
Pada 1345, Ibnu Batuthah dari Maroko singgah di Samudera
Pasai dalam perjalanan dari Delhi-India ke Cina. Ia menggambarkan jumlah
penduduk kota sekitar 20 ribu jiwa. Di sana terdapat istana yang ramai dengan
ratusan ilmuwan dan ulama. Pada masa itu, sultan adalah Ahmad Malik Ad-Dhahir
(1326-1371). Ia mewarisi kekuasaan di sana dari Sultan Muhammad Malik ad-Dhahir
(1297-1326).
Yang dianggap sebagai pembangun Dinasti Kerajaan Samudera
Pasai adalah Merah Silu (1275-1297). Semula, ia adalah penyembah berhala.
Kemudian Merah Silu masuk Islam dan menggunakan nama Malik Saleh. Beberapa nama
sultan sempat tercatat. Antara lain Zainal Abidin Malik (1371-1405), lalu
Sultan Hidayah Malik, juga Nahrisyah.
Bersamaan dengan itu, di ujung utara Aceh juga tumbuh
menjadi satu pusat kekuasaan. Buku "Sejarah Umat Islam" terbitan MUI
menyebut sembilan nama sultan yang dimulai dengan Johansyah (601 H. atau
sekitar peralihan abad 12-13 Masehi), sebelum kemudian terjadi dua kerajaan kecil.
Yakni raja Mudhafarsyah di Mahkota Alam dan Inayatsyah di Darul Kamal.
Mudhafarsyah menang. Penggantinya, Ali Mughayatsyah menyatukan kedua kerajaan
itu, dan menetapkan Bandar Aceh Darussalam sebagai ibukota.
Mughayatsyah pula yang menyatukan Kesultanan Pasai ke dalam
kendalinya pada 1524. Pasai berakhir. Wilayah Deli bahkan dikuasai. Pada 1521,
armada laut Aceh menghancurkan kekuatan Portugis pimpinan Jorge de Brito. Anak
Mughasyatsyah, Salahuddin, pada 1537 menyerang Malaka namun gagal. Aceh dapat
memulihkan kekuatannya di masa Sultan Alauddin Rihayatsyah yang digelari Al-
Kahar (sang penakluk).
Musafir Portugis F. Mendez Pinto yang tinggal di Aceh 1539,
menyebut pasukan Al-Kahar berasal dari berbagai bangsa. Ia memiliki batalyon
tentara Turki. Al-Kahar dua kali menggempur Malaka, yakni 1547 dan 1568.
Pasukannya bahkan mengalahkan Portugis (1562) dengan meriam yang dibelinya dari
Turki. Masyarakat Aceh mengenal cerita "lada secupak". Cerita sat
Raja Aceh mengirim utusan ke Turki untuk membeli meriam dengan menggunakan lada
sebagai pembayarannya. Di Turki mereka lama menunggu, sampai akhirnya utusan
itu menjual lada sedikit demi sedikit sehingga tinggal "secupak".
Pada 28 September 1571, Sultan Alauddin wafat. Perebutan
kekuasaan terus terjadi, sampai seorang tua bernama Sayyid Al-Mukammil
disepakati menjadi raja. Ali Riayatsyah menggantikan Al-Mukammil. Aceh diserbu
Portugis. Raja wafat dalam serbuan itu. Iskandar Muda -keponakan yang tengah
dipenjara oleh raja-bangkit memimpin perlawanan dan mampu mengusir Portugis.
Kitab "Bustanus-salatin" menyebut Iskandar Muda dinobatkan pada 6
Dzulkhijjah 1015, atau awal April 1607.
Para bangsawan kerajaan dikontrol dengan keras oleh Iskandar
Muda. Mereka diharuskan ikut jaga malam di istana setiap tiga hari sekali tanpa
membawa senjata. Setelah semua terkontrol, Iskandar Muda memegang kendali
terhadap produksi beras. Di masanya, Kerajaan Aceh Darussalam mengekspor beras
keluar wilayah. Ia memperketat pajak kelautan bagi kapal-kapal asing, mengatur
kembali pajak perdagangan (saat itu banyak pedagang Inggris dan Belanda berada
di Aceh), bahkan juga mengenai harta untuk kapal karam.
