Welcome to My website

Selamat datang di website pribadi saya. Tidak neko-neko, disini saya hanya ingin berbagi apa yang bisa saya bagi.

Terima kasih telah berkunjung...

Semoga Bermanfaat
OpulentDelicacy.com

Sabtu, 31 Maret 2012

Keadilan, Teks, dan Waktu*

Hubungan antara teks, ruang dan waktu selalu menjadi perdebatan di antara para penafsir, terutama penafsir teks yang dianggap suci. Masalah ini, sebetulnya, bukan saja terjadi di lingkungan masyarakat beragama, tetapi juga masyarakat pada umumnya.
Kenapa “teks” punya kedudukan yang begitu penting seperti raja? Ada banyak penjelasan. Salah satunya yang menurut saya paling penting adalah karena masyarakat bisa disebut sebagai “masyarakat” manakala ada “tata” atau ketertiban dalam dirinya. Orientasi semua masyarakat dalam lingkungan kebudayaan manapun adalah selalu mencari keteraturan, dan, jika itu sudah diperoleh, menjaganya sekuat mungkin, dengan harga apapun.
Inilah sebabnya, semua masyarakat, pada dasarnya, berwatak konservatif. Semua masyarakat akan cenderung menjaga ketertiban dan “tata” (order) yang sudah berhasil ia tegakkan dengan susah payah. Perubahan terhadap tata dan keteraturan, misalnya karena tuntutan zaman, akan selalu membuat masyarakat khawatir dan cemas.
Apa yang disebut tata dan keteraturan dalam masyarakat tentu harus didasarkan pada nilai lain yang sangat penting kedudukannya dalam tegaknya setiap sistem kemasyarakatan. Nilai itu ialah keadilan. Setiap tata atau keteraturan haruslah memenuhi satu syarat, yaitu, dia haruslah tata dan keteraturan yang adil. Tata yang tidak adil, cepat atau lambat, tentu akan rubuh, karena semua anggota dalam masyarakat itu akan melakukan perlawanan terhadapnya. Hingga waktu tertentu, perlawanan bisa dicegah. Tetapi, perlawanan terhadap tata yang tak adil tak bisa dicegah untuk selama-lamanya.
Yang menjadi soal, apa yang disebut “yang adil” bukanlah barang yang mudah didefinisikan. Konsep tentang yang adil juga tidak statis, tetapi bergerak terus. Tetapi, jika standar keadilan berubah terus, bagaimana masyarakat bisa ditegakkan? Bangunan masyarakat, pada akhirnya, toh membutuhkan fondasi yang tetap dan ajeg. Di sinilah, isu “teks” masuk. Teks dibutuhkan oleh masyarakat karena mereka membutuhkan kepastian tentang pengertian keadilan itu. Oleh karena Tuhan dianggap sebagai sumber keadilan yang mutlak, maka teks yang bersumber dari Tuhan (disebut Kitab Suci) dianggap sebagai penjamin konsep keadilan yang paling kokoh. Teks-teks sekular (misalnya konstitusi modern) dianggap tak bisa memenuhi cita-cita ini.
Itulah sebabnya teks suci menempati kedudukan penting dalam masyarakat beragama. Dalam masyarakat sekular yang mempunyai hubungan yang kian longgar atau lebih pribadi dengan agama, kedudukan teks tetaplah penting sebagai penjamin makna keadilan. Hanya saja, teks yang menjadi fondasi masyarakat sekular tidak lagi bersifat “suci”. Dalam masyarakat sekular, kedudukan teks suci digantikan dengan teks konstitusi yang dihasilkan melalui proses kesepakatan sosial.
Baik dalam masyarakat beragama dan masyarakat sekular, ada hal yang mempertemukan keduanya, yakni pentingnya kedudukan teks sebagai penjamin makna keadilan. Teks yang terbentuk melalui jalinan huruf yang membentuk kalimat dan ujaran yang bermakna, memberikan rasa kepastian kepada masyarakat. Suatu pengertian yang pra-teks (seperti pikiran yang ada di benak kita, atau percakapan longgar dalam sebuah diskusi) biasanya tak stabil. Agar suatu pengertian bersifat stabil, dibutuhkanlah teks sebagai “baju” yang memberikan bentuk yang kurang lebih pasti terhadap kekaburan makna pra-tekstual.
Pertanyaannya adalah: apakah konsep keadilan yang begitu rumit bisa ditampung secara menyeluruh dalam sebuah teks, meskipun itu adalah teks yang suci sekalipun? Jika keadaan berubah, waktu terus maju, dan pengertian manusia tentang keadilan berubah secara mendasar, apakah pengertian tentang keadilan yang sudah tertuang dalam teks tertentu (misalnya Quran atau sunnah) harus dipertahankan apa adanya? Ataukah penafsiran ulang atas teks dimungkinkan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebetulnya tak terlalu rumit jawabannya sejauh menyangkut teks yang tak suci, misalnya konstitusi. Masalahnya menjadi rumit jika teks itu dianggap oleh masyarakat tertentu sebagai teks suci yang berasal dari Tuhan dan berlaku sebagai ketentuan yang universal kapanpun dan di manapun.
Berhadapan dengan teks yang tak suci, seseorang dengan mudah akan menempuh jalur yang sederhana: jika teks itu sudah tak sesuai dengan semangat zaman, ya dibuang saja, atau pun jika dibaca, hanya sebagai sumber inspirasi umum saja. Tak ada keharusan untuk menaati makna harafiah dalam teks itu.
Sikap “santai” semacam ini sulit kita berlakukan terhadap teks yang dianggap suci. Jika ada yang memakai sikap rileks seperti itu, dia akan menanggung resiko sosial dan keagamaan yang berat. Sejauh menyangkut teks suci, biasanya seseorang harus menempuh jalan berliku dan argumen yang bertakik-takik yang ujungnya sebetulnya sederhana: bahwa teks suci itu sudah tak relevan, sehingga harus ditafsir ulang, sebab tak mungkin dibuang sama sekali.
Saya akan memberikan contoh sederhana. Sebuah hadis riwayat Ibn Majah menyebutkan, siapapun budak perempuan yang melahirkan anak (karena digauli oleh majikannya), maka ia akan dengan sendirinya menjadi merdeka setelah majikannya itu meninggal. Teks aslinya: ayyuma amatin waladat min sayyidiha fa hiya hurratun ‘an duburin minhu. Dalam kitab-kitab fikih (hukum Islam), biasanya hadis ini menjadi landasan untuk pembahasan lebih jauh tentang apa yang disebut ummahat al-aulad (budak perempuan yang mempunyai anak dari majikannya).
Dalam keyakinan umat Islam, hadis menempati kedudukan sebagai teks suci kedua setelah Quran. Ketentuan yang tertuang dalam hadis, oleh umat Islam dianggap sebagai norma yang mengikat, sebab ia adalah sumber keadilan yang berasal dari Tuhan. Jika demikian halnya, bagaimana kita berhadapan dengan teks pendek di atas yang berasal dari hadis Nabi itu?
Hadis di atas mengandung norma penting tentang keadilan, yakni, hak budak perempuan untuk merdeka setelah majikannya meninggal, karena yang terakhir ini telah menggaulinya sebagai layaknya seorang isteri.
Tetapi, pertanyaan berikutnya juga segera menyeruak ke permukaan: apakah hadis di atas juga mengandung norma lain—misalnya, apakah ia menyetujui lembaga perbudakan? Jawaban tentu jelas sekali: ya. Hadis itu, secara implisit (mafhum/makna tersirat), mengandung pengertian bahwa lembaga perbudakan disetujui oleh Islam. Tidak seperti gerakan abolisionis yang muncul pada abad ke-18 di negeri-negeri Barat yang menghendaki penghapusan perbudakan secara total, Islam datang ke masyarakat Arab pada abad ke-7 dengan ajaran yang non-abolisionistik. Islam bisa menerima lembaga perbudakan pada zaman itu, tetapi, secara pelan-pelan, melakukan reformasi atas lembaga itu. Islam mengenalkan sejumlah norma keadilan dalam memperlakukan budak, antara lain melalui ketentuan tentang hak kemerdekaan otomatis bagi seorang budak perempuan yang memiliki anak dari majikannya setelah yang terakhir ini meninggal, seperti termuat dalam teks hadis di atas.
Pertanyaan berikutnya lagi: apakah lembaga perbudakan ini harus tetap dipertahankan saat ini, semata-mata karena teks hadis di atas mengandung makna implisit tentang pengakuan atas lembaga itu? Jika jawabannya ya, apakah mempertahankan lembaga itu memenuhi norma keadilan untuk konteks sekarang?
Saya kira, jawaban untuk pertanyaan ini sangat mudah: jelas, lembaga perbudakan tak bisa lagi dipertahankan saat ini. Selain berlawanan dengan hukum internasional, ia juga berlawanan dengan norma keadilan yang diajarkan oleh Islam sendiri. Setahu saya, tak ada seorang ulama modern yang masih berpendapat bahwa lembaga perbudakan masih bisa dipertahankan saat ini, dengan alasan bahwa praktek itu tidak pernah dihapuskan secara mutlak baik melalui teks Quran atau hadis.
Contoh kecil ini memperlihatkan beberapa hal. Pertama, baik ketentuan yang berasal dari teks suci (agama) atau teks “sekular” (seperti konstitusi modern), memiliki aspirasi yang sama, yaitu hendak menegakkan tatanan yang adil. Kedua, apa yang disebut sebagai tatanan yang adil sudah tentu berkembang terus, seturut dengan perkembangan peradaban manusia. Pada suatu zaman, lembaga perbudakan dianggap tak menyalahi norma keadilan. Di zaman yang lain, lembaga itu dianggap tak adil lagi, dan karena itu harus dihapuskan sama sekali. Ketiga, karena pengertian tentang norma keadilan ini terus berubah, maka pemahaman kita terhadap teks juga harus berubah, terutama teks suci yang biasanya sama sekali tak bisa dihapuskan begitu saja. Jika pemahaman kita statis, maka kita akan berpendapat bahwa lembaga perbudakan harus tetap dipertahankan dengan landasan teks di atas. Pemahaman yang terakhir ini, jelas bertentangan dengan rasa keadilan manusia modern saat ini.
Tetapi, yang lebih penting dari semuanya ialah kenyataan bahwa teks tak bisa bersifat “exhaustive”,  sempurna dan lengkap memuat makna keadilan secara menyeluruh. Contoh hadis tentang budak umm al-walad di atas adalah ilustrasi yang sangat bagus untuk memperlihatkan ketidaksempurnaan teks dalam memuat pengertian tentang keadilan. Sebab, memang setiap teks akan selalu terikat dengan konteks tertentu. Yang bisa membebaskan teks dari kungkungan konteks ini agar norma keadilan yang terkandung di dalamnya bisa terus relevan ialah pemahaman (baca: tafsir) kita. Manusialah yang bertugas untuk “membebaskan” teks dari kungkungan spasio-temporal yang membatasinya.
 
