Welcome to My website

Selamat datang di website pribadi saya. Tidak neko-neko, disini saya hanya ingin berbagi apa yang bisa saya bagi.

Terima kasih telah berkunjung...

Semoga Bermanfaat
OpulentDelicacy.com

Minggu, 15 Desember 2013

Hukum Membaca Al-Qur'an Saat Haidh dan Nifas. Bolehkah?

Para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan  Muslimah yang sedang haid atau nifas membaca Alquran. Sebagian ulama mengharamkan, sebagian lagi membolehkan. Yang mengharamkan mengambil dalil (dasar hukum) surah Al-Waqiah [56] ayat 79. ''Tidak menyentuh (Alquran), kecuali hamba-hamba yang disucikan.''
Juga Hadis Nabi SAW; ''Janganlah kamu menyentuh Alquran kecuali dalam keadaan suci,'' (HR Al-Atsram).
Namun, empat Imam Mazhab (Maliki, Syafii, Hanafi, dan Hambali), berbeda pendapat mengenai kebolehan membaca Alquran. Mereka setuju, bahwa menyentuh Alquran tidak diperbolehkan, kecuali bagi orang-orang yang suci. Dengan alasan itu, maka orang yang dalam keadaan haid dan nifas tidak diperkenankan menyentuh Alquran.
Tapi, untuk membaca ayat Alquran, mereka membolehkannya, yakni membaca Alquran tanpa menyentuhnya. Misalnya, si wanita yang sedang haid atau nifas itu memiliki sejumlah hafalan ayat.
Sejumlah ulama Syafiiyah (ulama yang mengikuti mazhab Syafii), melarang wanita haid dan nifas membaca Alquran. Alasan yang dikemukakan, berdasarkan ayat Alquran surah Al-Waqiah [56]: 79 diatas. Menurut mereka, kalau menyentuhnya saja sudah dilarang, apalagi membacanya.
Sementara itu, sebagian ulama Hanafiyah berpendapat, membaca Alquran tetap diperbolehkan melalui hafalan atau cara lainnya, selama tidak menyentuh Alquran. Sedangkan dalam masalah shalat dan puasa, seluruh ulama mazhab menyatakan tidak boleh (haram) bagi wanita yang sedang haid dan nifas untuk mengerjakan shalat dan puasa.Dasar hukumnya, hadis Nabi yang bersumber dari Fathimah binti Abi Hubaisy. ''Jika datang haid, maka janganlah engkau mengerjakan shalat.''
Dalam riwayat dari Aisyah Radiyallahu Anha; ''Kami hadis pada masa Rasulullah SAW, maka ketika itu kami diperintahkan untuk mengqadla puasa kami, tapi tidak diperintahkan untuk mengqadla shalat kami.'' (Muttafaqun 'Alaih).
Berdasarkan keterangan di atas, maka Muslimah yang sedang haid dan nifas, tidak boleh (haram) mendirikan shalat dan puasa. Namun, jika mereka haid dan nifas pada bulan Ramadhan, maka dia wajib mengqadla (mengganti, red) puasa yang telah ditinggalkan. Wa Allahu A'lam.

Jumat, 13 Desember 2013

Keutamaan Hari Jumu'ah

Saudariku, kabar gembira untuk kita semua bahwa ternyata kita mempunyai hari yang istimewa dalam deretan 7 hari yang kita kenal. Hari itu adalah hari jum’at. Saudariku, hari jum’at memang istimewa namun tidak selayaknya kita berlebihan dalam menanggapinya. Dalam artian, kita mengkhususkan dengan ibadah tertentu misalnya puasa tertentu khusus hari Jum’at, tidak boleh pula mengkhususkan bacaan dzikir, do’a dan membaca surat-surat tertentu pada malam dan hari jum’at kecuali yang disyari’atkan.

Nah artikel kali ini, akan menguraikan beberapa keutamaan-keutamaan serta amalan-amalan yang disyari’atkan pada hari jum’at. Semoga dengan kita memahami keutamaannya, kita bisa lebih bersemangat untuk memaksimalkan dalam melaksanakan amalan-amalan yang disyari’atkan pada hari itu, dan agar bisa meraih keutamaan-keutamaan tersebut.
Keutamaan Hari Jum’at
1. Hari paling utama di dunia
Ada beberapa peristiwa yang terjadi pada hari jum’at ini, antara lain:
  • Allah menciptakan Nabi Adam ‘alaihissallam dan mewafatkannya.
  • Hari Nabi Adam ‘alaihissallam dimasukkan ke dalam surga.
  • Hari Nabi Adam ‘alaihissallam diturunkan dari surga menuju bumi.
  • Hari akan terjadinya kiamat.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Hari paling baik dimana matahari terbit pada hari itu adalah hari jumat, pada hari itu Adam diciptakan, dan pada hari itu pula Adam dimasukkan ke dalam surga, serta diturunkan dari surga, pada hari itu juga kiamat akan terjadi, pada hari tersebut terdapat suatu waktu dimana tidaklah seorang mukmin shalat menghadap Allah mengharapkan kebaikan kecuali Allah akan mengabulkan permintannya.” (HR. Muslim)
2. Hari bagi kaum muslimin
Hari jum’at adalah hari berkumpulnya umt Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masjid-masjid mereka yang besar untuk mengikuti shalat dan sebelumnya mendengarkan dua khutbah jum’at yang berisi wasiat taqwa dan nasehat-nasehat, serta do’a.
Dari Kuzhaifah dan Rabi’i bin Harrasy radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allah menyesatkan orang-orang sebelum kami pada hari jum’at, Yahudi pada hari sabtu, dan Nasrani pada hari ahad, kemudian Allah mendatangkan kami dan memberi petunjuk pada hari jum’at, mereka umat sebelum kami akan menjadi pengikut pada hari kiamat, kami adalah yang terakhir dari penghuni dunia ini dan yang pertama pada hari kiamat yang akan dihakimi sebelum umat yang lain.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah)
3. Hari yang paling mulia dan merupakan penghulu dari hari-hari
Dari Abu Lubabah bin Ibnu Mundzir radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Hari jum’at adalah penghulu hari-hari dan hari yang paling mulia di sisi Allah, hari jum’at ini lebih mulia dari hari raya Idhul Fitri dan Idul Adha di sisi Allah, pada hari jum’at terdapat lima peristiwa, diciptakannya Adam dan diturunkannya ke bumi, pada hari jum’at juga Adam dimatikan, di hari jum’at terdapat waktu yang mana jika seseorang meminta kepada Allah maka akan dikabulkan selama tidak memohon yang haram, dan di hari jum’at pula akan terjadi kiamat, tidaklah seseorang malaikat yang dekat di sisi Allah, di bumi dan di langit kecuali dia dikasihi pada hari jum’at.” (HR. Ahmad)
4. Waktu yang mustajab untuk berdo’a
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hari jum’at lalu beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Di hari jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seseorang muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan.” Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu itu. (HR. Bukhari Muslim)
Namun mengenai penentuan waktu, para ulama berselisih pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut ada 2 pendapat yang paling kuat:
a. Waktu itu dimulai dari duduknya imam sampai pelaksanaan shalat jum’at
Dari Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata padanya, “Apakah engkau telah mendengar ayahmu meriwayatkan hadits dari Rasulullah sehubungan dengan waktu ijaabah pada hari jum’at?” Lalu Abu Burdah mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Yaitu waktu antara duduknya imam sampai shalat dilaksanakan.’” (HR. Muslim)
Imam Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat di atas. Sedangkan Imam As-Suyuthi rahimahullah menentukan waktu yang dimaksud adalah ketika shalat didirikan.
b. Batas akhir dari waktu tersebut hingga setelah ‘ashar
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hari jum’at itu dua belas jam. Tidak ada seorang muslimpun yang memohon sesuatu kepada Allah dalam waktu tersebut melainkan akan dikabulkan oleh Allah. Maka peganglah erat-erat (ingatlah bahwa) akhir dari waktu tersebut jatuh setelah ‘ashar.” (HR. Abu Dawud)
Dan yang menguatkan pendapat kedua ini adalah Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, beliau mengatakn bahwa, “Ini adalah pendapat yang dipegang oleh kebanyakan generasi salaf dan banyak sekali hadits-hadits mengenainya.”
5. Dosa-dosanya diampuni antara jum’at tersebut dengan jum’at sebelumnya
Dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah seseorang mandi pada hari jum’at dan bersuci semampunya, berminyak dengan minyak, atau mengoleskan minyak wangi dari rumahnya, kemudian keluar (menuju masjid), dan dia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian dia mendirikan shalat yang sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan (dengan seksama) ketika imam berkhutbah melainkan akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi) antara jum’at tersebut dan jum’at berikutnya.” (HR. Bukhari)
Amalan-Amalan yang Disyari’atkan pada Hari Jum’at
1. Memperbanyak shalawat
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Perbanyaklah shalawat kepadaku setiap hari jum’at karena shalawatnya umatku akan dipersembahkan untukku pada hari jum’at, maka barangsiapa yang paling banyak bershalawat kepadaku, dia akan paling dekat derajatnya denganku.” (HR. Baihaqi dengan sanad shahih)
2. Membaca surat Al Kahfi
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari jum’at akan diberikan cahaya baginya diantara dua jum’at.” (HR. Al Hakim dan Baihaqi dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
3. Memperbanyak do’a (HR Abu Daud poin 4b.)
4. Amalan-amalan shalat jum’at (wajib bagi laki-laki)
  • Mandi, bersiwak, dan memakai wangi-wangian.
  • Berpagi-pagi menuju tempat shalat jum’at.
  • Diam mendengarkan khatib berkhutbah.
  • Memakai pakaian yang terbaik.
  • Melakukan shalat sunnah selama imam belum naik ke atas mimbar.
Saudariku, setelah membaca artikel tersebut semoga kita bisa mendapat manfaat yang lebih besar dengan menambah amalan-amalan ibadah yang disyari’atkan. Sungguh begitu banyak jalan agar kita bisa meraup pahala sebanyak-banyaknya sebagai bekal perjalanan kita di akhirat kelak. Wallahu a’lam.

