Welcome to My website

Selamat datang di website pribadi saya. Tidak neko-neko, disini saya hanya ingin berbagi apa yang bisa saya bagi.

Terima kasih telah berkunjung...

Semoga Bermanfaat
OpulentDelicacy.com

Jumat, 01 April 2011

Prof. Dr. Nurcholis Madjid

Nurcholish Madjid kecil semula bercita-cita menjadi masinis kereta api. Namun, setelah dewasa, lelaki kelahiran Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939, ini malah menjadi kandidat masinis dalam bentuk lain, menjadi pengemudi lokomotif yang membawa gerbong bangsa. Setidaknya ini terjadi sejak Senin pekan lalu, ketika Ketua Yayasan Wakaf Paramadina ini menyatakan siap menjadi calon Presiden Indonesia pada pemilihan umum mendatang.
Sebenarnya menjadi masinis lokomotif politik adalah pilihan yang lebih masuk akal. Nurcholish muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental membicarakan soal politik ketimbang mesin uap. Keluarganya berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai Haji Abdul Madjid, adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat terjadi “geger” politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap bertahan di Masyumi. “Dengan nuansa politik pada waktu itu, keluarga Cak Nur biasa mengobrol, mendengar, bicara soal-soal politik,” kata Utomo Dananjaya, 67 tahun, sahabat lama Nurcholish.
Utomo juga kerap dituding sebagai salah seorang “kompor” yang mendorong Nurcholish ke pentas politik. “Ah tidak, politik sudah ada dalam pemikiran Cak Nur sejak pemilu tahun 1955. Generasi saya dan dia sudah cukup dewasa untuk memahami, membaca, dan melihat politik,” demikian kata Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta, itu. Kesadaran politik Nurcholish muda terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang aktif sekali dalam urusan pemilu. Apalagi orang tua santri Kulliyatul Mualimin al-Islamiyah Pesantren Darus Salam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, itu adalah kiai, tokoh masyarakat, sekaligus pemimpin Masyumi. “Mengobrol dalam keluarga tentu termasuk juga soal politik. Hanya, Cak Nur itu kan yang menonjol pemikirannya, bukan sikap politiknya,” kata Utomo, yang akrab dipanggil Mas Tom.
Padahal politik praktis mulai dikenal Nurcholish saat menjadi mahasiswa. Ia terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat, tempat Nurcholish menimba ilmu di Fakultas sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Pengalamannya bertambah saat menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI. Saat menjadi kandidat, menurut Eki Syahrudin kepada Utomo, kemampuan Nurcholish sudah cukup komplet. “Pikirannya, ngajinya, menjadi imam, khotbah, ceramah agama, bagus semua. Orang-orang HMI waktu itu terpukau oleh pikiran-pikiran Cak Nur,” kata Utomo menirukan kekaguman Duta Besar Indonesia untuk Kanada itu.
Namun, kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde Baru itu, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangkan Presiden Sukarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama pendapatnya tentang soal demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan westernisme. “Modernisme dilihatnya sebagai gejala global, seperti halnya demokrasi,” ujar Tom.
Pemikiran Nurcholish tersebar melalui berbagai tulisannya yang dimuat secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi, yang diterbitkan anak-anak HMI. Gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak orang, hingga Nurcholish digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda”. “Gelar Natsir muda itu bukan karena dia pintar agama, melainkan karena pemikiran-pemikirannya. Saat itu hampir semua orang bilang begitu,” ujar Utomo, yang mengaku kenal Nurcholish sejak tahun 1960-an, yaitu saat Tom menjadi Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Nurcholish Ketua Umum HMI.
Pemikiran Nurcholish yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”. Nurcholish ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam. Partai atau organisasi Islam dianggap sakral dan orang Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar. Bahkan, bagi kalangan NU, haram memilih Partai Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di mana-mana, termasuk di partai milik penguasa Orde Baru, Golkar. “Waktu itu sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak bersatu, Islam menjadi lemah. Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks yang lebih luas, yaitu kebangsaan,” kata Mas Tom.
Karena gagasannya ini, tuduhan negatif datang ke arah Nurcholish, mulai dari pemikir aktivis gerakan Islam sampai peneliti asing. Di dalam negeri, pemikiran Nurcholish ditentang tokoh Masyumi, Profesor H.M. Rasjidi. Sedangkan dari negeri jiran, Malaysia, ia dicerca oleh Muhammad Kamal Hassan, penulis disertasi yang kemudian diterbitkan dengan judul Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia. Hassan menuding Nurcholish sebagai anggota Operasi Khusus (Opsus) di bawah Ali Moertopo. Tudingan ini dibantah Utomo, yang kenal betul pribadi Nurcholish. “Tuduhan itu tidak berdasar, karena kami saat itu benar-benar bersama-sama. Itu fitnah, dan Kamal Hassan tak pernah bertemu kami untuk mengkonfirmasi sumbernya itu,” ujar Tom.