Untuk militer, Iskandar Muda membangun angkatan perang yang
sang kuat. Seorang asing, Beaulieu mencatat jumlah pasukan darat Aceh sekitar
40 ribu orang. Untuk armada laut, diperkirakan Aceh memiliki 100-200 kapal,
diantaranya kapal selebar 30 meter dengan awal 600-800 orang yang dilengkapi
tiga meriam. Ia juga mempekerjakan seorang Belanda sebagai penasihat militer
yang mengenalkan teknik perang bangsa Belanda dan Perancis. Benteng Deli
dijebol. Beberapa kerajaan ditaklukkan seperti Johor (1613), Pahang (1618),
Kedah (1619) serta Tuah (1620).
Iskandar Muda wafat pada 29 Rajab 1046 H, atau 27 Desember
1636. Ia digantikan menantunya, Sultan Iskandar Tsani yang lembut. Tidak
bertangan besi seperti mertuanya. Iskandar Tsani lebih menitikberatkan pada
masalah keagamaan ketimbang kekuasaan. Begitu pula istrinya, Sri Sultan Taju
al_Alam Syafiatuddin Syah (1641-1675) setelah Iskandar Tsani wafat. Setelah
itu, tiga perempuan memegang kendali kerajaan Aceh. Mereka adalah Sultanah
Nurul Alam Zakiatuddin Syah (1675-1677), Ratu Inayat Zakiatuddin Syah
(1677-1688) dan Ratu Kamalat. (1688-1699).
Kesultanan Aceh terus berjalan. Namun, pamornya terus
menyurut. Pertikaian internal terus berlangsung. Sementara pusat kegiatan
ekonomi dan politik bergeser ke selatan ke wilayah Riau-Johor-Malaka. Aceh baru
muncul kembali dua abad kemudian, yakni akhir Abad 19, ketika Belanda berusaha
menguasai wilayah tersebut. Pemberontakan oleh para bangsawan Aceh terjadi.
Sekali lagi, sejarah Aceh kepemimpinan perempuan yakni melalui perlawanan Tjut
Nya' Dhien, sekalipun sudah tanpa Teuku Umar dan Panglima Polim.n Dua abad
kemudian, kepemimpinan perempuan di Aceh mewujud pada Tjut Nya' Dhien yang
memimpin pemberontakan terhadap Belanda.
Related Post:
Sejarah Islam
- "Ikhwanul Muslimin Bangga Dikalahkan Militer, Bukan Kalah Dalam Kotak Suara"
- Mengidolakan RasuluLlah
- Perang Paderi (1821-1837)
- Andalusia
- Perang Diponegoro (1825-1830)
- Masa Kemajuan Islam (650-1000 M)
- Daulah 'Abbasiyah I (750-1258 Masehi)
- Daulah Umayah II (661-750 Masehi)
- Perang Aceh (1873-1903)
- Daulah Umayah I (661-750 Masehi)
- Khalifah Ali bin Abu Thalib
- Khalifah Utsman bin Affan
- Demak-Mataram
- Cirebon-Banten (1500-an -1812)
- Khalifah Umar bin Khathab R.A.
- Masa Kemajuan Islam (650-1000 M) - Khilafah Rasyidah
- MUHAMADIYAH DAN GERAKANNYA
- الممالك الإسلامية بإندونيسيا
- Perang Salib
- Daulah Umayyah: Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M) Dekat dengan Ulama
- Khalifah Abu Bakar
- Sejarah Islam Indonesia
Sejarah Nasional
- “Nothing to Lose” untuk PKS
- PKS Anugerahi Habibie Gelar Guru Demokrasi Bangsa
- Perang Paderi (1821-1837)
- Perang Diponegoro (1825-1830)
- Dirgahayu RI Ke-67
- Perang Aceh (1873-1903)
- Demak-Mataram
- Cirebon-Banten (1500-an -1812)
- Rangkasbitung My City
- SEJARAH KABUPATEN LEBAK
- MUHAMADIYAH DAN GERAKANNYA
- Sejarah Islam Indonesia