Rabu, 17 April 2013

Pesan Syekh Sa'ad Al Ghamidi Bagi yang Telah Hafal Qur'an


JAKARTA -- Imam Masjid Nabawi, Syaikh Sa'ad Al Ghamidi mendorong orang yang hafal Alquran untuk meneruskan ke tahap yang lebih tinggi. Misalkan dengan mengambil riwayat qira’ah dari para Qari.
"Misalkan mereka mengambil qiraah Hamzah, bin Katsir, Amar, dan lain sebagainya. Atau melanjutkan dengan fahmal Quran (membahas tafsir dengan memahami isi dan kandungan Alquran)," paparnya, Ahad (31/3) malam.
Ia pun mempertanyakan, apakah mereka tidak men-tadabbur ayat Alquran? Menurutnya, men-tadabbur lebih penting dari pada sekadar menghafal Alquran. "Tadabbur Alquran itu wajib, sementara menghafal Alquran hanya mustahab (sunnah). Tapi tidak ada salahnya kita menerapkan metode dengan menghafal Alquran lebih dahulu, baru di tingkatan selanjutnya dengan men-tadabbur Alquran," jelasnya.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/04/01/mkl3ev-telah-hafal-alquran-ini-saran-imam-masjid-nabawi

Selasa, 16 April 2013

Mengidolakan RasuluLlah


Anas ibnu Malik ra meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Sungguh beruntung sekali orang yang beriman kepadaku dan pernah melihatku, sungguh beruntung sekali orang yang beriman kepadaku dan belum melihatku sampai tujuh kali."

Hadis tersebut jelas membawa berita gembira bagi kita umat Rasululllah Saw yang beriman kepadanya walaupun belum pernah melihat sosok pemimpin umat terhebat tersebut. Tidak main-main, bahkan keberuntungan kita tujuh kali lipat dibanding para sahabat ra. Namun syarat keberuntungan ini pun tidak pula main-main. Harus terdapat iman kepada Rasulullah Saw.

Salah satu indikator adanya keimanan kepada Rasulullah Saw di dalam hati kita adalah adanya rasa cinta kepada Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah bersabda "Tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan dari manusia seluruhnya." 

Marilah kita jujur bertanya kepada hati kita masing-masing. “Sudahkah kita mencintai Rasulullah lebih dari orang tua, anak, dan manusia seluruhnya?” Tampaknya kita harus banyak beristighfar.

Kondisi zaman pada saat ini telah banyak membiaskan kecintaan serta keidolaan kita. Minoritas manusia saat ini mengidolakan Nabi Akhir Zaman Muhammad Saw. Sedang mayoritas, pastilah poster-poster rocker atau artis atau apalah itu yang memenuhi dinding kamar mereka. Padahal jelaslah sudah Allah berfirman di dalam Alquran bahwa di dalam diri Rasulullah terdapat suri teladan yang paling baik.

Untuk mencintai Rasulullah Saw secara paripurna memanglah membutuhkan proses dan usaha yang harus dijalankan dengan segenap jiwa. Harus ada kesadaran dan keinginan dari dalam hati untuk dapat mencintai Rasulullah Saw. Bagaimana mungkin kita tidak ingin mencintai Rasulullah, sedang syafa’at beliaulah yang akan menyelamatkan kita dari siksa api neraka.

Seorang remaja yang setiap harinya membaca gosip seorang artis, dengan tekun menyimak beritanya, mendengarkan lagu rocker kesukaannya, mendiskusikannya dengan teman-temannya, sudah barang tentu lambat laun kecintaannya pada artis tersebut setiap harinya semakin bertambah.

Demikian pula, untuk semakin mencintai Rasulullah kita perlu sering membaca kisah-kisah beliau yang menggetarkan jiwa. Kita perlu sering membicarakan Rasulullah dengan segala kesempurnaan akal dan akhlaknya. Kita berusaha menghidupkan sunnah Rasulullah dalam keseharian kita, mulai dari yang paling sederhana.

Dilengkapi dengan doa kepada Allah agar dimasukkan rasa cinta kepada Rasulullah Saw didalam hati kita, InsyaAllah lambat laun kita akan semakin mencintai Rasullulah Saw. Manusia yang harus lebih kita cintai dari pada orang tua, anak ataupun manusia seluruhnya.

Momen Maulud Nabi belum lama ini semoga dapat menyadarkan kita untuk menjadikan Rasulullah Saw sebagai idola nomor satu kita. Sehingga kita tidak ragu-ragu untuk mengatakan, “Our Idol is Muhammad Rasulullah Saw.” Mari bersalawat ke atas Nabi.

Pertolongan Al-Qur'an di Alam Kubur


Dari Sa’id bin Sulaim ra, Rasulullah SAW bersabda, “Tiada penolong yang lebih utama derajatnya di sisi Allah pada hari Kiamat daripada Al-Qur’an. Bukan nabi, bukan malaikat dan bukan pula yang lainnya.” (Abdul Malik bin Habib-Syarah Ihya).