Kejutan berikut datang lagi pada Pemilu 1977, dalam pertemuan di kantor KAMI, saat para aktivisnya sedang cenderung memilih Golkar sebagai kendaraan politik. Nurcholish satu-satunya tokoh yang meminta agar mahasiswa tidak memilih Golkar. “Sebab, waktu itu, menurut Cak Nur, Golkar sudah memiliki segalanya, militer, birokrasi, dan uang,” kata Utomo. Maka, dalam kampanye Partai Persatuan Pembangunan (P3), Nurcholish mengemukakan teori “memompa ban kempes”, yaitu pemikiran agar mahasiswa memilih partai saja ketimbang Golkar. “Cak Nur percaya pada check and balances, mengajak mahasiswa agar tidak memilih Golkar, dan dia tak masuk Golkar. Ada pengaruh atau tidak? Nyatanya, di Jakarta PPP menang. Dengan tema demokrasinya itu, orang menjadi lebih berani, sehingga Golkar di Jakarta terus-terusan kalah,” ujar Mas Tom.
Pemikiran politik Nurcholish semakin memasuki ranah filsafat setelah ia kuliah di Universitas Chicago, di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, untuk meraih gelar doktor dalam bidang filsafat. Nurcholish terlibat perdebatan segitiga yang seru dengan Amien Rais dan Mohamad Roem. Pemicunya adalah tulisan Amien Rais di majalah Panji Masyarakat, “Tidak Ada Negara Islam”, yang menggulirkan kegiatan surat-menyurat antara Nurcholish yang berada di Amerika dan Roem di Indonesia. Cak Nur menyatakan tidak ada ajaran Islam yang secara qoth’i (jelas) untuk membentuk negara Islam. Surat-surat pribadi itu ternyata tak hanya dibaca Roem, tetapi juga menyebar ke tokoh lain, misalnya Ridwan Saidi dan Tom sendiri.
Barangkali itu sebabnya, ketika Nurcholish pulang dari Amerika pada tahun 1984, setelah meraih gelar Ph.D, lebih dari 100 orang menyambutnya di Pelabuhan Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Mereka antara lain Fahmi Idris, Soegeng Sarjadi, A.M. Fatwa, dan para tokoh lainnya. “Cak Nur saya kira istimewa. Ketika pulang dari AS, ternyata banyak sekali orang yang menyambutnya. Saya tidak pernah me lihat seseorang yang selesai sekolah disambut seperti itu,” kata Mas Tom kagum.
Memang, di kalangan alumni HMI, Nurcholish sangat berpengaruh. Misalnya, saat Korps Alumni HMI akhirnya menerima asas tunggal dan harus menemui Presiden Soeharto di Istana, Nurcholish “diculik” kawan-kawan HMI-nya untuk menghadap Presiden. “Karena ada orang yang berusaha tidak mengikutkannya. Tapi ada yang menyatakan dia harus ikut. Sebab, kalau Cak Nur datang, pertemuan menjadi cukup kuat,” kata ahli pendidikan itu.
Pertemuan Nurcholish dengan Soeharto terakhir, pada Mei 1998, menurut Tom menunjukkan besarnya pengaruh Cak Nur. Saat itu Nurcholish berbicara langsung kepada Soeharto, memintanya mundur. “Itu dikatakan di depan Pak Harto. Saya kira Pak Harto memahami pikiran Cak Nur itu,” kata Utomo. Terbukti sebagian pemikiran Nurcholish, misalnya soal mengadakan pemilu ulang dan menarik tentara dari politik, diambil oleh Soeharto sebagai syarat turunnya.
Tahun 1999, dia sempat digadang-gadang sekelompok orang menjadi calon presiden. Tapi Nurcholish tak mau karena tahu diri bukan orang partai. “Apalagi Gus Dur sudah mencalonkan diri. Saya menjadi makmum saja. Masa, harus ada dua imam,” katanya. Namun, Nurcholish tak berhenti mengkritik Presiden Abdurrahman Wahid. Bahkan Ketua Umum PDI Perjuangan yang sekarang jadi presiden, Megawati Soekarnoputri, diminta tak lagi mencalonkan diri pada Pemilu 2004. “Sebab, ada peluang kondisi Indonesia tak akan membaik dari krisis ekonomi seperti pada masa Megawati saat ini. Pertanyaan besarnya adalah kita tahan-enggak untuk lima tahun sengsara lagi?” kata Nurcholish pertengahan April lalu.
