang
berbagai kemungkinan. Bukankah Ibu tidak pernah lupa mendirikan shalat, mengaji dan  berdzikir? Bukankah Ibu paling senang mendengarkan ceramah di masjid?  Bukankah Ibu juga tidak melewatkan acara wirid? Bukankah Ibusudah cukup punya bekal untuk menghadapi segala cobaan...
Tapi kenapa Ibu sampai menangis?  Karena aku mengimami Ibukah? Mustahil! Bukan sekali ini saja aku mengimami Ibu. Sudah berulang kali.  Hampir setiap kali pulang ke rumah aku mengimami Ibu, terutama saat  shalat maghrib dan isya. Ibu sudah berumur tujuhpuluh tahun lebih. Tujuh orang anak merupakan  berkah yang selalu disyukurinya dan kami semua kini sudah besar. Aku yang  bungsu sudah duduk di perguruan tinggi. Aneh rasanya kalau Ibu masih  bersedih hati diusianya yang senja ini. Seharusnya Ibu banyak tertawa dan  bercanda bersama cucu-cucunya. Bukankah cucu-cucunya selalalu bersamanya  setiap hari?  "Sudah makan Yung?" tanya Ibu mengagetkanku. Ibu muncul dengan senyum  mengembang. Tak kulihat bekas tangisan di wajahnya. Mungkin sudah dihapus. "Belum Bu, Ayung menunggu Ibu."
"Ibu sudah makan." "Kapan? Bukankah hidangan ini belum disentuh siapapun? Ayolah
Bu, Ayung  sudah rindu ingin makan bersama Ibu." "Makanlah!" kata Ibu sambil menarik kursi. Aku pun mulai
menyanduk nasi  dan mengambil beberapa sendok sambal. Tapi Ibu tetap saja tidak makan  nasi. Ia hanya mengambil panganan dan memakannya."Bagaimana kuliahmu?" "Alhamdulillah Bu, berkat doa Ibu."
"Belanja harianmu bagaimana?" pertanyaan yang tidak pernah kuinginkan ini selalu meluncur dari bibir Ibu. Pertanyaan itu kurasakan bagai keluhan  dalam hidup. Kuakui selama kuliah aku harus berusaha dan bekerja keras  untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Uang kost, transport dan kebutuhan  kuliah. Memang, yang namanya usaha kadang-kadang dapat, kadang tidak.  Ketika dapat alhamdulillah. Aku bisa makan dan membeli kebutuhan lain.  Jika tidak, maka mau tidak mau aku aku harus puasa. Hal ini yang sering  aku alami. Tapi persoalan ini tidak pernah kuceritakan kepadasiapapun,  termasuk Ibu dan saudara-saudaraku. Aku takut terlalu banyak mengeluh.

"Alhamdulillah, Tuhan masih memberikan rejeki Bu," selalu kujawab begitu.  Biasanya Ibu tidak akan bertanya lagi setelah itu.  "Bu!" sapaku ketika Ibu terdiam.  "Mmm," jawab Ibu.  "Kenapa seusai shalat tadi Ibu menangis?" Ibu terdiam mendengar  pertanyaanku.  "Ayung cemas melihat Ibu menangis. Ibu masih diam. Aku menyelesaikan suapanku, setelah itu membasuh tangan  dan melapnya dengan serbet.  Ibu masih diam, tapi di matanya kulihat airmata mulai berlinang.  Setelah itu berceritalah Ibu. Seminggu yang lalu di surau Balenggek tempat Ibu selalu sembahyang berjama'ah, ada ceramah agama mingguan. Ketika itu penceramahnya datang dari luar daerah. Ibu mengikuti ceramah tentang anak yang berbakti kepada  orang tua dan anak yang shalih..

"Anak-anak yang shalihlah yang menyelamatkan orang tuanya dari api neraka,  karena doa anak yang shalih sangat didengar oleh Allah swt," kata ustad. "  Tapi sebaliknya orang tua tidak selamat dari api neraka jika
anak yang  dididiknya tidak mampu menjalankan ibadah dan tidak pandai membaca  Alquran.