Bazzar meriwayatkan dalam kitab La’aali Masnunah bahwa jika seseorang meninggal dunia, ketika orang-orang sibuk dengan kain kafan dan persiapan pengebumian di rumahnya, tiba-tiba seseorang yang sangat tampan berdiri di kepala mayat. Ketika kain kafan mulai dipakaikan, dia berada di antara dada dan kain kafan.

Setelah dikuburkan dan orang-orang mulai meninggalkannya, datanglah dua malaikat. Yaitu Malaikat Munkar  dan Nakir yang berusaha memisahkan orang tampan itu dari mayat agar memudahkan tanya jawab.

Tetapi si tampan itu berkata,” Ia adalah sahabat karibku. Dalam keadaan bagaimanapun aku tidak akan meninggalkannya. Jika kalian ditugaskan untuk bertanya kepadanya, lakukanlah pekerjaan kalian. Aku tidak akan berpisah dari orang ini sehingga ia dimasukkan ke dalam syurga.”

Lalu ia berpaling kepada sahabatnya dan berkata,”Aku adalah Alquran yang terkadang kamu baca dengan suara keras dan terkadang dengan suara perlahan. Jangan khawatir setelah menghadapi pertanyaan Munkar dan Nakir ini, engkau tidak akan mengalami kesulitan.” 

Setelah para malaikat itu selesai memberi pertanyaan, ia menghamparkan tempat tidur dan permadani sutera yang penuh dengan kasturi dari Mala’il A’la. (Himpunan Fadhilah Amal : 609)

Allahuakbar, selalu saja ada getaran haru selepas membaca hadis ini. Getaran penuh pengharapan sekaligus kekhawatiran. Getaran harap karena tentu saja mengharapkan Alquran yang kita baca dapat menjadi pembela kita di hari yang tidak ada  pembela. Sekaligus getaran takut, kalau-kalau Alquran akan menuntut kita. Allah… terimalah bacaan Alquran kami. Sempurnakanlah kekurangannya.

Banyak riwaya yang menerangkan bahwa Alquran adalah pemberi syafa’at yang pasti dikabulkan Allah SWT. Upaya agar mendapatkan syafaat Alquran tentu saja dengan mendekatkan diri kepada Alquran. Salah satu cara yang sangat baik dalam “memaksa” kita untuk dekat dengan Alquran adalah dengan menghafalkannya.

Dengan berniat menghafal Alquran hati kita seakan-akan terpanggil untuk selalu memegang Alquran. Ada tanggung jawab yang membuat kita merasa “bersalah” jika tidak memegang Al-Qur’an. Walaupun mungkin sekedar membacanya.

Pada akhirnya kita mau tidak mau “dipaksa” untuk mendekat kepada Alquran. Dapat dikatakan dengan menghafalkan Alquran kita telah mengikatkan diri dengan Al-Qur’an. Sesibuk apapun kita, kita dipaksa untuk selalu dekat Alquran. Dan itu sungguh bukan termasuk “pemaksaan” yang aniaya. Melainkan pemaksaan yang penuh kebaikan.

Semoga hadis di atas menjadi cambuk bagi kita ketika rasa malas menerpa kita. Semoga Allah dengan kemuliaanNya menjadikan Alquran sebagai syafa’at bagi kita, bukan sebagai penuntut kita. 

Semoga Alquran menjadi “teman” bagi kita ketika tidak ada sesuatupun di dunia ini yang dapat menemani kita. Amin. Mari menghafal Alquran.

Rabu, 21 Maret 2012

Tafsir Munir DR. Wahbah Zuhayli


Setelah kemarin saya upload setup qur’an in Ms. Word, saya hari ini mempunyai sesuatu untuk dibagikan kepada teman-teman semuanya. Yakni ebook tafsir munir karangan DR. Wahbah Zuhayli yang cocok untuk tambahan buku bagi yang sudah memiliki maktabah syamilah. Saya upload ebook kitab ini karena saya yakin banyak teman-teman yang membutuhkan kitab ini dalam versi ebook. Entah karena untuk mempermudah ketika membacanya dan mudah dibawa-bawa tapi yang pasti ebook ini sangat murah dan bahkan gratis tis tis..hehe
Sebetulnya keinginan saya untuk menyebarkan ebook ini berawal ketika saya kehilangan kitab tafsir munir karangan DR. Wahbah Zuhayli dua jilid yaitu jilid delapan dan sebelas ketika di kereta dari Rangkasbitung menuju Ciputat (curhat dikit hehe..)
DR. Wahbah Zuhayli

Berawal kecintaan saya dengan kitab ini yang sangat menarik untuk di baca dan dari musibah yang saya alami maka saya berinisiatif untuk mencari versi ebooknya dan setelah saya dapatkan, maka saya pun membagikannya kepada teman-teman yang membutuhkannya.
Maka malam ini saya sempatkan untuk beramal di dunia maya. Langung aja Chekedot….

Selasa, 20 Maret 2012

Qur’an in word

Wah sudah lama sekali ternyata saya tidak pernah upload software di blog ini. Dengan sedikit agak lelah pulang kerja sekaligus tadi pagi saya kehilangan buku tafsir munir karangan DR. Wahbah Zuhayli (curhat dikit hehe..) saya sempatkan untuk beramal di dunia maya.
oy untuk sekedar tahu aja ya bahwa ketika nulis ini saya sedang menikmati makan malam dengan istri tercinta..hehe
Oke hari ini saya upload plug in Qur’an untuk Ms. Word yaitu Qur’an in word. Plug in ini berfungsi untuk menulis al-qur’an beserta terjemahannya dengan mudah di Ms. Word.
Langsung zz download di SINI!

Senin, 26 September 2011

إن الله سبحانه وتعالى واحد

الواحد في اللغة اسم فاعل للموصوف بالواحدية أو الوحدانية ، فعله وحد يوحد وحادة وتوحيدا ، ووحده توحيدا جعله واحدا ، والواحدُ أَول عدد الحساب وهو يدل على الإثبات ، فلو قيل في الدار واحد لكان فيه إثبات واحد منفرد مع إثبات ما فوق الواحد مجتمعين ومفترقين[1].

        والواحد سبحانه هو القائم بنفسه المنفرد بوصفه الذي لا يفتقر إلى غيره أزَلا وأبَدا وهو الكامل في ذاته وأسمائه وصفاته وأفعاله ، فهو سبحانه كان ولا شيء معه ، ولا شيء قبله ، ومازال بأسمائه وصفاته واحد أولا قبل خلقه ، فوجود المخلوقات لم يزده كمالا كان مفقودا ، أو يزيل نقصا كان موجودا ، فالوحدانية قائمة على معنى الغنى بالنفس والانفراد بكمال الوصف ، قال ابن الأَثير:(الواحد في أَسماء الله تعالى هو الفرد الذي لم يزل وحده ولم يكن معه آخر).

        الأحد في اللغة اسم فاعل أو صفة مشبهة للموصوف بالأحدية، فعله أحَّد يأحد تأحيدا وتوحيدا، أي حقق الوحدانية لمن وحده ، وهو اسم بني لنفى ما يذكر معه من العدد، تقول ما جاء بي أحد، والهمزة فيه بدل من الواو، وأصله وحد لأنه من الوحدة، والفرق اللغوي بين الواحد والأحد أن الأحد شيء بني لنفي ما يذكر معه من العدد، والواحد اسم لمفتتح العدد، وأحد يصلح في الكلام في موضع الجحود والنفي، وواحد يصلح في موضع الإثبات، يقال ما أتاني منهم أحد فمعناه لا واحد أتاني ولا اثنان، وإذا قلت جاءني منهم واحد فمعناه أنه لم يأتني منهم اثنان، فهذا حد الأحد ما لم يضف، فإذا أضيف قرب من معنى الواحد، وذلك أنك تقول: قال أحد الثلاثة كذا وكذا، وأنت تريد واحدا من الثلاثة[2].
       