Megawati ternyata tak menggubris permintaan itu. Dan Nurcholish bereaksi dengan menggelar konferensi pers menyatakan siap jadi calon presiden pada pemilu mendatang. Pernyataan itu segera menjadi kepala berita berbagai media cetak ataupun elektronik dan disambut gembira para pendukungnya.
Namun, ada juga yang bersikap lain. Penentang lama Nurcholish, Daud Rasyid, meragukan kemampuan Cak Nur. Menurut Daud, pengalaman Cak Nur terjun ke kancah politik belum ada. “Cak Nur cukup dekat dengan pemerintah Orde Baru, sering memanfaatkan situasi, dan mengikuti arah politik pada saat itu,” katanya. Nah, tipe pemimpin seperti itu, menurut Daud, susah diharapkan membawa bangsa yang besar. “Pemimpin yang dikenal tegar saja menghadapi sebuah rezim kadang-kadang tak kuat,” ujar Daud.
Rupanya, Daud tak menyimak sepuluh butir pernyataan yang menjadi platform Cak Nur. Salah satu butirnya menyebutkan perlunya dilakukan rekonsiliasi nasional. Dan hanya dengan cara ini bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa besar.


Abdurrahman Ambo Dalle

Kemunduran umat Islam Indonesia yang kita lihat dan alami saat ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh para pemimpin dan tokoh-tokoh Islam yang kurang memerhatikan metode pendidikan dan seni dakwah serta tidak menggunakan senjata berupa sumber daya manusia dan dakwah sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain, umat membutuhkan keteladanan dan ulama serta pemimpin bangsa.
Dalam bukunya yang berjudul Anregurutta Ambo Dalle: Mahaguru dari bumi Bugis, HM Nasruddin Anshoriy Ch mengungkapkan, sangat sedikit para pemimpin dan tokoh Islam saat ini yang mampu melakukan kerja keras di bidang pendidikan, menebarkan kasih sayang kepada segenap umat dengan jalan silaturahim, serta berjihad dengan indah melalui jalan dakwah untuk mengajak masyarakat ke jalan benar, lurus, dan lempang sebagaimana yang telah dilakukan sosok mahaguru dari bumi Bugis bernama Abdurrahman Ambo Dalle.
Keteladanan ini pula yang dilakukan Ambo Dalle dalam menebarkan Islam dan kasih sayang kepada umat Islam di Sulawesi Selatan dan murid-muridnya.
Penikmat novel trilogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata tentu masih ingat dengan apa yang dilakukan Lintang, seorang anak nelayan yang harus mengayuh sepeda sejauh 40 kilometer agar bisa menuntut ilmu di SMP Muhammadiyah, Belitong.
Seperti itulah yang dilakukan Ambo Dalle. Ulama asal Sulawesi Selatan ini mengayuh sepedanya sejauh 35 kilometer demi mengajar murid-muridnya dan menemui umatnya untuk berdakwah. Ambo Dalle menunjukkan keteladanan seorang pemimpin dalam mengayomi dan melayani umat. Masihkah ada pemimpin dan ulama seperti Ambo Dalle saat ini?
Anregurutta (guru–Red) Abdurrahman Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan, sekitar tahun 1900, di sebuah desa bernama Ujung yang berada di Kecamatan Tanasitolo, sekitar tujuh kilometer sebelah utara Sengkang yang merupakan ibu kota Kabupaten Wajo. Ayahnya bernama Puang Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Puang Candara Dewi.
Kedua orang tuanya memberi nama Ambo Dalle yang berarti bapak yang memiliki banyak rezeki. Orang tuanya mengharapkan dirinya agar kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abdurrahman diberikan oleh seorang ulama setempat bernama KH Muhammad Ishak pada saat berusia 7 tahun dan sudah dapat menghafal Alquran.
Menuntut ilmu
Pada masa kecilnya, Ambo Dalle mempelajari ilmu agama dengan metode sorogan (sistem monolog), yaitu guru membacakan kitab, sementara murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru. Pelajaran membaca dan menghafal Alquran ia peroleh dari bimbingan bibi serta kedua orang tuanya, terutama sang ibu. Agar lebih fasih membaca Alquran, Ambo Dalle belajar tajwid kepada kakeknya, Puang Caco, seorang imam masjid yang fasih membaca Alquran di Desa Ujung.
Selama menuntut ilmu, Ambo Dalle tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran, seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu, sharaf, tafsir, dan fikih saja, tapi ia juga mengikuti Sekolah Rakyat (Volk School) pada pagi hari serta kursus bahasa Belanda pada sore hari di HIS Sengkang dan belajar mengaji pada malam harinya.