"Walaupun orang tuanya sendiri taat beribadah?" tanya Ibu waktu itu.  "Ya, apa artinya kita taat tapi tidak membuat anak taat kepada Tuhannya.  Apalagi sampai tidak bisa sembahyang dan mengaji, anak yang jauh dari  perintah Allah dan mendekati laranganNya. Maka orang tuanya di akhirat  akan ditanya tentang anak-anaknya. Maka sia-sialah ketaatan orang tua jika  di akhirat nanti anak mengakui dirinya tidak dididik oleh orang tuanya  untuk taat beribadah. Tidak pernah menegur, memukul bahkan menamparnya,  jika lalai menjalankan perintah agama."  Ketika itu Ibu menyadari apa yang sudah dilakukannya selama ini. Ibu ingat  Jai, Jou, Han dan Fai. Saat itulah Ibu merasa hidup dan ketaatannya selama  ini tak berarti sama sekali. Sejak itu Ibu banyak diam dan melamun.  Anak-anaknya sampai sekarang tidak pernah membaca Alquran di rumah dan  jarang sembahyang, bahkan tidak pernah sama sekali. Ibu merasa bersalah  setelah mendengar ceramah itu. Ibu menyadari bahwa ia tidak mendidik  anak-anaknya sesuai ajaran agama. Ibu selalu tidak tega memarahi anaknya,  dan melihat anaknya menangis, apalagi kalau ada yang murung dan kesal. Mungkin itulah sebabnya anak-anak Ibu banyak yang tidak dapat membaca  Alquran Ibu tidak pernah tega memaksa mereka untuk belajar Ibupun tidak  marah. Bukankah ini berarti Ibu tidak sanggup mendidik anak. Bukankah Ibu  gagal menjadi orang tua?  "Tapi Bu, bukankah Ayung selalu taat sembahyang dan membaca Alquran? Dan  Ayung selalu berdoa untuk Ibu dan Bapak? Lantas apa artinya usaha Ayung selama ini Bu?" kataku kepada Ibu.
"Terima kasih Yung, Ibu sangat bangga padamu. Ibu senang kamu mampu  menjadi imam untuk Ibu. Ibu pun selalu berdoa untukmu. Yang Ib pikirkan  adalah kakak-kakakmu yang tidak mampu membaca Alquran dan
tidak  menjalankan shalat."

Kuakui selama ini memang hanya aku dan ibu yang shalat berjama'ah, walaupun sebenarnya kakak-kakakmu sedang berada di ruamh. Mereka lebih suka duduk di lapau dan sepertinya tidak menghiraukan panggilan azan yang  berkumandang dari masjid. Dan Ibu tidak pernah menegur hal itu. Aku pun  tidak pernah mempersoalkan mereka. Sementara aku merasa takut, selain  karena lebih kecil juga karena aku takut menca  mpuri urusan mereka.

"Itulah Yung. Ibu merasa sedih. Kamulah satu-satunya anak Ibu yang taat,  yang mengimami Ibu, walaupun kamu yang terkecil. Entahlah.. Ibu sudah  semakin tua, ajal sudah di ambang pintu. Ternyata Ibu masih
meninggalkan  banyak pekerjaan yang tidak selesai, ternyata Ibu tidak mampu mendidik  kalian dan kalian ternyata tidak bisa mendidik diri sendiri," kata Ibu  terisak.