        والأحد سبحانه وتعالى هو المنفرد بذاته ووصفه المباين لغيره، كما قال تعالى في معنى الأحدية: وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَد [الإخلاص:4]، فالأحدية هي الانفراد ونفي المثلية ، وتعني انفراده سبحانه بذاته وصفاته وأفعاله عن الأقيسة والقواعد والقوانين التي تحكم ذوات المخلوقين وصفاتهم وأفعالهم، كما قال تعالى:﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ﴾[3] ، فبين سبحانه انفراده عن كل شيء من أوصاف المخلوقين بجميع ما ثبت له من أوصاف الكمال، فالأحد هو المنفرد الذي لا مثيل له فنحكم على كيفية أوصافه من خلاله، ولا يستوي مع سائر الخلق فيسري عليه قانون أو قياس أو قواعد تحكمه كما تحكمهم ، لأنه المتصف بالتوحيد المنفرد عن أحكام العبيد وقال تعالى:﴿ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّا﴾[4] ، أي شبيها مناظرا يدانيه أو يساويه أو يرقى إلى سمو ذاته وصفاته وأفعاله.
        والواحد سبحانه هو القائم بنفسه المنفرد بوصفه الذي لا يفتقر إلى غيره أزَلا وأبَدا وهو الكامل في ذاته وأسمائه وصفاته وأفعاله ، فهو سبحانه كان ولا شيء معه ، ولا شيء قبله ، ومازال بأسمائه وصفاته واحد أولا قبل خلقه ، فوجود المخلوقات لم يزده كمالا كان مفقودا ، أو يزيل نقصا كان موجودا ، فالوحدانية قائمة على معنى الغنى بالنفس والانفراد بكمال الوصف ، قال ابن الأَثير:( الواحد في أَسماء الله تعالى هو الفرد الذي لم يزل وحده ولم يكن معه آخر).

الأدلة على وحدانية الله[5]:            
        ومن الأدلة العقلية في إثبات وحدانية الإله وتفرده بالربوبية دليل التمانع وملخصه أنا لو قدرنا إلهين اثنين وفرضنا عرضين ضدين، وقدرنا إرادة أحدهما لأحد الضدين وإرادة الثاني للثاني فلا يخلو من أمور ثلاثة ، إما أن تنفذ إرادتهما، أو لا تنفذ، أو تنفذ إرادة أحدهما دون الآخر، ولما استحال أن تنفذ إرادتهما لاستحالة اجتماع الضدين واستحال أيضا ألا تنفذ إرادتهما لتمانع الإلهين وخلو المحل عن كِلا الضدين، فإن الضرورة تقتضي أن تنفذ إرادة أحدهما دون الآخر، فالذي لا تنفذ إرادته هو المغلوب المقهور المستكره والذي نفذت إرادته هو الإله المنفرد الواحد القادر على تحصيل ما يشاء ، قال تعالى:﴿ مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذاً لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ﴾[6] ، فلا يجوز أن يكون في السماوات والأرض آلهة متعددة بل لا يكون الإله إلا واحدا وهو الله سبحانه، ولا صلاح لهما بغير الوحدانية، فلو كان للعالم إلهان ربان معبودان لفسد نظامه واختلت أركانه ، قال تعالى: ﴿لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ﴾ [7] ، فأساس قيام الخلق وبقاء السماوات والأرض هي وحدانية الله وانفراده عمن سواه قال تعالى:﴿ إِنَّ اللهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ أَنْ تَزُولا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيماً غَفُوراً﴾[8].

واستعمال لفظ – واحد- على أنه صفة، فإنه لا تكون له هذه الدلالة الكمية، إنما يكون في هذه الحالة لذات ينفى عليها الكثرة على نحو ما هو مستعمل معنى وصفا لله عز وجل.
        يقول الإما أبو حامد الغزالي: ندعي أنه سبحانه وتعالى واحد، فإن كونه واحد يرجع إلى ثبوت ذاته ونفي غيره فليس هو نظرا في صفة زائدة على الذات فوجب ذكره في هذا القطب.[9]




كيف يثبت الغزالي آراءه في هذه الحالة[10]:
أ‌.       ما ينفى عنه قابلية الانقسام. وهي:
1.   القابلية للانقسام لابد أن يكون المنقسم كما
2.   الكم لا يكون إلا في الأجسام والأعراض
3.   قد ثبت أن الله تعالى ليس بجسم ولا بعرض
ب‌. ما ينفى عنه الشريك أو الضد المناوئ والنظير المساوى: نفي أن يكون هناك موجود له من المكانة والتصرف 

 معنى الواحد وصفا لله عز وجل[11]:
وحين يطلق الوصف –واحد على الله عز وجل، فإنه ينفى عنه أشياء كثيرة يمكن إجمالها في اتجاهين:
أحدهما: ما ينفى عنه قابلة الانقسام
ثانيهما: ما ينفى عنه الشريك بمعنى ضد المناوئ. أو النظير المساوى ولتحدث حول هذين المعنيين الذين استفدناهما من وصف الله عز وجل- بالواحد
1.   قد يطلق لفظ الواحد – وصفا على الله عز وجل، ويفهم منه سلب أو نفي قابليته تعالى للقسمة في ذاته.
2.   قد يطلق لفظ – الواحد – لفي أن يكون له موجود له من المكانة والتصرف في الكون ما لله عز وجل.
       وأما صفة الوحدانية هي من الصفات الأساسية في التصور الإسلامي، بل هي مهمة جميع الأنبياء و المرسلين الذين اتجهوا في دعوتهم إلى عبادة الإله الواحد، وتفني جميع ضروب الشرك.
       
        ولله مدلول الوحدانية عقديا أنه سبحانه و تعالى واحد من حيث الذات ، والصفات واللأفعال.
        أولا،بالنسبة للذات : أنه غير مركبة من أجزاء ، وأنها غير متعددة ، بحيث يكون الله إله ثان ، فهي واحدة من غير تركيب ولا تعدد.
        ثانيا، بالنسبة للصفات : فهي غير متعددة من جنس واحد كقدرتين فأكثر مثلا و أنه لا توجد لأحد صفة تشبه صفاته.
        ثالثا،بالنسبة للأفعال: أنه لا يوجد لغير الله فعل من الأفعال على سبيل الإيجاد والاختراع وإنما ينسب الفعل لغير الله تعالى على وجه الكسب والاحتياز.