 
*Ulil Abshar-Abdalla

Rabu, 22 Februari 2012

Metode Jigsaw dan penerapannya

Metode  jigsaw adalah teknik pembelajaran kooperatif di mana siswa, bukan guru, yang memiliki tanggung jawab lebih besar dalam melaksanakan pembelajaran. Tujuan dari jigsaw ini adalah mengembangkan kerja tim, ketrampilan belajar kooperatif, dan menguasai pengetahuan secara mendalam yang tidak mungkin diperoleh apabila mereka mencoba untuk mempelajari semua materi sendirian.
Setiap siswa yang ada di “kelompok awal” mengkhususkan diri pada satu bagian dari sebuah unit pembelajaran. Para siswa kemudian bertemu dengan anggota kelompok lain yang ditugaskan untuk mengerjakan bagian yang lain, dan setelah menguasai materi lainnya ini mereka akan pulang ke kelompok awal mereka dan menginformasikan materi tersebut ke anggota lainnya.
Semua siswa dalam “kelompok awal” telah membaca materi yang sama dan mereka bertemu serta mendiskusikannya untuk memastikan pemahaman.
Mereka kemudian berpindah ke “kelompok jigsaw” – dimana anggotanya berasal dari kelompok lain yang telah membaca bagian tugas yang berbeda. Dalam kelompok-kelompok ini mereka berbagi pengetahuan dengan anggota kelompok lain dan mempelajari materi-materi yang baru.
Setelah menguasai materi baru ini, semua siswa pulang ke “kelompok awal” dan setiap anggota berbagi pengetahuan yang baru mereka pelajari dalam kelompok “jigsaw.” Seperti dalam “jigsaw puzzle” (teka-teki potongan gambar), setiap potongan gambar – analogi dari setiap bagian pengetahuan – adalah penting untuk penyelesaian dan pemahaman utuh dari hasil akhir
Jigsaw adalah teknik pembelajaran aktif yang biasa digunakan karena teknik ini mempertahankan tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi.
Fasilitator dapat mengatur strategi jigsaw dengan dua cara:
Pengelompokkan Homogen
Instruksi: Kelompokkan para peserta yang memiliki kartu nomor yang sama. Misalnya, para pe­serta akan diorganisir ke dalam kelompok diskusi berdasarkan apa yang mereka baca. Oleh karena itu, semua peserta yang membaca Bab 1, Bab 2, dst, akan ditempatkan di kelompok yang sama.
Sediakanlah empat kertas lipat, lipatlah masing-masing menjadi dua menjadi papan nama, berilah nomor 1 sampai 4 dan letakkanlah di atas meja.
Kelebihan: Pengelompokan semacam ini memungkinkan peserta berbagi perspektif yang ber­beda tantang bacaan yang sama, yang secara potensial diakibatkan oleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap salah satu bab. Potensi yang lebih besar untuk memunculkan proses analisis daripada hanya sekedar narasi sederhana.
Kelemahan: fokusnya sempit (satu bab) dan kemungkinan akan berlebihan.
Pengelompokkan Hiterogen
Instruksi: Tempatkan para peserta yang memiliki nomor yang berbeda-beda untuk duduk ber­sama. Misalnya, setiap kelompok diskusi kemungkinan akan terdiri atas 4 individu: satu yang telah membaca Bab 1, satu yang telah membaca Bab 2, dsb.
Sediakanlah empat kertas lipat, lipatlah masing-masing menjadi dua menjadi papan nama, berilah nomor 1 sampai 4 dan letakkanlah di setiap meja. Biarkan para peserta mencari tempatnya sendiri sesuai bab yang telah mereka baca berdasarkan “siapa cepat ia dapat”.
Kelebihan: Memungkinkan “peer instruction” dan pengumpulan pengetahuan, memberikan pe­serta informasi dari bab-bab yang tidak mereka baca.
Kelemahan: Apabila satu peserta tidak membaca tugasnya, informasi tersebut tidak dapat dibagi/ didiskusikan. Potensi untuk pembelajaran yang naratif (bukan interpretatif) dalam berbagi infor­masi.