Sementara itu, untuk memperluas cakrawala keilmuan, terutama wawasan modernitas, Ambo Dalle lalu berangkat meninggalkan Wajo menuju kota Makassar. Di kota ini, ia mendapatkan pelajaran tentang cara mengajar dengan metodologi baru melalui Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI). Pada saat itu, SI yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto berada dalam masa kejayaan dan benar-benar membuka tabir kegelapan bagi wawasan sosial, politik, dan kebangsaan di seluruh Tanah Air.
Ketika mengikuti sekolah guru di Makassar inilah, ia menemukan kehidupan sosial yang lain dan jauh berbeda dari tanah Wajo yang masih sepi. Makassar, yang saat itu telah menjadi sebuah kota pelabuhan terpenting di kawasan Indonesia Timur, ramai disinggahi oleh kapal besar dan perahu dari berbagai penjuru yang memuat barang-barang dagangan. Beraneka ragam barang niaga, seperti beras, kelapa, hasil hutan, dan kain tenun sutera, ditawarkan orang-orang di pasar-pasar.
Ketika kembali ke Wajo, Ambo Dalle semakin matang secara keilmuan ataupun wawasan. Karena itu, ia bertekad untuk mencerdaskan putra-putri bangsa, khususnya di daerahnya sendiri. Selain kegiatan rohani dengan pendalaman spiritual yang menjadi gairah hidupnya sehari-hari, kegiatan fisik juga tidak diabaikannya. Misalnya, ia selalu aktif berolahraga. Olahraga yang paling digemarinya adalah sepak bola. Ambo Dalle terkenal sebagai seorang pemain bola yang andal. Karena keahliannya dalam menggiring dan mengolah si kulit bundar, rekan-rekannya menjuluki Ambo Dalle sebagai ‘Si Rusa.’
Selain itu, Ambo Dalle terus menambah ilmunya, terutama dalam ilmu agama. Ia pun belajar kepada ulama-ulama asal Wajo yang merupakan alumni Makkah, seperti H Syamsudin dan Sayyid Ali al-Ahdal. Para ulama asal Wajo ini bermaksud membuka pengajian di kampung halaman mereka.
Merintis madrasah
Salah seorang guru Ambo Dalle, yakni Gurutta H As’ad, suatu ketika menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Ambo Dalle. Ternyata, jawaban Ambo Dalle dianggap yang paling tepat dan benar. Maka, sejak saat itu, ia diangkat menjadi asisten dan mulai meniti karier mengajar serta secara intens menekuni dunia pendidikan.
Berkat kerja sama antara Gurutta H As’ad dan Ambo Dalle, pengajian itu bertambah maju. Hal tersebut terdengar sampai ke telinga Raja Wajo saat itu, Arung Matoa Wajo. Arung Matoa Wajo pun memutuskan mengadakan peninjauan langsung ke tempat pengajian milik Gurutta H As’ad. Dalam kunjungannya, Raja Wajo ini meminta agar Gurutta H As’ad membuka sebuah madrasah yang seluruh biayanya ditanggung pemerintah setempat. Gayung bersambut. Maka, tak lama kemudian, dimulailah pembangunan madrasah.
Madrasah yang dibangun ini menyelenggarakan jenjang pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD), dan tsanawiyah (SMP). Lembaga pendidikan itu diberi nama Al-Madrasah al-Arabiyah al-Islamiyah (disingkat MAI) Sengkang. Lambangnya diciptakan oleh Ambo Dalle dengan persetujuan Gurutta H As’ad bin Abdul Rasyid dan ulama lainnya. Dalam waktu singkat, popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasah) menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah.
Selanjutnya, atas izin sang guru, Ambo Dalle pindah dan mendirikan MAI di Mangkoso pada 29 Syawal 1356 H atau 21 Desember 1938. Mulai saat itulah, ia mendapat kehormatan penuh dari masyarakat dengan gelar Gurutta Ambo Dalle. MAI Mangkoso ini kelak menjadi cikal bakal kelahiran organisasi pendidikan keagamaan bernama Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI).
Sementara itu, sepeninggal Gurutta H As’ad, MAI Sengkang diubah namanya menjadi Madrasah As’adiyah. Perubahan nama tersebut sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa Gurutta H As’ad.
Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah yang dipimpin oleh Ambo Dalle ini sangat pesat. Hal ini terbukti dengan banyaknya permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang MAI Mangkoso. Untuk merespons permintaan itu, dibukalah cabang MAI Mangkoso di berbagai daerah.
Zaman Jepang
Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan. Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai menghadapi kesulitan karena Pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah.
Untuk mengatasi masalah ini, Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Ia pun mengambil inisiatif. Pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca pada bagian pintu dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu, pada malam hari dilarang menggunakan lampu.