[1]  أسماء الله الحسنى، محمد بن صالح العثيمين، ج 32 ص 69
[2] أسماء الله الحسنى، محمد بن صالح العثيمين، ج 32 ص 105
[3]   القرآن الكريم، سورة الشورى، الآية 11
[4] القرآن الكريم، سورة مريم الأية 65
[5] أسماء الله الحسنى، محمد بن صالح العثيمين، ج 32 ص71
[6] القرآن الكريم سورة المؤمنون الآية 91
7. القرآن الكريم سورة الانبياء الاية 22
[8] القرآن الكريم سورة فاطر الأية 41
[9] الاقتصاد في الاعتقاد – للاما الغزالي – ص 67
[10]  توضيح المراد من الاقتصاد في الاعتقاد – للاما الغزالي – ص 135
[11] توضيح المراد من الاقتصاد في الاعتقاد – للاما الغزالي – ص 134

Sabtu, 06 Agustus 2011

IMPORTANCE OF QUR'AN

The Glorious Qur’an is the Book of Allah, the Most Gracious, Most Merciful, Who has promised to safeguard it from any violations in its purity, the most important and sacred book and the ultimate guidance for all. The Qur’an was revealed in the month of Ramadhan to the prophet Mohammed (peace be upon him) by the angel Jibrail.
The Qur’an is a source of inspiration for us all and there are many ways in which the Qur’an can be implemented not only throughout Ramadhan but throughout our lives. Below are a few examples of how we could use Qur’an in our lives.
Listen to the Qur’an - this can be done in a number of ways at home. Listen to other members of the family reciting Qur’an, or put a tape on and listen to a recitation. While out and about you can listen in the car, or take a personal stereo player - but remember personal safety at all times.
How much time do we spend waiting for someone or something or in a queue? This time could be put to use, listening to a Qur’anic recitation tape. This will help you relax and make better use of your time.
Study and understand the Qur’an – this can be done on your own, or with a group of friends. You could set up a study circle which helps make studying easier. The circle could meet regularly, or just as a one off. Remember that during Ramadhan the rewards are increased.
Convey the message of the Qur’an – the Qur’an is useful for everyone. Conveying the message of Islam is compulsory upon all Muslims, and this can be done through the Qur’an, which is beautiful to read. Most translations contain an easy to follow guide.
Make use of the Qur’an in our lives - the Qur’an contains invaluable information that Muslims should use in their personal and communal matters, and at all levels of society.
The Qur’an will help guide us through all the situations in our lives.
Memorise verses of the Quran - Memorisation in Ramadan carries more reward than at any other time in the year. Be sure to check your memorised recitation by reciting it to a Qur’an teacher, or someone who has good knowledge of the Qur’an.
Increase your recitation of the Qur'an in Ramadan – Recitation during Ramadhan carries much reward, and extra recitation should be encouraged. During salah (obligatory prayer) make use of longer surah’s where you might previously have used shorter ones.
Perform Taraweeh prayers in congregation - The completion of the Qur’an takes place over the period of Ramadhan and there is much reward for praying in congregation.
Recite during the night – “Truly the rising by night is most potent for governing (the soul) and most suitable for (framing) the Word (of Prayer and Praise).” The Holy Quran 73:6. Reciting during the day is also beneficial, but night time recitation is easier as there are less distractions and noise.
There are many texts we can study to look at the meaning of Ramadhan, but for this section we will look purely at the Qur’anic translation in English. It is important to look at the Qur’an relating to the verses regarding Ramadan so we can understand the essence of fasting. The verse that will be looked at is surah Al – Baqarah, it is the second surah in the Qur’an and one of the longest surahs.
Fasting for a fixed number of days; but if any of you is ill or on a journey the prescribed number (should be made up) from days later. For those who can do it (with hardship) is a ransom the feeding of one that is indigent. But he that will give more of his own free will it is better for him and it is better for you that ye fast if ye only knew. THE HOLY QURAN 2 : 184
Ramadhan is the (month) in which was sent down the Qur'an, as a guide to mankind, also clear (Signs) for guidance and judgment (Between right and wrong). So every one of you who is present (at his home) during that month should spend it in fasting, but if any one is ill, or on a journey, the prescribed period (Should be made up) by days later. Allah intends every facility for you; He does not want to put to difficulties. (He wants you) to complete the prescribed period, and to glorify Him in that He has guided you; and perchance ye shall be grateful. THE HOLY QURAN 2: 185
These ayat show us the mercy of Allah (SWT) whose mercy enables us to omit our fast when we are ill or travelling so the fast may not be a burden on us. It also allows us to take part in charity towards those less fortunate then ourselves so that we can appreciate what we have.
Here is a hadith which is narrated by Ibn 'Abbas:
“The Prophet was the most generous person, and he used to become more so (generous) particularly in the month of Ramadhan because Gabriel used to meet him every night of the month of Ramadhan till it elapsed. Allah's Apostle used to recite the Qur'an for him. When Gabriel met him, he used to become more generous than the fast wind in doing good”. Therefore let us also become generous by increasing the amount of Qur’an we recite in the month of Ramadhan.

Minggu, 19 Juni 2011

Ahlul Kitab Dalam Sorotan

Upaya meluruskan pemahaman dan pelaksanaan
Prolog
Pikiran yang menganggap semua agama itu sama sudah lama hadir di negeri Indonesia. Segala macam cara mereka masuki agar dapat meyakinkan manusia bahwa agama yang dianutnya bukanlah satu-satunya agama yang benar. Sebab –menurut mereka- semua agama sama-sama mengajarkan kebenaran moral dan spiritual. Lebih jauh lagi meraka berkeyakinan bahwa tidak ada satupun agama yang sempurna (kâfah), karena itu semua agama bisa saling menyempurnakan antara satu dengan yang lainnya. Ajaran Nabi Ibrahim yang hanif mereka anggap telah mencakup tiga agama samawi yang sekarang masih ada, yaitu Yahudi, Nashrani dan Islam, padahal orang-orang Yahudi telah dikatakan kafir ketika mereka mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah Swt, sedangkan orang-orang Nashrani dikatakan kafir ketika mengatakan bahwa Isa as. adalah anak Allah Swt, sedangkan Nabi Ibrahim tidak mengajarkan sebuah kemusyrikan. Pemikiran mereka ini berawal dari ketidakfahaman akan hakikat ke-kâfah-an Islam. Karena itu, Islamlah sebagai agama penerus ajaran Nabi Ibrahim yang hanif.[1]
Berlepas dari apa tujuan mereka melahirkan pemikiran bahwa semua agama itu sama, atau apa yang mereka sebut dengan "Pluralisme Agama", saya di sini hanya akan membahas satu diantara banyak cara para "Pion" pluralis agama dalam meluluskan obsesi mereka, yaitu mengenai konsep Ahlul Kitab. Makna Ahlul Kitab yang sering mereka fahamkan kepada muslim khususnya, diartikan hanya sebatas literal, yaitu “Konsep yang memberi pengakuan tertentu kepada para penganut agama diluar Islam yang memiliki kitab suci”[2], lebih jauh lagi mereka mendefinisikannya sebagai: “mereka yang percaya kepada Tuhan dan hari akhir, dan tentunya juga percaya kepada salah seorang nabi dan mengakui adanya kitab suci yang menjadi pegangan mereka. Karena itu, siapa saja yang mengaku pimpinan agamanya sebagai nabi dan mempunyai kitab suci, pengikutnya dapat disebut sebagai Ahli Kitab”. Sehingga dalam keyakinan mereka agama buatan manusiapun mereka anggap sebagai ahlul kitab, karena merekapun memiliki kitab suci, semisal; Budha, Hindu, Kong hu chu, dll .