Jumat, 17 Februari 2012

Dua Model Kebebasan*

Dalam pola keberagamaan yang dewasa semacam ini, seseorang didorong untuk bertanggung-jawab secara moral atas segala tindakan yang ia lakukan. Jika yang bersangkutan memutuskan untuk menaati ajaran agama yang ia percayai, maka ketaatannya itu bukanlah disebabkan kerana adanya “polisi moral” yang memaksanya untuk taat. Sebaliknya, ia taat karena ia tahu bahwa ketaatannya itu membawa maslahat yang besar, baik bagi dirinya atau masyarakat secara lebih luas. Ia taat karena dia sadar bahwa dengan itulah dia menjadi manusia yang bermakna. 

Dalam pola keberagamaan yang dewasa itu, seseorang dajarkan bahwa pada akhirnya, kesalehan atau ketidaksalehan adalah perkara yang menyangkut hubungan antara dirinya dengan Tuhan. Tak ada orang lain yang berhak mencampuri urusan yang sangat personal semacam ini.

Bayangkanlah dua situasi berikut ini.
Yang pertama, seorang anak umur belasan tahun (teenager), katakan saja, umurnya 12 tahun. Dia hidup dalam rumah yang diatur oleh berbagai aturan yang keras. Dia diasuh oleh orang tua yang galak yang dengan ketat menerapkan segala bentuk aturan yang ketat. Dia hidup di bawah model dragon parenthood.
Suatu hari, si orang tua absen karena sedang ke luar kota. Si anak tinggal sendirian bersama pembantu di rumah. Sebelum si orang tua pergi, dia telah berpesan agar si pembantu mengawasi si anak. Tentu saja, di mata yang tarakhir ini, otoritas pembantu tak semenakutkan si orang tua. Begitu orang tuanya pergi, anak itu mendadak sontak seperti binatang yang lepas dari kurungan. Ia langsung memanfaatkan situasi bebas karena absennya orang tua itu untuk melakukan apa saja.
Ia mulai meninggalkan bukunya dan menikmati waktu berjam-jam untuk menonton TV dan bermain game di komputer. Si pembantu, demi melihat anak yang sedang menikmati “euforia” kebebasan itu, hanyalah geleng-geleng kepala saja. Dia hendak “ngrawehi” atau mencegah, tetapi si anak tak peduli. Mumpung orang tua saya tak ada, begitu pikir si anak, saya mau melakukan apa saja. Aku telah bebas!
Situasi kedua adalah seorang dewasa yang sudah berumur 30 tahun. Dia sedang menempuh studi pasca-sarjana di sebuah universitas negeri yang terkenal. Dia hidup jauh dari orang tuanya. Bahkan dia harus membiayai kuliahnya sendiri karena keluarganya tak cukup berkemampuan secara ekonomi. Dia hidup sebatang kara di perantauan. Tak ada orang yang mengawasinya. Tak ada orang otoritas apapun yang mengharuskan dia untuk berbuat begini dan begitu. Kalau mau, dia bisa bebas berbuat apa saja. Dia mau tidur sehari-semalam, mau menonton TV selama 24 jam penuh, mau melewatkan waktu setiap hari bersama seorang pacar – kalau dia mau melakukan hal itu semua, dia mempunyai kebebasan penuh. Tak ada seorang pun yang akan menghardiknya.
Tetapi dia tahu, jika hal itu semua dia lakukan, dia bisa gagal dalam sekolahnya, dan masa depannya akan gelap gulita. Dia bisa menikmati kenikmatan maksimal saat ini karena kebebasan yang ia punyai, tetapi dia akan menanggung resiko kegagalan di kemudian hari. Dia memahami benar, setiap tindakan ada konsekwensinya. Setiap aksi akan menimbulkan reaksi di belakang hari.
Karena menyadari situasi semacam itu, dia memilih mengorbankan kenikmatan sesaat, menunda sejumlah privelese hidup pada saat ini, bekerja keras untuk menyelesaikan studinya, demi mencapai kebahagiaan di kemudian hari. Dia tahu, memuaskan diri dengan menikmati segala bentuk kenikmatan pada usia muda adalah hal yang sungguh menggiurkan. Dia bisa melakukannya, jika mau. Tapi dia memutuskan untuk tidak menikmati kemewahan usia muda seperti itu. Dia memilih kerja keras, bersakit-sakit, karena dia hendak meraih kepuasan yang lebih besar saat usia dewasa nanti.
Dalam dua situasi seperti yang saya gambarkan di atas itu, kita berjumpa dengan keadaan yang kurang lebih serupa. Baik anak yang barumur 12 tahun yang sedang ditinggal-pergi oleh orang tuanya itu,  atau si mahasiswa pasca-sarjana yang sedang hidup sendirian di rantau, dua-duanya hidup dalam situasi kebebasan. Mereka bebas untuk melakukan segala hal yang mereka mau.
Tetapi, kita tahu, secara kualitatif, ada perbedaan mendasar antara dua situasi kebebasan itu. Yang pertama adalah kebebasan seorang kanak-kanak yang bahagia karena terlepas dari segala bentuk kekangan lalu bersorak karena akhirnya, tanpa pengawasan Si Orang Tua yang galak, bisa bebas melakukan segala hal, tanpa mengetahui akibat dari tindakannya itu.Yang kedua, adalah kebebasan yang mengandaikan bahwa si subyek yang menikmatinya mengetahui apa konsekwensi segala pilihan bebas yang terhampar di hadapannya.
Kita tentu tahu, kebebasan yang pertama bukanlah kebebasan yang ideal. Kebebasan model pertama ini pada dasarnya bukanlah kebebasan yang sesungguhnya. Dia hanyalah kebebasan semu, kebebasan yang kekanak-kanakan, kebebasan infantilistik. Kebebasan yang sesungguhnya adalah kebebasan jenis kedua; yakni, kebebasan yang mengandaikan rasa tanggung-jawab yang besar. Kebebasan kedua hanya bisa dinikmati oleh orang yang secara mental dan intelektual telah dewasa.
Dua situasi ini saya pakai hanyalah untuk menyampaikan pokok pikiran yang sederhana – bahwa sudah selayaknya, dalam masyarakat, dikembangkan pola keberagamaan yang mendekati situasi kedua di atas. Yaitu, pola keberagamaan yang menekankan pentingnya kebebasan, namun kebebasan yang juga sekaligus mengandaikan tanggung-jawab, persis seperti situasi kedua yang dialami oleh si mahasiswa pasca-sarjana di atas.
Pola keberagamaan yang mendekati situasi pertama, menurut saya, masih kuat mencirikan bagaimana agama diajarkan di dalam masyarakat. Norma agama tentang apa yang boleh dan tak boleh juga sering diajarkan kepada publik dengan cara yang mirip dengan “dragon parent” atau si orang tua galak mengajarkan aturan-aturan yang ketat kepada anaknya yang baru berumur 12 tahun seperti tergambar dalam situasi pertama di atas.
Dalam situasi seperti ini, kerap muncul salah paham di masyarakat tentang makna kebebasan. Seringkali, jika ada pihak tertentu menganjurkan ide kebebasan dalam komunitas agama atau masyarakat tertentu, maka dia akan langsung dituduh hendak mengajarkan kebebasan tanpa batas. Setiap kata kebebasan disebut, yang timbul di benak beberapa pihak ialah kebebasan dalam pengertian sikap permisif atau “apa saja boleh” (anything goes). Reaksi semacam ini muncul, saya kira, karena selama ini pola keberagamaan yang dikembangkan ialah pola yang mirip-mirip dengan pengasuhan anak ala dragon-parenthood. Di mata orang-orang yang diasuh dalam pola keberagamaan semacam ini, menganjurkan kebebasan sama saja dengan menganjurkan situasi “bebas-permisif” seperti dialami oleh si anak berumur12 tahun yang ditinggalkan oleh orang tuanya.
Dengan kata lain, di mata sebagian kalangan masyarakat, kebebasan hanyalah punya satu arti saja, yakni kebebasan infantilisitik.
Para pemikir, intelektual, dan aktivis Muslim yang berwawasan liberal-progresif, biasanya hendak mengembangkan pola keberagamaan yang lain, yakni keberagamaan yang dilandasi oleh kebebasan jenis kedua. Keberagamaan seperti ini mengandaikan bahwa masyarakat seharusnya didorong terus untuk mencapai taraf kedewasaan, bukan dibiarkan berada dalam situasi kanak-kanak, agar Si Orang Tua (elit agama?) bisa terus-terusan berada pada posisi sebagai The Big Brother yang mengawasi kehidupan moral anak-anaknya. Keberagamaan jenis kedua ini juga mengandaikan bahwa seseorang harus diajarkan untuk terus menalar, bukan menerima “perintah agama” sebagaimana adanya, tanpa memperhitungkan konteks yang sudah berubah.
Dengan kata lain, jenis keberagamaan yang hendak dikembangkan oleh mereka adalah keberagamaan yang dewasa dan matang. Dalam keberagamaan model ini, umat seharusnya diajak untuk sampai ke taraf kedewasaan seperti itu, bukan dihambat proses pendewasaannya dengan cara ditakut-takuti dengan ayat ini atau itu, hadis ini atau itu, pendapat ulama ini atau itu, dst.
Dalam keberagamaan yang dewasa semacam ini, seseorang tak diajarkan untuk takut dan resah karena ada orang lain yang mempunyai keyakinan atau paham yang beda dengan dirinya. Sebaliknya, dia justru dibiasakan untuk menghadapi situasi yang beragam. Jika ada orang lain yang memiliki paham atau keyakinan yang berbeda dengan dirinya, dia justru memandangnya sebagai kesempatan positif untuk belajar. Sebab, dengan menjumpai orang-orang lain yang berbeda, dia merasa bahwa dirinya bisa diperkaya secara mental dan intelektual. Dia tak harus sepakat dengan orang-orang lain itu, tetapi dia bisa belajar sesuatu dari mereka.
Dalam pola keberagamaan yang dewasa semacam ini, seseorang didorong untuk bertanggung-jawab secara moral atas segala tindakan yang ia lakukan. Jika yang bersangkutan memutuskan untuk menaati ajaran agama yang ia percayai, maka ketaatannya itu bukanlah disebabkan kerana adanya “polisi moral” yang memaksanya untuk taat. Sebaliknya, ia taat karena ia tahu bahwa ketaatannya itu membawa maslahat yang besar, baik bagi dirinya atau masyarakat secara lebih luas. Ia taat karena dia sadar bahwa dengan itulah dia menjadi manusia yang bermakna.
Dalam pola keberagamaan yang dewasa itu, seseorang dajarkan bahwa pada akhirnya, kesalehan atau ketidaksalehan adalah perkara yang menyangkut hubungan antara dirinya dengan Tuhan. Tak ada orang lain yang berhak mencampuri urusan yang sangat personal semacam ini.
Tentu saja, orang itu tahu bahwa di luar sana ada hukum positif yang mengatur tata-kehidupan sosial agar tertib. Jika dia mencuri, dia tahu dia akan dihukum. Jika seseorang membunuh, dia juga akan diadili. Tetapi perkara bagaimana dia beribadah atau berpakaian, perkara jenis paham atau akidah apa yang dia peluk – hukum positif itu tak punya wewenang apapun untuk mencampurinya. Sebab itu adalah bagian dari kebebasan personal yang seharusnya dihormati oleh hukum publik.
Model keberagamaan seperti inilah yang dikehendaki oleh para intelektual Muslim liberal-progresif di mana-mana. Tujuan akhirnya bukanlah membebaskan umat untuk menjadi kanak-kanak yang bebas berbuat apa saja karena Si Orang Tua sedang tak rumah, tetapi menjadi manusia yang dewasa dengan rasa tanggung-jawab yang mendalam.
Agama dihayati bukan lagi sebagai beban. Agama juga bukan lagi dipandang sebagai sederetan hukum yang tak bisa dinalar, dan harus ditaati tanpa sikap dewasa yang rasional. Agama ditaati karena aturan-aturannya memang masuk akal. Jika aturan-aturan yang lama sudah tak lagi sesuai dengan keadaan, dia tak ragu-ragu untuk memahami aturan itu dengan cara yang baru yang lebih sesuai dengan denyut zaman. Hanya dengan mengembangkan sikap keberagamaan semacam inilah, umat akan mengalami pendewasaan terus-menerus.
* Ulil Abshar Abdala