Bukannya sepi peminat, justru siasat yang dilakukan Ambo Dalle ini mengundang masyakarat sekitar untuk mendaftarkan anak-anak mereka belajar di madrasah milik Ambo Dalle. Bahkan, cara yang ditempuhnya ini membuat madrasah tersebut luput dari pengawasan Jepang. berbagai sumber ed:sya
Membangun Benteng Tauhid
Setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, Anregurutta Abdurrahman Ambo Dalle dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok Tanah Air.
Melihat kondisi ini, Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang nyaris terbengkalai. Ia sadar, selain bertempur melawan penjajah dengan senjata, berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dalam kolonialisme selama berabad-abad.
Namun, usaha yang dirintis Ambo Dalle ini sempat mengalami kendala ketika terjadi Peristiwa Korban 40 Ribu Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara sekutu (NICA) di bawah komando Kapten Westerling mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat Sulawesi Selatan yang dituduh sebagai ekstremis.
Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso. Banyak santri, yang ditugaskan oleh Ambo Dalle untuk mengajar di cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat beliau untuk mengembangkan MAI.
Bahkan, dalam situasi seperti itu, bersama beberapa ulama alumni MAI Sengkang, ia mengadakan pertemuan alim ulama se-Sulawesi Selatan di Watang Soppeng pada 16 Rabiul Awal 1366 H/7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati pembentukan organisasi yang diberi nama Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. Ambo Dalle kemudian ditunjuk sebagai ketua dan Anregurutta HM Abduh Pabbajah sebagai sekretaris organisasi.
Meski disibukkan memimpin organisasi dan madrasah, Ambo Dalle tidak melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang taat. Ia bersama KH Fakih Usman dari Departemen Agama (Depag) Pusat dipercayakan oleh Pemerintah RI untuk membenahi dan merealisasi pembentukan Departemen Agama wilayah Sulawesi. Tugas itu dapat dilaksanakannya dengan baik. Kepala Depag yang pertama diangkat adalah KH Syukri Gazali, sedangkan Ambo Dalle diangkat menjadi kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Pare Pare pada 1954.
Menurut Prof KH Ali Yafie, salah seorang santri Ambo Dalle, apa yang telah dilakukan oleh gurunya itu selama berpuluh-puluh tahun di bumi Bugis pada khususnya dan bumi Sulawesi pada umumnya adalah sebuah gerakan pembaruan membangun benteng tauhid. Dengan kata lain, yang dikembangkan Ambo Dalle melalui program dakwah, pendidikan, sosial, dan kebudayaan tersebut sesungguhnya bagian dari jihad, ijtihad, dan mujahadah untuk membangun ‘budaya tauhid’.
Keteguhan sikap Ambo Dalle tak lekang di setiap peristiwa dan pergolakan yang ia lalui dalam perjalanan hidupnya. Ketika terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili di Pare Pare tak bergeming dan tetap kukuh dengan prinsip dan keyakinannya. Pada waktu itu, dia berpesan kepada santrinya agar tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan terpengaruh dengan gejolak yang terjadi dalam masyarakat.
Kitab karyanya
Sebagai seorang ulama, Ambo Dalle banyak mengupas berbagai persoalan yang menyangkut hampir semua cabang ilmu agama dalam karya-karya tulisnya. Di antaranya adalah tasawuf, akidah, syariah, akhlak, balaghah, dan mantik. Semua itu tercermin lewat karangan-karangannya yang berjumlah 25 judul buku.
Salah satu karyanya yang dikenal luas adalah kitab Al-Qaulu as-Shadiq fi Ma’rifati al-Khalaqi yang memaparkan perkataan yang benar dalam mengenali Allah SWT dan tata cara pengabdian terhadap-Nya. Menurutnya, manusia hanya dapat mengenal hakikat pengadian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat tentang dirinya.
Untuk mengagungkan Allah, tidak hanya berbekal akal logika, tapi juga dengan melakukan zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makrifat kepada Allah. Meskipun, harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk memikirkan alam semesta sebagai ciptaan Allah SWT. Dalam berzikir, harus dilakukan sesuai dengan dalil-dalil naqli (Alquran dan hadis). Yakni, dilakukan dengan hati, istikamah, dan tidak boleh goyah.
Pendirian dan sikap akidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah yang terdiri atas tiga jilid. Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini kebenarannya tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah.
Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushul-nya tertulis dalam kitab Tanwiru at-Thalib, Tanwiru at-Thullab, dan Irsyadu at-Thullab. Ilmu balaghah (sastra dan paramasastra) dibahas dalam karyanya yang berjudul Ahsanu al-Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya’i, yang menerangkan kosakata dan cara penyusunan kalimat bahasa Arab. Kitab Sullamu al-Lughah menerangkan kosakata, percakapan, dan bacaan.