Definisi
Imam Syafi’i (wafat 204H) dalam kitabnya “Al Umm” menyebutkan definisi Ahlul kitab dengan menyitir ucapan Atha (seorang Tabi’in) yang berkata “Orang Kristen Arab bukan termasuk ahli kitab, ahli kitab adalah keturunan Israel. Yakni orang-orang yang datang kepada mereka kitab Tauret dan Injil. Adapun orang lain yang memeluk agama mereka bukan Ahlul kitab”. [3]
Dari definisi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Ahlul kitab adalah orang-orang yang beragama Yahudi dan Nashrani keturunan bangsa Israel, adapun Yahudi dan Nashrani yang bukan keturunan bangsa Israel bukanlah termasuk Ahlul kitab. Definisi ini sejalan dengan firman Allah Swt. dalam surat Ash Shaf: 6 yang berbunyi “Dan  ketika 'Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan  seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad ….". Ucapan Nabi Isa As. ini menegaskan akan keterbatasan ajaran yang dibawa oleh Nabi Isa, yaitu hanya untuk Bangsa Israel dan hanya hingga kedatangan Nabi Muhammad Saw.
Di dalam Injilpun terdapat ayat yang senada dengan semangat ayat Al Qur'an tadi, yang menunjukan keterbatasan ajaran Nabi Isa hanya bagi bangsa Israel. Nabi Isa bersabda: “Aku  diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel” (Matius 15:24), karena ajaran Nabi-Nabi sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw. yang berjumlah 124.000 Nabi, dibatasi oleh tempat (bangsa) dan waktu. Sedangkan Nabi Isa dibatasi hanya untuk satu bangsa (Israel) dan hanya untuk waktu sampai sebelum diutus Muhammad Saw. Adapun Rasulullah adalah penutup para Nabi yang diutus kepada semua bangsa dan untuk masa yang tidak ditentukan, sebagaimana firman Allah Swt. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk  rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiyâ: 107).
Maka dapat didefinisikan bahwa Ahlul Kitab adalah: "Orang yang beragama Yahudi dan Nashrani keturunan bangsa Israel, yang masih ada setelah kedatangan Nabi Muhammad Saw.".

Memilah-milah Ahlul kitab
Di dalam Al Qur’an terdapat banyak keterangan mengenai sifat-sifat para Ahlul kitab, baik ditinjau dari kepribadian mereka dalam memperlakukan dirinya sendiri, atau didalam merespon kepada orang dan agama lain (Islam). Sifat-sifat ini selayaknya dibedakan dan ditempatkan sesuai dengan porsinya masing-masing, agar tidak terjadi pengeneralisiran yang akhirnya membenarkan atau menyalahkan secara keseluruhan. Sebagaimana Allah berfirman bahwa Ahlul kitab itu tidaklah sama, diantara meraka ada yang berlaku lurus yang akhirnya mereka masuk Islam, tapi kebanyakan diantara Ahlul kitab itu adalah orang-orang yang fasiq.[4]
Karenanya, memilah Ahlul kitab adalah suatu kemestian agar kita dapat memposisikan mereka sesuai dengan kepribadian mereka masing-masing. Akhirnya kita bisa memilah mana yang layak untuk diajak bersosial ataukah tidak layak. Penulis membagi Ahlul kitab kepada tiga golongan, pertama, Mereka yang baik dan akhirnya masuk Islam, kedua, Mereka yang fasiq dan mengingkari Islam, ketiga, Mereka yang masih memegang agamanya, akan tetapi dalam perlindungan Islam. Namun yang mesti diperhatikan, bahwa ketika golongan Ahlul kitab ini adalah mereka yang merupakan keturunan bangsa Israel.
1.      Ahlul kitab yang baik dan masuk Islam
Golongan ini adalah mereka yang masih memegang teguh ajaran Tauret dan Injil yang belum mengalami deviasi (Tahrif), sehingga ketika dibacakan ayat-ayat Al Qur’an kepada mereka, air matanya bercucuran, seraya mereka berharap agar digolongkan ke dalam orang-orang yang menjadi saksi.[5] Serta apabila mereka mendengarkan perkataan yang tidak bermanfaat, mereka langsung berpaling dan menjauhi orang-orang yang jahil (bodoh)[6].
Pada akhirnya, golongan pertama ini masuk Islam, beriman kepada Allah dan hari akhir, beriman kepada Al Qur’an dan beriman kepada kenabian Rasulullah Saw. Dan Allah memberi mereka balasan di dunia berupa limpahan rahmat dari langit dan bumi[7], dan mereka mendapatkan pahala dua kali lipat disebabkan kesabaran mereka[8], serta di akhirat mereka mendapatkan kekekalan di syurga[9].
Adapun sikap kita selaku muslim terhadap mereka, mesti disejajarkan dengan sikap kita terhadap saudara semuslim. Kenapa?, karena mereka adalah Ahlul kitab yang telah masuk Islam. Diantara golongan ini pada jaman Nabi Saw. ada yang bernama Abdullah Ibn Aslam (mantan Yahudi) dan Tamim Ad Dari (mantan Nashrani).
2.      Ahlul kitab yang fasiq dan mengingkari Islam
  1. Golongan kedua ini muncul disebabkan mereka telah semena-mena mentahrif kitab-kitab sebelum Al Qur’an[10], lalu mereka lantas mengingkari kenabian Muhammad Saw., padahal mereka telah mengenal Muhammad layaknya mereka mengenal anak-anaknya sendiri[11]. Sekaligus, mereka mengingkari ke-Esa-an Allah Swt., dengan mengatakan bahwa Allah adalah salah satu dari oknum yang tiga[12], atau mereka mengatakan bahwa Uzair anak Allah dan Isa sebagai anak Allah dan tuhan bagi mereka, serta menjadikan rahib (pendeta) mereka sebagai tuhan mereka[13].
Mereka inilah yang dikatakan imam Syafi’i dalam kitab “Ar Risalah”nya sebagai “orang-orang yang menukar hukum-hukum Allah, kafir kepada-Nya, serta menghiasi lidah mereka dengan kebohongan. Kemudian mereka mencampuradukkan antara kebohongan mereka dengan kebenaran yang telah Allah terangkan kepada mereka”. Golongan kedua ini tidak hanya menanamkan jiwa fasiq pada dirinya sendiri, akan tetapi merekapun gencar menghasut orang-orang yang beriman. Mereka begitu dengki, sehingga mereka tidak mau orang-orang yang beriman mendapatkan kebaikan dari Allah Swt.[14] dan berusaha ingin mengkafirkannya[15], serta menyesatkannya[16], kemudian mereka ingin memadamkan cahaya di hati-hati orang yang beriman[17].
Adapun sikap kita terhadap mereka mesti diletakkan sesuai dengan apa yang mereka perbuat kepada kita, agar menahan konspirasi mereka terhadap kita dan agar aqidah umat Islam tetap kokoh tidak layaknya aqidah kaum liberalis. Kita dianjurkan berdebat dengan baik kepada mereka, kecuali jika mereka tetap membantah dan menyatakan permusuhan[18], dan tidak boleh sekali-kali mematuhi mereka dengan tidak menjadikan mereka sebagai teman kepercayaan[19], serta tidak menjadikan mereka sebagai pemimpin[20]. Juga mesti memerangi mereka, karena mereka termasuk kafir harbi, yaitu; kafir yang wajib diperangi, sebab mereka selalu manyalakan api peperangan[21]. Contoh riilnya, mereka selama setengah abad lamanya sampai saat ini menindas dan menjajah muslimin di Palestina. Serta yang tidak kalah pentingnya, kita mesti bersabar terhadap segala bencana, agar tipu daya mereka tidak mendatangkan madlarat bagi kita[22].
3.      Ahlul kitab yang berada dibawah perlindungan Islam
Golongan ketiga ini adalah mereka yang dinamakan dengan kafir dzimmi (kafir yang dilindungi). Mereka masih beraktifitas dan beribadah sesuai keyakinan mereka serta tidak bersikap layaknya golongan kedua, tetapi mereka berada dalam perlindungan pemerintahan Islam yang mewajibkan mereka agar membayar Jizyah (pajak jaminan keamanan). Golongan ketiga ini dinamakan juga dalam Al Qur’an sebagai “Ummatun Muqtashidah”, sebagaimana firman-Nya : “Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan Taurat dan Injil dan yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan yang pertengahan/Ummatun Muqtashidah. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.”(QS. Al Mâidah: 66).
Imam Al Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al Jâmi’u li Ahkâmil Qur’ân menyitir satu pendapat mengenai penafsiran kalimat Ummatun Muqtashidah, yaitu “Suatu kaum yang tidak beriman, akan tetapi mereka bukan termasuk golongan yang suka menyakiti dan mengejek (agama lain)”[23]. Jadi, Ummatun Muqtashidah adalah Ahlul kitab yang tidak suka menyakiti dan mengejek agama lain, akan tetapi mereka berada di bawah perlindungan Islam.
Sikap kita terhadap Ahlul kitab golongan ketiga ini hampir sama seperti sikap kita terhadap Ahlul kitab golongan kedua, yaitu; dianjurkan berdebat dengan baik kepada mereka, tidak boleh mematuhi mereka dengan tidak menjadikan mereka sebagai teman kepercayaan, serta tidak menjadikan mereka pemimpin muslimin, kemudian mesti bersabar. Akan tetapi, kita diharamkan membunuh dan memerangi mereka[24], sebagaimana sabda Rasulullah Saw. “Barangsiapa membunuh orang yang berada dalam perjanjian (kafir dzimmi), maka dia tidak akan mencium wangi syurga. Padahal wangi syurga tercium sepanjang perjalanan empat puluh tahun” (HR. Bukhari). Juga, kita mesti menjaga harta dan keturunan mereka, dan melarang memaksakan suatu agama kepada mereka[25]. Agama kitapun membolehkan untuk bersosial dengan mereka selama mereka tidak memerangi[26].