Senin, 05 Desember 2011

INDAHNYA MENIKAH


Cinta mengandung energi yang sangat besar, energi yang sangat luar biasa. Itulah kenapa seorang ibu rela berkorban sekalipun nyawanya demi sang anak. Seorang suami dapat tak hiraukan lelah dan peluh yang bercucuran demi anak istrinya. Para sahabat rela berkorban demi Allah dan Rasul-Nya, Muhammad SAW. Dan Romeo yang rela mati demi Juliet kekasihnya (sebenarnya ini adalah perbuatan bodoh atas nama cinta).

Energi cinta yang besar mempunyai kekuatan untuk mendorong seseorang melakukan sesuatu diluar akal sehatnya. Dan memberi kekuatan besar bagi seseorang untuk melakukan Sesuatu yang ia cintai.
Sudah menjadi fitrah cinta yang timbul antara pria dan wanita yang bukan mahram. Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam Al Quranul Karim. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Q.S Ar Rum [30] : 21).
Cinta walaupun mempunyai energi yang luar biasa namun ia juga rapuh. Islam mensyariatkan pernikahan untuk untuk melindunginya dari kemadharatan yang ada padanya. Dengan akad pernikahan, Islam menghalalkan segala macam bentuk ekspresi cinta dari pasangan suami istri. Bahkan setiap ekspresi dari cinta tersebut bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Pengorbanan atas nama cinta tidak lagi menjadi sia-sia. Akan tetapi bernilai sangat istimewa.
Rasa letih, lelah sang kepala keluarga untuk anak istri menjadi ibadah. Kesabaran istri dalam taat kepada suami, melayaninya dan mengasuh serta mendidik anak-anaknya menjadi ibadah. Dari hal terkecil sampai dengan hal yang paling besar terhitung ibadah.
Dalam syariat pernikahan Islam. Islam menjaga hak setiap pihak, sehingga tidak ada yang dirugikan. Ketika terjadi persengketaan (problem) Syari’at Islam pun telah menyediakan perangkat yang mengatur agar masalah bisa terselesaikan secara adil (tidak ada yang di rugikan).
Dengan demikian energi cinta yang besar tidak akan sia-sia serta tidak membahayakan. Rapuhnya pun tidak akan merugikan satu pihak, apalagi menderita sia-sia. Seperti pasangan yang ditinggal kekasihnya dan ia dalam keadaan mengandung, misalnya. Dari sini kita juga dapat mengatakan, penghargaan tertinggi untuk wanita atas nama cinta adalah pernikahan secara Islam. 
YUSUF RAHMAT SANUSSY DAN RIKA 'AZIZAH MAS'UD