Air mataku mengalir tanpa terasa.  "Ada apa? Kok Ibu menangis? Ini pasti ulah kamu Yung! Kamu tidak  henti-hentinya membuat Ibu sedih, dan menangis. Tahukah kamu bahwa membuat orang tua bersedih hatinya itu dosa?" Tiba-tiba Han kakakku yang nomor  tiga datang dan memarahiku.  "Sebagai anak laki-laki kamu jangan terus-terusan bersama Ibu, itu cengeng  namanya. Lihat tuh di lepau orang-orang ramai. Duduklah di sana biar orang  tahu bahwa kita bermasyarakat. Bukan dalam rumah,"  katanya lagi sambil menekan kepalaku.
"Jangan kasar begitu pada adikmu Han. Ia kan baru sele...,"
"Kalau tidak seperti itu, ia akan lembek seperti perempuan Bu,
yang  duduknya cuma di dapur."  "Tapi ia kan masih kuliah."  "Aah. Ibu selalu membelanya, mentang-mentang ia kuliah. Walaupun Han tidak  pernah kuliah, Han ini anak Ibu. Sekurang ajar apapun aku yang melahirkan  Han adalah Ibu. Tapi kenapa dia, Ibu perlakukan berbeda dengan Han?" Han  menunjuk-nunjuk diriku.  Mendapat serangan kata-kata seperti itu, Ibu menangis lagi. Aku hanya  terdiam terpana ketika Han kemudian berlalu dan tidak menghiraukan tangis  Ibu.  Air mata Ibu mengalir lagi. Ingin aku menghapusnya, tapi bagamana dengan kesedihannya? Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhuma, kamarabbayana  saghiraa. Amin. Hanya itu yang mampu kulakukan.


Rabu, 25 Mei 2011

Waktu


Namaku tertera dalam darah diatas perkamen tua menguning yang dimandikan cahaya matahari dari lubang jendela. Cahaya - cahaya yang bermain dan memantul antara butir-butir debu yang sejenak terlihat mampu membebaskan diri dari belenggu gravitasi. Aku terduduk saja di kursi mahoni dengan jok beludru marun yang umurnya mungkin lebih tua dari umur kakekku, atau bahkan buyutku. Memandangi perkamen itu. Diatas namaku tertera beberapa rangkai huruf yang berusaha membentuk makna tetapi kemudian tertelan lagi oleh gaung-gaung angin di atap dan decit-decit segala macam perkakas dan segala macam engsel yang begitu tuanya hingga tak mungkin kita mendayagunakannya tanpa membuat mereka rompal.

"Benda-benda memiliki daya aneh untuk mematikan dirinya sendiri,"kakekku pernah berkata, beberapa malam sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya. Dan entah mengapa, kini, di ruangan renta ini, suara beliau itu terdengar jauh lebih jelas dibanding ketukan dahan pohon diatas kaca jendela yang sebenarnya tak pantas lagi disebut kaca karena ia kehilangan sifat tembus-pandang nya.
"Tiap benda saling menyayangi," ibuku sekali waktu pernah berkata.
"Itu sebabnya rumpun bunga mawar diatas pusara nenekmu begitu cerah warnanya, nenekmu memberikan tubuhnya untuk dimakan." Aku, saat itu tentu saja hanya bisa mencoba mengerti. (sejenak aku pikir ibuku gila, mana mungkin bunga makan manusia?) Air tanah melukisi kaki dinding rumah ini dengan lumut hitam. Segurat demi segurat. Mungkin kakekku yang berbicara melalui lukisan itu, mungkiin ibuku, entahlah. Foto ayah bersama teman-teman berburunya sudah lebih kuning dan penuh bercak dibanding daun-daun mati yang tertumpuk dan berserak di halaman. Rumput-rumput yang bercerita dengan menutupi setapak jalan ke arah gerbang karatan yang asik bercengkerama dengan tetumbuhan rambat. Ayah hilang ketika berburu. Dan foto itulah yang terakhir ditemukan oleh orang-orang desa yang mencarinya. Dan hanya dari foto itulah aku bisa menggambarkan muka ayah di mimpi-mimpiku. Aku terlalu kecil untuk mengingat. Daun-daun mati berdendang dan menari diiringi musik angin kering.

Entah berapa lama di ruangan ini aku duduk. Toh waktu tak lagi punya banyak pengaruh untukku. Karpet kusam dari kulit harimau yang didapatkan ayah ketika berburu dulu itu paling tidak kini memiliki warna cemerlang yang diwariskan oleh nadiku; merah .

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More