Beliau juga mengarang pedoman berdiskusi dalam bahasa Arab, yakni kitab Miftahu al-Muzakarah dan tentang ilmu mantik (logika) dalam kitab Miftahu al-Fuhum fi al-Mi’yarif Ulum.

Biografi Mohammad Natsir Versi Majalah Tempo

Politik Mohammad Natsir di Tengah Dua Rezim Simak pula : Tan Malaka, M. Natsir, Mohammad Hatta, DN Aidit, Amir Sjarifudin, Sutan Sjahrir, Njoto, Untung, Sjam Kamaruzaman simak pula : 80 Tahun Sumpah Pemuda, Seabad Kebangkitan Nasional : Imaji Indonesia Dalam 100 Teks, Pergulatan Demokrasi Liberal Sebuah Pemberontakan tanpa Drama Hidupnya tak terlalu berwarna. Apalagi penuh kejutan ala kisah Hollywood: perjuangan, petualangan, cinta, perselingkuhan, gaya yang flamboyan, dan akhir yang di luar dugaan, klimaks. Mohammad Natsir menarik karena ia santun, bersih, konsisten, toleran, tapi teguh berpendirian. Satu teladan yang jarang. Lelaki dari Lembah Gumanti Masa kecil Mohammad Natsir dihabiskan di berbagai tempat. Mulai dari Alahan Panjang, Maninjau, Solok, hingga Padang. Tempo mengunjungi beberapa tempat di antaranya. Dendam Anak Juru Tulis Natsir sempat ditolak masuk sekolah dasar Belanda. Tak bayar iuran, ia pernah belajar kucing-kucingan. Menunggu Beethoven di Homan Di Bandung, sekolah Belanda dan dunia pergerakan membentuk jiwa perlawanan Natsir. Kutu buku yang suka menunggu orkes Homan. Setelah Diskusi Sore di Kampung Keling Di Bandung, jalan hidup Natsir berbelok. Perjumpaannya dengan A. Hassan dan keaktifannya di organisasi Islam membuat Natsir memutuskan menolak beasiswa ke Belanda. Ia pun mendirikan sekolah Islam modern pertama di Indonesia. Bersikap Melalui Tulisan Natsir gencar mengkritik kaum nasionalis yang merendahkan Islam di majalah Pembela Islam. Tapi dia juga membela Soekarno Saat Mesra dengan Bung Karno Hubungan Natsir dan Soekarno amat akrab di awal kemerdekaan. Kepentingan negara di atas perbedaan pendapat pribadi. Menteri dengan Jas Bertambal Natsir membiasakan keluarganya hidup bersahaja. Dia sendiri memberikan teladan Arsitek Negara Kesatuan Mosi Integral merupakan karya utama Natsir sebagai bapak bangsa. Paduan kejelian membaca situasi dan kepiawaian melakukan lobi. Bung Besar dan Menteri Kesayangan Soekarno dan Partai Nasional Indonesia mendongkel kabinet Natsir. Masyumi dan Partai Komunis Indonesia seperti minyak dan air. Kalau Aku Mati, Ikuti Natsir Berbagai cara dilakukan Natsir untuk melunakkan hati Kartosoewirjo. Kendati gagal, Kartosoewirjo tetap menghormatinya. PRRI: Membangun Indonesia tanpa Komunis Dalam Masa Pengasingan Keterlibatan dengan PRRI membuat Natsir dan keluarga harus meninggalkan Jakarta setelah memanasnya konflik politik dengan pemerintah Bung Karno. Mereka mengarungi belantara Pasaman, Sumatera Barat. Seorang Besar dengan Banyak Teman Natsir dipuji sebagai pendengar yang sabar. Hidupnya tak pernah sepi dari kawan dengan berbagai sifat dan aliran politiknya. Mohammad Natsir Adnan Buyung Nasution: Dasar Negara Islam tak Bisa Dipaksakan Tangis untuk Mangunsarkoro Natsir dikenal sebagai pejuang politik Islam yang gigih. Dan dia penganjur terdepan pergaulan multikultural. Mohammad Natsir, Pemikir-Negarawan Surat untuk Tengku Abdul Rahman Dari dalam tahanan, Natsir mendorong pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia. Orde Baru tak membalas jasa itu. Baju Pengantin buat Bambang Hubungan Natsir dan Soeharto tergolong dingin. Tapi kedua putri tokoh itu sering saling berkirim penganan. Natsir, Politikus Intelektual Berpetisi tanpa Caci Maki Suara kritis Natsir tak lekang oleh usia tua. Aktivitasnya di Petisi 50 menunjukkan ia demokrat sejati. Generator Lapangan Dakwah Setelah Soekarno melarang Masyumi dan Soeharto menolak memulihkannya, Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Giat bersuara antisekularisasi. Aba, Cahaya Keluarga Demokratis dalam mendidik anak-anak, Natsir selalu menyampaikan pesan-pesannya dengan tersirat. Semua Bermula di Jalan Lengkong Natsir menggagas lahirnya perguruan tinggi swasta Islam di Indonesia. Memadukan pendidikan Barat dan Timur. Beberapa Kenangan Belasan tahun berpulang, Natsir masih dikenang secara khusus dalam ingatan banyak orang. Berikut ini beberapa petikan pengalaman sejumlah tokoh yang mengenal Natsir secara pribadi.