Dengan memohon keridhoan dari Allah SWT. Dan do’a restu kawan-kawan semua inysa Allah saya akan melaksanakan pernikahan pada hari Ahad, 11 Desember 2011. Bertempat Di KOMPLEK PONPES AL-HIDAYAH RANGKASBITUNG, Jl Jend A Yani (Gg Mawar Dalam) lebakpicung, Rangkasbitung, Lebak, Banten

Senin, 26 September 2011

إن الله سبحانه وتعالى واحد

الواحد في اللغة اسم فاعل للموصوف بالواحدية أو الوحدانية ، فعله وحد يوحد وحادة وتوحيدا ، ووحده توحيدا جعله واحدا ، والواحدُ أَول عدد الحساب وهو يدل على الإثبات ، فلو قيل في الدار واحد لكان فيه إثبات واحد منفرد مع إثبات ما فوق الواحد مجتمعين ومفترقين[1].

        والواحد سبحانه هو القائم بنفسه المنفرد بوصفه الذي لا يفتقر إلى غيره أزَلا وأبَدا وهو الكامل في ذاته وأسمائه وصفاته وأفعاله ، فهو سبحانه كان ولا شيء معه ، ولا شيء قبله ، ومازال بأسمائه وصفاته واحد أولا قبل خلقه ، فوجود المخلوقات لم يزده كمالا كان مفقودا ، أو يزيل نقصا كان موجودا ، فالوحدانية قائمة على معنى الغنى بالنفس والانفراد بكمال الوصف ، قال ابن الأَثير:(الواحد في أَسماء الله تعالى هو الفرد الذي لم يزل وحده ولم يكن معه آخر).

        الأحد في اللغة اسم فاعل أو صفة مشبهة للموصوف بالأحدية، فعله أحَّد يأحد تأحيدا وتوحيدا، أي حقق الوحدانية لمن وحده ، وهو اسم بني لنفى ما يذكر معه من العدد، تقول ما جاء بي أحد، والهمزة فيه بدل من الواو، وأصله وحد لأنه من الوحدة، والفرق اللغوي بين الواحد والأحد أن الأحد شيء بني لنفي ما يذكر معه من العدد، والواحد اسم لمفتتح العدد، وأحد يصلح في الكلام في موضع الجحود والنفي، وواحد يصلح في موضع الإثبات، يقال ما أتاني منهم أحد فمعناه لا واحد أتاني ولا اثنان، وإذا قلت جاءني منهم واحد فمعناه أنه لم يأتني منهم اثنان، فهذا حد الأحد ما لم يضف، فإذا أضيف قرب من معنى الواحد، وذلك أنك تقول: قال أحد الثلاثة كذا وكذا، وأنت تريد واحدا من الثلاثة[2].
       
        والأحد سبحانه وتعالى هو المنفرد بذاته ووصفه المباين لغيره، كما قال تعالى في معنى الأحدية: وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَد [الإخلاص:4]، فالأحدية هي الانفراد ونفي المثلية ، وتعني انفراده سبحانه بذاته وصفاته وأفعاله عن الأقيسة والقواعد والقوانين التي تحكم ذوات المخلوقين وصفاتهم وأفعالهم، كما قال تعالى:﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ﴾[3] ، فبين سبحانه انفراده عن كل شيء من أوصاف المخلوقين بجميع ما ثبت له من أوصاف الكمال، فالأحد هو المنفرد الذي لا مثيل له فنحكم على كيفية أوصافه من خلاله، ولا يستوي مع سائر الخلق فيسري عليه قانون أو قياس أو قواعد تحكمه كما تحكمهم ، لأنه المتصف بالتوحيد المنفرد عن أحكام العبيد وقال تعالى:﴿ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّا﴾[4] ، أي شبيها مناظرا يدانيه أو يساويه أو يرقى إلى سمو ذاته وصفاته وأفعاله.
        والواحد سبحانه هو القائم بنفسه المنفرد بوصفه الذي لا يفتقر إلى غيره أزَلا وأبَدا وهو الكامل في ذاته وأسمائه وصفاته وأفعاله ، فهو سبحانه كان ولا شيء معه ، ولا شيء قبله ، ومازال بأسمائه وصفاته واحد أولا قبل خلقه ، فوجود المخلوقات لم يزده كمالا كان مفقودا ، أو يزيل نقصا كان موجودا ، فالوحدانية قائمة على معنى الغنى بالنفس والانفراد بكمال الوصف ، قال ابن الأَثير:( الواحد في أَسماء الله تعالى هو الفرد الذي لم يزل وحده ولم يكن معه آخر).

الأدلة على وحدانية الله[5]:            
        ومن الأدلة العقلية في إثبات وحدانية الإله وتفرده بالربوبية دليل التمانع وملخصه أنا لو قدرنا إلهين اثنين وفرضنا عرضين ضدين، وقدرنا إرادة أحدهما لأحد الضدين وإرادة الثاني للثاني فلا يخلو من أمور ثلاثة ، إما أن تنفذ إرادتهما، أو لا تنفذ، أو تنفذ إرادة أحدهما دون الآخر، ولما استحال أن تنفذ إرادتهما لاستحالة اجتماع الضدين واستحال أيضا ألا تنفذ إرادتهما لتمانع الإلهين وخلو المحل عن كِلا الضدين، فإن الضرورة تقتضي أن تنفذ إرادة أحدهما دون الآخر، فالذي لا تنفذ إرادته هو المغلوب المقهور المستكره والذي نفذت إرادته هو الإله المنفرد الواحد القادر على تحصيل ما يشاء ، قال تعالى:﴿ مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذاً لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ﴾[6] ، فلا يجوز أن يكون في السماوات والأرض آلهة متعددة بل لا يكون الإله إلا واحدا وهو الله سبحانه، ولا صلاح لهما بغير الوحدانية، فلو كان للعالم إلهان ربان معبودان لفسد نظامه واختلت أركانه ، قال تعالى: ﴿لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ﴾ [7] ، فأساس قيام الخلق وبقاء السماوات والأرض هي وحدانية الله وانفراده عمن سواه قال تعالى:﴿ إِنَّ اللهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ أَنْ تَزُولا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيماً غَفُوراً﴾[8].