Dari pengelompokkan Ahlul kitab ini, dapat disimpulkan bahwa firman Allah Swt. mengenai Ahlul kitab yang membaca ayat-ayat Allah Swt. pada malam hari seraya bersujud[27], dan firman Allah Swt. yang menyebutkan bahwa mereka menitikkan air mata ketika dibacakan Al Qur’an[28] adalah; firman yang ditujukan khusus bagi Ahlul kitab golongan pertama (Ahlul kitab yang baik dan akhirnya masuk Islam). Artinya, kedua firman ini tidak bisa diterapkan kepada Ahlul kitab golongan kedua dan ketiga.
Sebaliknya, firman Allah Swt. yang menegaskan bahwa Ahlul kitab yang menyembah Nabi Isa As.[29], dan Ahlul kitab yang suka merobah ayat-ayat Allah Swt.[30] adalah; firman Allah Swt. yang ditujukan khusus kepada Ahlul kitab golongan kedua dan ketiga. Sehingga, tidak dibenarkan jika firman ini diterapkan kepada Ahlul kitab yang beriman.
Berdasarkan dalil-dalil yang penulis sampaikan di atas, maka siapapun tidak berhak mencampuradukkan dan memutarbalikkan kedua pihak tersebut. Termasuk kaum liberalis yang telah menapikkan perbedaan yang begitu dalam antara Ahlul kitab yang beriman dengan Ahlul kitab yang tidak beriman. Mereka telah mengeneralisir ayat-ayat, dan mengaburkan dua pemilihan secara tumpang tindih, sehingga mereka memakai firman yang seharusnya ditujukan kepada Ahlul kitab yang beriman, malah diterapkan kepada Ahlul kitab yang kafir. Padahal, terdapat perbedaan yang mendasar antara aqidah yang hanif (baca: tauhid) dengan aqidah Trinitas (Tatslits).
Perbedaan yang menyolok antara kedua pihak, dimana Ahlul kitab yang beriman adalah mereka yang mengimani kenabian Isa Almasih, contohnya; pendeta-pendeta yang menjadi guru Salman Al Farisi yang menunjukkan Salman kepada Nabi Muhammad Saw. Sedangkan Ahlul kitab yang kafir adalah mereka yang mengakui ketuhanan Yesus (Nabi Isa), Trinitas, Surat penebusan dosa, penyaliban Yesus, Inkarnasi (Tajassud)/tuhan yang menjelma, serta menolak Al Qur’an dan kenabian Muhammad Saw. Kenapa kaum liberalis menyembunyikan ayat-ayat Al Qur’an yang jelas menolak faham trinitas[31], serta mereka menutup mata terhadap ayat yang terang-terangkan melaknat orang-orang yang menyatakan bahwa Isa adalah anak Allah Swt.[32]?. Apakah mereka hendak membuat agama sendiri yang bernama "agama liberal"?!.

Simpang siur dalam memahami pernikahan Ahlul Kitab
Upaya kaum liberalis dalam menggolkan tujuannya tidak hanya berhenti sampai memberikan pemahaman kepada umat beragama bahwa semua agama itu sama, tetapi mereka melanjutkannya pada tarap praktis seperti; menikahkan muslimin dengan non-muslim yang mereka anggap sebagai Ahlul kitab. Padahal, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bahwa Ahlul kitab adalah orang Yahudi dan Kristen yang berketurunan dari  bangsa Israel.
Islam membolehkan muslim laki-laki untuk menikahi wanita Ahlul kitab[33], tetapi Islam tidak membolehkan jika muslimah menikahi laki-laki dari Ahlul kitab[34]. Larangan ini disyari’atkan, agar dapat menjaga aqidah para muslimah dari pengaruh suaminya, karena pengaruh pendidikan suami lebih besar bagi istri dari pada pengaruh istri bagi suami.
Adapun pembolehannya laki-laki muslim dalam menikahi wanita Ahlul kitab, ini dibatasi oleh syarat umum yang terdapat dalam surat Al Mâidah: 5. Maksudnya, laki-laki muslim boleh menikahi wanita Ahlul kitab, jika wanita tersebut termasuk orang yang menjaga kehormatannya (Al Ihshân). Imam Al Qurthubi menyitir ucapan Ibn Abbas dalam menafsirkan kalimat Al Ihshân, beliau berkata “Al Ihshân ditafsirkan sebagai, wanita Ahlul kitab yang suci dan berakal”[35].
Tetapi, syarat umum ini masih terikat oleh syarat-syarat khusus yang terdapat di dalam ayat-ayat lainnya. Artinya, laki-laki muslim boleh menikahi wanita Ahlul Kitab jika wanita itu termasuk Al Ihshân (syarat umum) dan termasuk pada syarat-syarat khusus di bawah ini:
1.      Wanita Ahlul kitab keturunan bangsa Israel, karena Ahlul kitab adalah mereka yang berasal-usul dari keturunan bangsa Israel[36].
2.      Wanita Ahlul kitab yang mempercayai ke-Esa-an Allah Swt. dan kerasulan Muhammad Saw.[37].
Syarat nomor dua ini dimasukkan, karena orang yang menyatakan bahwa Isa atau Uzair adalah anak/tuhan, mereka itu disebut juga para musyrikin sekaligus kafir. Karenanya Abdullah Ibn Umar pernah berkata “Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi orang-orang yang beriman. Dan aku (Ibn Umar) tidak melihat ada kemusyrikan yang lebih besar dari seorang wanita yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa (Yesus), padahal Isa adalah hamba Allah”[38]. Ahlul kitab yang dimaksud disini adalah mereka yang bermadzhab Arius (dalam Kristen) yang menyatakan dalam Konsili Nikea tahun 325M bahwa “Yesus tidak bersifat azali (azali: ada yang tidak didahului oleh tidak ada), Yesus diciptakan oleh Allah, dia tidak menyamai substansi (jauhar) Allah”. Namun mayoritas madzhab ini diusir, dibunuh dan dibakar buku-bukunya oleh madzhab Athanasius (aqidah trinitas) pada penjagalan yang bernama “Lembaga Inkuisisi”.