Syekh Albani; 'Ulama Hadits Abad Modern

Hadis merupakan salah satu rujukan sumber hukum Islam di samping kitab suci Alquran. Di dalam hadis itulah terkandung jawaban dan solusi masalah yang dihadapi oleh umat di berbagai bidang kehidupan. Berbicara tentang ilmu hadis, umat Islam tidak akan melupakan jasa Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani, atau yang lebih dikenal dengan Syekh al-Albani. Ia merupakan salah satu tokoh pembaru Islam abad ini.
Karya dan jasa-jasanya cukup banyak dan sangat membantu umat Islam terutama dalam menghidupkan kembali ilmu hadis. Ia berjasa memurnikan ajaran Islam dari hadis-hadis lemah dan palsu serta meneliti derajat hadis. Nama lengkap beliau adalah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin al-Haj Nuh al-Albani. Dilahirkan pada tahun 1333 H (1914 M) di Ashqodar (Shkodra), ibukota Albania masa lampau. Ia dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya secara materi, namun sangat kaya ilmu, khususnya ilmu agama. Ayahnya, al-Haj Nuh, adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari’at di ibukota negara kesultanan Turki Usmani (yang kini menjadi Istanbul). Ia wafat pada hari Jumat malam, 21 Jumadil Tsaniyah 1420 H, atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999, di Yordania.
Ketika Ahmet Zogu berkuasa di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, Syeikh al-Haj Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya ia memutuskan untuk berhijrah ke Syam (Suriah, Yordania dan Lebanon sekarang) dalam rangka menyelamatkan agamanya dan karena takut terkena fitnah. Dari sana, ia sekeluarga bertolak ke Damaskus.
Setiba di Damaskus, Syekh al-Albani kecil mulai mempelajari bahasa Arab. Ia masuk sekolah madrasah yang dikelola oleh Jum’iyah al-Is’af al-Khairiyah. Ia belajar di sekolah tersebut hingga kelas terakhir dan lulus di tingkat Ibtida’iyah. Selanjutnya, ia meneruskan belajarnya langsung kepada para ulama. Ia belajar Alquran dari ayahnya sampai selesai, selain juga mempelajari sebagian fiqih mazhab Hanafi. Ia juga mempelajari keterampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul. Keterampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencahariannya.
Pada usia 20 tahun, ia mulai mengkonsentrasikan diri pada ilmu hadis lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahasan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul al-Mughni ‘an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar, sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya’ Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali. Kegiatan Syekh Al-Albani dalam bidang hadis ini ditentang oleh ayahnya yang berkomentar, ”Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit.”
Namun, Syeikh al-Albani justru semakin menekuni dunia hadis. Pada perkembangan berikutnya, al-Albani tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab. Karenanya, beliau memanfaatkan Perpustakaan az-Zhahiriyah di Damaskus. Disamping juga meminjam buku dari beberapa perpustakaan khusus. Karena kesibukannya ini, ia sampai-sampai menutup kios reparasi jamnya. Ia tidak pernah beristirahat menelaah kitab-kitab hadis, kecuali jika waktu shalat tiba.
Akhirnya kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau. Bahkan kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, ia menjadi makin leluasa dan terbiasa datang sebelum pengunjung lain datang. Begitu pula, ketika orang lain pulang pada waktu shalat zuhur, ia justru pulang setelah shalat isya. Hal ini dijalaninya selama bertahun-tahun.
Menulis dan mengajar
Semasa hidupnya, beliau secara rutin mengisi sejumlah jadwal kajian yang dihadiri para penuntut ilmu dan dosen-dosen untuk membahas kitab-kitab. Dari sinilah kemudian ia banyak menulis karya ilmiah dalam bidang hadis, fiqih dan akidah. Karya-karya ilmiahnya ini membuat beliau menjadi tokoh yang memiliki reputasi yang baik dan sebagai rujukan alim ulama.