واستعمال لفظ – واحد- على أنه صفة، فإنه لا تكون له هذه الدلالة الكمية، إنما يكون في هذه الحالة لذات ينفى عليها الكثرة على نحو ما هو مستعمل معنى وصفا لله عز وجل.
        يقول الإما أبو حامد الغزالي: ندعي أنه سبحانه وتعالى واحد، فإن كونه واحد يرجع إلى ثبوت ذاته ونفي غيره فليس هو نظرا في صفة زائدة على الذات فوجب ذكره في هذا القطب.[9]




كيف يثبت الغزالي آراءه في هذه الحالة[10]:
أ‌.       ما ينفى عنه قابلية الانقسام. وهي:
1.   القابلية للانقسام لابد أن يكون المنقسم كما
2.   الكم لا يكون إلا في الأجسام والأعراض
3.   قد ثبت أن الله تعالى ليس بجسم ولا بعرض
ب‌. ما ينفى عنه الشريك أو الضد المناوئ والنظير المساوى: نفي أن يكون هناك موجود له من المكانة والتصرف 

 معنى الواحد وصفا لله عز وجل[11]:
وحين يطلق الوصف –واحد على الله عز وجل، فإنه ينفى عنه أشياء كثيرة يمكن إجمالها في اتجاهين:
أحدهما: ما ينفى عنه قابلة الانقسام
ثانيهما: ما ينفى عنه الشريك بمعنى ضد المناوئ. أو النظير المساوى ولتحدث حول هذين المعنيين الذين استفدناهما من وصف الله عز وجل- بالواحد
1.   قد يطلق لفظ الواحد – وصفا على الله عز وجل، ويفهم منه سلب أو نفي قابليته تعالى للقسمة في ذاته.
2.   قد يطلق لفظ – الواحد – لفي أن يكون له موجود له من المكانة والتصرف في الكون ما لله عز وجل.
       وأما صفة الوحدانية هي من الصفات الأساسية في التصور الإسلامي، بل هي مهمة جميع الأنبياء و المرسلين الذين اتجهوا في دعوتهم إلى عبادة الإله الواحد، وتفني جميع ضروب الشرك.
       
        ولله مدلول الوحدانية عقديا أنه سبحانه و تعالى واحد من حيث الذات ، والصفات واللأفعال.
        أولا،بالنسبة للذات : أنه غير مركبة من أجزاء ، وأنها غير متعددة ، بحيث يكون الله إله ثان ، فهي واحدة من غير تركيب ولا تعدد.
        ثانيا، بالنسبة للصفات : فهي غير متعددة من جنس واحد كقدرتين فأكثر مثلا و أنه لا توجد لأحد صفة تشبه صفاته.
        ثالثا،بالنسبة للأفعال: أنه لا يوجد لغير الله فعل من الأفعال على سبيل الإيجاد والاختراع وإنما ينسب الفعل لغير الله تعالى على وجه الكسب والاحتياز.


[1]  أسماء الله الحسنى، محمد بن صالح العثيمين، ج 32 ص 69
[2] أسماء الله الحسنى، محمد بن صالح العثيمين، ج 32 ص 105
[3]   القرآن الكريم، سورة الشورى، الآية 11
[4] القرآن الكريم، سورة مريم الأية 65
[5] أسماء الله الحسنى، محمد بن صالح العثيمين، ج 32 ص71
[6] القرآن الكريم سورة المؤمنون الآية 91
7. القرآن الكريم سورة الانبياء الاية 22
[8] القرآن الكريم سورة فاطر الأية 41
[9] الاقتصاد في الاعتقاد – للاما الغزالي – ص 67
[10]  توضيح المراد من الاقتصاد في الاعتقاد – للاما الغزالي – ص 135
[11] توضيح المراد من الاقتصاد في الاعتقاد – للاما الغزالي – ص 134

Senin, 29 Agustus 2011

Selamat Hari Raya Ied Fitri 1432 H

Dengan takbir dan tahmid, umat Islam melepaskan bulan Ramadan dan dengan takbir dan tahmid pula menyambut 1 Syawal 1432 H. Mudah-mudahan pelepasan bulan Ramadan dan penyambutan bulan Syawal terpenuhi makna dan arti kedua peristiwa yang terjadi dalam suasana bergembira.
Selama bulan Ramadhan, jiwa, ruh, dan hati umat Islam benar-benar telah terasah dengan amal-amal kebajikan, sehingga hati mereka yang merupakan wadah ketakwaan semakin terbuka lebar dan luas guna lebih mengembangkan dan meningkatkan kualitas takwa yang sudah diperoleh selama beribadah di bulan Ramadan, "Mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa" (QS. Al-Hujurat ayat 3). Tujuan dari puasa adalah untuk menjadikan orang-orang yang melakukannya menjadi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 183: “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu sekalian dapat bertaqwa”.

Idul fitri adalah hari kemenangan besar yang mengembalikan manusia pada fitrahnya (kesuciannya) dimana jiwa kembali bersih karena dibasuh dengan ibadah, fitrah dan saling memaafkan serta rezeki yang kita miliki telah dicuci pula dengan zakat.

Kembali kepada kesucian artinya dengan merayakan Idul Fitri ini kita mendeklarasikan kesucian kita dari berbagai dosa sebagai buah dari ibadah sepanjang bulan Ramadan. Pada Idul Fitri inilah, manusia yang taat pada takdir Allah SWT meyakini tibanya kembali fitrah diri yang kerap diimajinasikan dengan ungkapan kala itu seperti terlahir kembali. Dan, bila kita bersedia menerima fitrah yang ada di hari besar ini serta menerjemahkan dengan pikiran dan bahasa sederhana, Idul Fitri merupakan momentum bagi manusia untuk langkah awal menuju kehidupan lebih baik.

Kembali kepada fitrah berarti kembali kepada jati diri sebagai hamba Allah SWT yang muslim, hamba Allah SWT yang memakmurkan kehidupan, hamba Allah SWT yang tidak egois dan tidak arogan. Jadi, jika seorang muslim selama sebulan berpuasa, shalat tarawih, baca Al-Quran, shalat di masjid. Namun, setelah selesai bulan puasa kita tidak shalat, memusuhi masjid, memusuhi Al-Quran. Ya.... dia justru melenceng dari fitrahnya, puasanya tidak berarti bagi dirinya. Sebaliknya jika selama bulan Ramadhan kita sudah saleh secara pribadi, saleh secara sosial, memakmurkan masjid, bersilaturahim dengan banyak orang, maka dia berada dalam kondisi yang sesuai dengan fitrah. Jika dia ber-Idul Fitri, maka dia akan kembali kepada fitrahnya dengan menguatkan komitmen-komitmen itu sehingga setelah bulan Ramadhan pun akan semakin cinta dengan masjid, cinta dengan Al-Quran, akan tetap bersilaturahim. Hal inilah yang akan menjadikan Islam sebagai sumber keselamatan bagi kehidupan.

Di hari Idul Fitri, jiwa kita akan merasa tenang dan tenteram karena dosa-dosa kita kepada Allah SWT telah diampuni, berkat puasa Ramadhan yang telah kita lakukan kareana dorongan iman dan mengharapkan pahala dari Allah SWT. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadlan karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya diampunkan baginya apa yang telah lalu dari dosanya”.

Sesudah shalat Idul Fitri nanti  kita akan meminta maaf kepada keluarga, kaum kerabat dan famili, teman, tetangga dan kenalan kita dari kejahatan, kesalahan serta perbuatan dzalim yang pernah kita lakukan terhadap mereka, agar jiwa kita benar-benar terbebas dari dosa kepada Allah SWT dan kesalahan kepada sesama manusia. Dan dengan demikian kita akan dapat merasakan kebahagiaan yang sejati. Dalam surat Al-Imran ayat 112 Allah, SWT telah berfirman: “Mereka itu akan ditimpa kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka itu menyambung tali hubungan baik dengan Allah SWT dan tali hubungan baik dengan sesama manusia”.