Ketiga syarat ini tidak berarti mengubah nash qath’i (teks mapan) dalam Al Qur’an yang membolehkan lelaki muslim menikahi wanita Ahlul Kitab, akan tetapi ini adalah upaya mengikat syarat yang umum dengan syarat-syarat yang khusus, agar muslimin tidak salah dalam memilih wanita Ahlul kitab. Upaya pengikatan syarat umum ini telah dilakukan oleh Umar Ibn khathab pada masa kekhilafahannya, beliau melarang Thalhah Ibn Ubaidillah dan Hudzaifah yang hendak menikahi wanita Ahlul kitab. Beliau beralasan, khawatir jika wanita Ahlul kitab yang akan dinikahi Thalhah dan Hudzaifah berkhianat dan keluar dari syarat Al Ihsan, yang telah ditetapkan Allah dalam Al Qur’an[39].
Lebih lanjut lagi, Imam Asy Syafi’i menyatakan dalam kitab “Al Umm”nya “Menikahi orang-orang baik (wanita Al Ihsan. pen) dari golongan Ahlul kitab hukumnya halal, meski aku lebih suka orang Islam tidak menikahi mereka. Aku diberitahu Abdul Majid dari Ibn Juraij dari Abu Zubair, bahwa Abu Zubair mendengar Jabir Ibn Abdullah ra. pernah ditanya tentang pria muslim yang menikahi wanita Yahudi atau wanita Nashrani. Jabir menjawab, ‘Aku dan Sa’ad Ibn Abi Waqqash pernah menikahi wanita Ahlul kitab semasa penaklukan Kufah (Irak) oleh karena kami tidak mendapati banyak wanita muslimat di sana ketika itu. Lalu kami kembali ke Madinah, kami menceraikan mereka’. Kata Jabir lagi, ‘Mereka tidak berhak mewarisi harta seorang muslim, dan sebaliknya orang muslim tidak berhak mewarisi harta mereka. Wanita Ahlul kitab boleh dinikahi oleh muslim, tapi wanita muslimah haram dinikahi oleh mereka’,”[40].
Dari kisah Jabir ini dapat disimpulkan bahwa, ada dua kondisi yang harus diperhitungkan ketika akan menikahi wanita Ahlul kitab :
Pertama, mereka dalam kondisi masa penaklukan (Al Fath). Artinya, menikahi wanita Ahlul kitab itu ketika Islam menang atas mereka. Jadi, pernikahan itu boleh dilakukan hanya dalam Negara Islam, dimana pemerintahan Islam punya kekuasaan untuk memelihara keluarga muslim. Dan lagi, wanita Ahlul kitab itu berada dalam wilayah negeri Islam.
Kedua, mereka dalam kondisi nyaris tak mendapat wanita muslimah.
Namun, meskipun dua kondisi itu sudah terpenuhi, dua orang sahabat dalam riwayat di atas toh pada akhirnya menceraikan mereka[41].  Maka penulis cenderung kepada pendapat imam Syafi’i yaitu membolehkan menikahi wanita Ahlul kitab, namun yang sesuai dengan syarat-syarat di atas. Tapi, penulis lebih menyarankan jika orang Islam tidak menikahi mereka, disamping demi menjaga diri dan keluarga dari api neraka[42], juga karena masih banyak wanita muslimah yang belum menikah.

Epilog
Para musuh Islam dan orang-orang yang lemah imannya terus-menerus membuat pembusukan dari dalam tubuh umat Islam, dengan menggoyah aqidah mereka agar lambat-laun keluar dari Islam. Jika saja kita membenarkan konsep Ahlul Kitab yang mereka sodorkan, maka tidak hanya kekacauan pemikiran ini saja yang akan dialami kita, tapi pada hal-hal yang lainnyapun akan terpengaruhi. Dikarenakan jika kita sudah sedikit melenceng, maka mereka akan terus membawa ke arah yang lebih sesat, dengan mengaburkan pemahaman yang berkenaan dengan aqidah dan ibadah. Sehingga pluralisme agama yang mereka cita-citakan, dapat terealisasikan.
Penulis hanya mengajak agar sama-sama mendalami Islam dengan mempelajarinya dari para ulama Islam, tidak kepada para Orientalis dan liberalis. Karena ulama adalah mereka yang senantiasa takut kepada Allah, sehingga mereka tidak akan menyalahgunakan dan menyesatkan Ilmu. Sedangkan para Orientalis dan Liberalis adalah mereka yang hanya berorientasikan pada keduniawian semata.
 In Urîdu Illal Ishlâha Mastatho’tu




[1] QS. Ali Imran: 67-68
[2]Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, h.  42
[3] Asy Syafi'i, Al Umm, Beirut, Dar El Kutub El Ilmiah, Jil. V, h. 11
[4] QS. Ali Imran: 110-113
[5] QS. Al mâidah: 83, Al Qhashash: 52-53
[6] QS. Al Qhashash: 52
[7] QS. Al mâidah: 66
[8] QS. Al Qhashash: 54
[9] QS. Al mâidah: 85
[10] QS. Ali Imran: 78
[11] QS. Al Baqarah: 146
[12] QS. Al mâidah: 73
[13] QS. At Taubah: 30-31, Al mâidah: 72
[14] QS. Al Baqarah: 105
[15] QS. Al Baqarah: 109&120
[16] QS. Ali Imran: 69
[17] QS. At Taubah: 32
[18] QS. Qashash: 46
[19] QS. Ali Imran: 118, Al Mujâdilah: 22, Al Mumtahanah: 1&9
[20] QS. Ali Imran: 28, Al Mâidah: 5
[21] QS. Al Mâidah: 64, At Taubah: 29
[22] QS. Ali Imran: 120
[23]AL Qurthubi, Al Jâmi’u li Ahkâmil Qur’ân, Cairo: Maktabah At Taufiqiyyah, jil. VI, h. 212
[24] QS. At Taubah: 29
[25] QS. Al Baqarah: 256
[26] QS. Al Mumtahanah: 8
[27] QS. Ali Imran: 113
[28] QS. Al Mâidah: 83
[29] QS. Al Mâidah: 73
[30] QS. Ali Imran: 78
[31]QS. Al Mâidah: 73
[32] QS. At Taubah: 30
[33] QS. Al Mâidah: 5
[34] QS. Al Mumtahanah: 10
[35] AL Qurthubi, Op cit. Jil. VI, h. 70
[36] QS. Ash Shaf:6
[37] QS. Al Baqarah: 221
[38] Dr. Rauf Syalabi, Terj; Distorsi Sejarah dan Ajaran YESUS, Jaktim: Pustaka Al Kautsar, 2001, h. 197
[39] Yusuf Qardhawi, As Siyâsah Asy Syar’iyyah, h. 209
[40] Asy Syafi'i, Op cit. Jil. V, h. 10
[41] Dr. Rauf Syalabi, Op cit. h. 196
[42] QS. At Tahrîm: 6

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More