Oleh karena itu, pihak Jami’ah Islamiyyah (Universitas Islam Madinah) meminta beliau untuk mengajar hadis dan ilmu-ilmu hadis di perguruan tinggi tersebut. Beliau bertugas selama tiga tahun, dari 1381 H sampai 1383 H. Setelah itu ia pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan Yordania meminta Syekh al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada program pasca sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di Kerajaan Yordania.Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu.
Pada tahun 1395-1398 H ia kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam’iyah Islamiyah di sana. Di negeri itu pula, al-Albani mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Arab Saudi berupa King Faisal Foundation atas jasa-jasanya dalam mengajarkan ilmu hadis pada tanggal 14 Dzulqa’idah 1419 H.
Sebelum berpulang, Syekh Al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku hasil fotokopi, manuskrip-manuskrip (yang ditulis olehnya ataupun orang lain) seluruhnya diserahkan kepada pihak Perpustakaan Jami’ah Islamiyyah.
Karya-karya beliau amat banyak, ada yang sudah dicetak, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang hilang. Jumlahnya sekitar 218 judul. Karya yang terkenal antara lain: Dabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah, Al-Ajwibah an-Nafi’ah ‘ala as’ilah masjid al-Jami’ah, Silisilah al-Ahadits ash Shahihah, Silisilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, At-Tawasul wa anwa’uhu, dan Ahkam Al-Jana’iz wabida’uha. Di samping itu, beliau juga memiliki buku kumpulan ceramah, bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat, dan buku berisi jawaban-jawaban tentang berbagai masalah yang yang dihadapi umat Islam.
Kritikan yang Menuai Penjara
Kejelian dalam menganalisa hadis telah membuka cakrawala baru bagi Syekh al-Albani. Ia sering dihadapkan kepada kenyataan hidup yang menyimpang dari tuntutan Rasul. Praktik-praktik agama sehari-hari yang dipandang sebagai Sunnah rasul oleh sebagian anggota masyarakat sebenarnya tidak lain dari bid’ah (penyimpangan dalam agama) yang tidak beralasan. Ia juga harus berhadapan dengan gejala fanatik mazhab yang berkembang di kalangan ulama, termasuk ayahnya sendiri yang sangat mengkultuskan mazhab Imam Abu Hanifah. Al-Albani akhirnya membulatkan tekad untuk menghapuskan praktik-praktik keagamaan yang tidak benar ini melalui berbagai pengarahan kepada masyarakat.
Al-Albani mengakui banyak terpengaruh oleh metode penelitian akademis seperti dilakukan oleh Rasyid Ridha, terutama dalam meneliti warisan pengetahuan Islam. Karya ilmiah Islam pertama yang ditelitinya adalah buku Ihya’ Ulumi ‘d-Din karya Imam al-Ghazali. Beliau mulai tertarik dengan karya ini setelah membaca sebuah essai yang ditulis oleh Rasyid Ridha. Beliau telah mengumpulkan berbagai tanggapan yang ditulis tentang buku Ihya’ Ulumi ‘d-Din dan meneliti semua hadis serta sumber yang dipakai Imam al-Ghazali dalam buku ini.
Beliau tidak segan-segan merevisi pendapat ulama-ulama mujtahidin bila berdasarkan pengamatan beliau, para ulama tersebut ceroboh dalam mempergunakan hadis atau jauh dari jiwa syari’at Islam. Beliau tidak peduli apakah yang ceroboh tersebut adalah imam mazhab seperti Abu Hanifah atau Ibnul Qayyim al-Juaziyah dan Ibnu Taimiyyah, apalagi ulama-ulama belakangan yang lebih banyak mendalami pengkajian mazhab tetapi kurang hati-hati dalam menggunakan sabda Rasul. Justru kritikan semacam ini kadang-kadang membuat beliau bentrok dengan ulama-ulama setempat yang merasa kewibawaan mereka terlangkahi.
Selanjutnya campur tangan penguasa politik pun sulit untuk dihindari karena pendapat beliau dianggap menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Sebagai akibatnya, Syekh al-Albani pernah mendapat pencekalan dan mendekam dalam penjara karena mempertahankan kebenaran pendapatnya. Tercatat beliau dua kali mendekam dalam penjara. Kali pertama selama satu bulan dan kali kedua selama enam bulan.
Kendati banyak yang tidak menyukainya, namun tidak sedikit juga ulama-ulama dan kaum pelajar yang simpati terhadap dakwah beliau sehingga dalam majelisnya selalu dipenuhi oleh para penuntut ilmu yang haus akan ilmu yang sesuai dengan Alquran dan Sunnah.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More