Dengan menyambung tali hubungan baik dengan sesama manusia yang ditandai dengan masing-masing pribadi berani mengakui kesalahan dirinya dan berani meminta maaf kepada orang yang lebih muda usianya dan lebih rendah pangkat dan derajatnya, kehidupan masyarakat nampak rukun dan damai. Persatuan dan kesatuan masyarakat yang tulus dapat kita saksikan dengan jelas. Sedang persatuan dan kesatuan yang tulus dan murni dari sesuatu bangsa itu adalah merupakan salah satu kunci dari keberhasilan dalam mencapai pembangunan lahir dan batin.
Beberapa kebiasaan Rasulullah SAW dan para sahabat dalam menyambut Idul Fitri yang patut Umat Islam contoh, yaitu:

Berpenampilan Indah
Rasulullah SAW itu saat Idul Fitri memakai pakaiannya yang paling baik (bukan berarti baju baru, lho) dan membaguskan penampilannya. Berkata Ibnul Qayyim dalam "Zadul Ma'ad": "Nabi memakai pakaiannya yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan shalat) pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Beliau memiliki perhiasan yang biasa dipakai pada dua hari raya itu dan pada hari Jum'at. Sekali waktu beliau memakai dua burdah (kain bergaris yang diselimutkan pada badan) yang berwarna merah, namun bukan merah murni sebagaimana yang disangka sebagian manusia, karena jika demikian bukan lagi namanya burdah. Tapi yang beliau kenakan adalah kain yang ada garis-garis merah seperti kain bergaris dari Yaman." Sedangkan salah seorang sahabat Nabi, Ibnu Umar juga biasa memakai pakaiannya yang paling bagus pada dua hari mulia tersebut.
 
Bertakbir
Bertakbir atau biasa kita sebut takbiran merupakan sunnah Rasul. Telah diriwayatkan bahwa, "Beliau keluar pada hari Idul Fitri, maka beliau bertakbir hingga tiba di tanah lapang dan hingga ditunaikannya shalat. Apabila beliau telah menunaikan shalat, beliau menghentikan takbir". Juga pada pagi hari Idul Fitri dan Idul Adha, Ibnu Umar mengeraskan takbir hingga ia tiba di tanah lapang, kemudian ia tetap bertakbir hingga datang imam.

Mandi sebelum shalat 'Id

Dari Nafi' ia berkata : "Abdullah bin Umar biasa mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke tanah lapang." Sedang Imam Said ibnul Musayyib berkata : "Sunnah Idul Fitri itu ada tiga, berjalan kaki menuju tanah lapang, makan sebelum keluar ke tanah lapang dan mandi."

Makan sebelum berangkat sholat
Makan sebelum berangkat sholat bukan berarti di sana nanti nggak menyediakan konsumsi, tapi karena emang disunnahkan kok oleh Rasulullah SAW. Dari Anas r. a. ia berkata : "Rasulullah SAW tidak pergi ke tanah lapang pada hari Idul Fitri hingga beliau makan beberapa butir kurma."

Ucapan selamat pada hari raya
Setelah sholat biasanya kita saling bersalaman dan mengucapkan selamat untuk teman yang lain. Senang dan lega banget rasanya saat kita menyalami mereka, selain itu mempererat ukhuwah juga menghapus dosa atau kesalahan yang telah kita lakukan pada teman kita itu.

Tahukah kamu apa ucapan yang baik serta dianjurkan sebagai ucapan selamat? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang ucapan selamat pada hari raya maka beliau menjawab: "Ucapan selamat pada hari raya, dimana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah sholat Id: Taqobbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian)." Itu juga yang dilakukan para sahabat Rasulullah SAW bila bertemu pada hari raya.

Allah SWT menciptakan segala sesuatu pasti ada kelebihan atau hikmah yang bisa diambil oleh hamba-Nya, begitu juga dengan Idul Fitri. Banyak sekali hikmah yang dapat kita peroleh baik yang kita sadari karena terlihat manfaatnya langsung pada diri kita maupun yang nggak kita sadari karena mungkin memang kita terlalu lemah untuk melihat hikmah dari berbagai peristiwa.

Hikmah pertama adalah penyadaran hakikat diri sebagai hamba Allah. "Dan tak Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku." (QS. Adz-Dzaariyat ayat 56). Itulah sesungguhnya makna sebenarnya atas tugas kita di dunia ini. Dengan memahami hal tersebut, diharapkan kita tidak lepas dari pengawasan Allah SWT. Jalan untuk meretas batin kita agar selalu merasa terikat dengan Allah SWT adalah dengan bertakwa kepada-Nya. Idul Fitri juga merupakan salah satu sarana takwa yang bisa membawa kita kepada hakikat penghambaan. Idul Fitri seperti ‘alarm’ dalam rangka untuk mengingatkan jati diri kita. Selain itu Idul Fitri mengembalikan kesadaran pemahaman kita kepada berbagai cobaan yang terasa berat saat bulan Ramadhan yang lalu.

Hikmah kedua adalah menjadikan Idul Fitri sarana untuk mengeratkan kembali hubungan kita dengan Allah SWT dan manusia. Selama setahun mungkin kita telah melakukan begitu banyak kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Nah, salah satu hikmah Idul Fitri ialah menghadirkan moment saling memaafkan kesalahan yang telah kita perbuat terutama kepada kedua orang tua kita selama ini yang telah membesarkan kita, kemudian kepada keluarga terdekat kita yang mungkin saja sering kita acuhkan dan juga kepada teman-teman yang bergaul dengan kita baik di lingkungan rumah, sekolah atau di tempat yang sangat jauh.

Terakhir, sebagai seorang hamba, hikmah Idul Fitri lainnya ialah membawa kita untuk semakin dekat kepada Allah SWT. Ingatkah kamu saat seorang hamba berbuat dosa maka ada empat bukti kecintaan Allah SWT pada kita. Pertama, rezeki kita tetap mengalir meski dosa kita bertumpuk. Kedua, nikmat sehat yang tetap dianugerahkan-Nya. Ketiga, Allah SWT tidak segera menyiksa hamba-Nya saat itu juga dan keempat, Allah SWT tidak membeberkan aib atau dosa kita.
SELAMAT HARI RAYA IED FITRI 1432H.
MOHON MAAF LAHIR BATIN

Selasa, 09 Agustus 2011

Dirgahayu RI Ke-67

Jika kita sebutkan tanggal 9 Ramadhan 1365 mungkin kurang familiar di telinga bahkan di antara kita ada yang belum tahu bahwa ada apakah pada hari itu, tapi kalau disebutkan 17 Agustus 1945 insya Allah pasti sudah pada tahu. Padahal kedua tanggal itu terjadi pada saat yang sama yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Pada hari ini yang tepat tanggal 9 Ramadhan 1432 H berarti kita bisa merayakan HUT RI yang ke 67 menurut perhitungan perputaran bulan (Qamariyah) yang oleh umat Islam dihitung sejak hijrahnya Rasul SAW dari kota Makkah ke Yatsrib yang selanjutnya dinamakan kota Nabi (Madinatun Nabi) Al-Madinah.

Pada kesempatan kali ini saya ingi mengucapkan selamat HUT RI ke-67 menurut perhitungan kalender Hijriyah. Semoga pada tahun ini muncullah sufi-sufi kantor, dewan, dan di segala bidang, yang insya Allah akan berdampak pada kemajuan bangsa dan negara tercinta ini. Dikarenakan banyak para korup yang bertaubat karena mereka tidak hanya menjadi sufi sebatas halaman Masjid.

Selamat Ulang Tahun Indonesiaku…

Sabtu, 06 Agustus 2011

IMPORTANCE OF QUR'AN

The Glorious Qur’an is the Book of Allah, the Most Gracious, Most Merciful, Who has promised to safeguard it from any violations in its purity, the most important and sacred book and the ultimate guidance for all. The Qur’an was revealed in the month of Ramadhan to the prophet Mohammed (peace be upon him) by the angel Jibrail.
The Qur’an is a source of inspiration for us all and there are many ways in which the Qur’an can be implemented not only throughout Ramadhan but throughout our lives. Below are a few examples of how we could use Qur’an in our lives.
Listen to the Qur’an - this can be done in a number of ways at home. Listen to other members of the family reciting Qur’an, or put a tape on and listen to a recitation. While out and about you can listen in the car, or take a personal stereo player - but remember personal safety at all times.
How much time do we spend waiting for someone or something or in a queue? This time could be put to use, listening to a Qur’anic recitation tape. This will help you relax and make better use of your time.
Study and understand the Qur’an – this can be done on your own, or with a group of friends. You could set up a study circle which helps make studying easier. The circle could meet regularly, or just as a one off. Remember that during Ramadhan the rewards are increased.
Convey the message of the Qur’an – the Qur’an is useful for everyone. Conveying the message of Islam is compulsory upon all Muslims, and this can be done through the Qur’an, which is beautiful to read. Most translations contain an easy to follow guide.
Make use of the Qur’an in our lives - the Qur’an contains invaluable information that Muslims should use in their personal and communal matters, and at all levels of society.
The Qur’an will help guide us through all the situations in our lives.
Memorise verses of the Quran - Memorisation in Ramadan carries more reward than at any other time in the year. Be sure to check your memorised recitation by reciting it to a Qur’an teacher, or someone who has good knowledge of the Qur’an.
Increase your recitation of the Qur'an in Ramadan – Recitation during Ramadhan carries much reward, and extra recitation should be encouraged. During salah (obligatory prayer) make use of longer surah’s where you might previously have used shorter ones.
Perform Taraweeh prayers in congregation - The completion of the Qur’an takes place over the period of Ramadhan and there is much reward for praying in congregation.
Recite during the night – “Truly the rising by night is most potent for governing (the soul) and most suitable for (framing) the Word (of Prayer and Praise).” The Holy Quran 73:6. Reciting during the day is also beneficial, but night time recitation is easier as there are less distractions and noise.
There are many texts we can study to look at the meaning of Ramadhan, but for this section we will look purely at the Qur’anic translation in English. It is important to look at the Qur’an relating to the verses regarding Ramadan so we can understand the essence of fasting. The verse that will be looked at is surah Al – Baqarah, it is the second surah in the Qur’an and one of the longest surahs.
Fasting for a fixed number of days; but if any of you is ill or on a journey the prescribed number (should be made up) from days later. For those who can do it (with hardship) is a ransom the feeding of one that is indigent. But he that will give more of his own free will it is better for him and it is better for you that ye fast if ye only knew. THE HOLY QURAN 2 : 184
Ramadhan is the (month) in which was sent down the Qur'an, as a guide to mankind, also clear (Signs) for guidance and judgment (Between right and wrong). So every one of you who is present (at his home) during that month should spend it in fasting, but if any one is ill, or on a journey, the prescribed period (Should be made up) by days later. Allah intends every facility for you; He does not want to put to difficulties. (He wants you) to complete the prescribed period, and to glorify Him in that He has guided you; and perchance ye shall be grateful. THE HOLY QURAN 2: 185
These ayat show us the mercy of Allah (SWT) whose mercy enables us to omit our fast when we are ill or travelling so the fast may not be a burden on us. It also allows us to take part in charity towards those less fortunate then ourselves so that we can appreciate what we have.
Here is a hadith which is narrated by Ibn 'Abbas:
“The Prophet was the most generous person, and he used to become more so (generous) particularly in the month of Ramadhan because Gabriel used to meet him every night of the month of Ramadhan till it elapsed. Allah's Apostle used to recite the Qur'an for him. When Gabriel met him, he used to become more generous than the fast wind in doing good”. Therefore let us also become generous by increasing the amount of Qur’an we recite in the month of Ramadhan.

Kamis, 04 Agustus 2011

INDONESIA ENGLISH LANGUANGE STUDY PROGRAM (IELSP)

IIEF holds an Indonesia English Language Study Program (IELSP). It is a program that offers a chance to enroll in English Language Courses at prominent universities in the United States for a period of 8 (eight) weeks.
 
The goal of this program is to improve the ability of participant’s English language, especially in English for Academic Purposes. Other than that, participants will have the chance to learn intimately the people and culture of the United States. IELSP participants will join the immersion program where they will mix with other participants from other nations and countries. Within this program, participants will not only learn the English language, but they will also join various cultural programs that will enrich their experience. 

General Requirement
  • Participant age must be 19 – 24 years old. Participant must be an active students for bachelor degree in their 5th semester above at any universities all over Indonesia and have not yet declared pass or in the course of degree completion.
  • Participant must have posses good ability in the English language with a good TOEFL® International or TOEFL® ITP with a minimum 450 (not a Prediction Test)
  • Participant must also have good academic achievement Active in lots of activities and organization
  • Have full commitment to return back to Indonesia after completing this program.
  • Do not have experience of previous study in USA or other countries except Indonesia
  • Possesses these personal qualities: active, independent, responsible, confident and open minded
  • Master the skills for computer
More informations click here.

Rabu, 27 Juli 2011

Download Qur'an untuk Handphone

Alhamdulilah tidak lama lagi kita masih diberikan umur sampai bulan sya’ban dan sebentar lagi ramadhan yang kita tunggu akan tiba. Dengan kesempatan ini (bertemu dengan bulan ramadhan kembali) tentunya kita tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang langka ini, yaitu waktu dimana Allah melipat gandakan pahala bagi yang beramalan baik pada bulan ini. Nah untuk melengkapi indahnya semarak ramadhan, mari kita budayakan membaca al-Qur’an dimanapun berada. Untuk itu saya bagi-bagi aplikasi java untuk mobile phone teman-teman semua.
Silahkan download disini!


Atau silahkan pilih dengan kriteria mobile phone anda di bawah ini!.. 
Berikut ini beberapa daftar software AlQuran untuk gadget Anda:


Palm:
  • Besar file: 256.1 kb
  • Jenis File: zip
  • Download link : klik disini!
SmartPhone 2002
  • Besar File: 289.3 kb
  • Jenis File: zip
  • Download link: klik disini!
Symbian S60
  • Besar File: 252.3 kb
  • Jenis File: zip
  • Download link: klik disini!
Nokia 9500 dan 9300 Series
  • Besar File: 253.2 kb
  • Jenis File: zip
  • Download link: klik disini!
Symbian UIQ
  • Besar File: 251.6 kb
  • Jenis File: zip
  • Download link: klik disini!
Symbian S90
  • Besar File: 265.7 kb
  • Jenis File: zip
  • Download link: klik disini!
JAVA MIDP 2.0
  • Besar File: 303.7 kb
  • Jenis File: zip
  • Download link: klik disini!
BlackBerry
  • Besar File: 269.7 kb
  • Jenis File: zip
  • Download link: klik disini!
Informasi:
Untuk Versi Java dapat berjalan baik di layar beresolusi 128×128 pixels(ex motorola C380)
Selamat Mencoba!

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More