OpulentDelicacy.com

Minggu, 24 April 2011

Keberagaman Pemikiran Islam dan Pemikiran Barat

Upaya pengenalan global epistemologi, ontologi dan aksiologi dua pemikiran

 

Prolog
Berpikir adalah proses menemukan kepastian akan sesuatu yang dicari oleh akal manusia. Dikarenakan berpikir tidak memerlukan batasan tempat dan waktu ataupun kondisi khusus, maka tiada siapapun yang dapat melarang orang lain untuk berhenti berpikir. Kebebasan berpikir inilah yang dapat membuat dunia beraneka ragam, serba baru, indah dan  “warna-warni”. Bahkan dengan kehebatan berpikir, dapat mengangkat kedudukan di atas makhluk Allah Swt. lainnya. Firman Allah Swt. yang berbunyi “Dan bersujudlah kepada Adam…[1] merupakan fi’il Amr yang ditujukkan Allah kepada seluruh makhluk, karena tingginya kedudukan Adam as. dibanding makhluk lainnya. Ini  disebabkan karena kelebihan akalnya, yang diantaranya bisa menyebutkan nama-nama ciptaan Allah Swt.
Akal –sebagai alat berpikir manusia- bisa mengangkat kedudukan manusia jika hal itu digunakan dengan baik, baik itu digunakan dengan tujuan agar mendapat ridla Allah ataupun tidak. Kenapa demikian?, karena tidak sedikit ilmuan non-muslim yang tinggi “kedudukannya” dibandingkan muslim yang tidak berpikir, padahal mereka tidak mengharap ridla Allah dan bahkan ada yang tidak mempercayai adanya eksistensi Mutlak (Tuhan). Karena, ini semua adalah janji Allah bagi para ilmuan, apalagi jika ilmuan itu mengimani keEsaan Allah Swt maka kedudukannya lebih tinggi dari pada ilmuan yang tidak beriman[2].
Dampak dari berpikirnya manusia sangat berpengaruh pada
banyak aspek kehidupan, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, moral dan bahkan pada pemikiran itu sendiri. Dampak ini muncul karena manusia dengan akalnya dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, yang benar dan mana yang salah, disamping manusia juga sudah diberikan kuasa untuk bisa memilih ilham ketaqwaan atau keburukan yang diberikan Allah Swt[3]. Adapun wahyu berfungsi untuk membenarkan apa yang dianggap akal itu benar dan menambahkan apa yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Sebab bagaimanapun juga, kita mesti mengakui bahwa jangkauan akal tidak dapat jauh mencapai kepada sesuatu yang tidak berpangkal dan tidak berujung (Transenden), seperti Dzat Allah Swt.
Arus pemikiran manusia ini tidak dapat dibendung oleh hal apapun, kecuali manusia itu sendiri yang menyadari bahwa dia dibatasi oleh serba kekurangan dan bahwa dia dilarang menerobos bendungan yang telah ditetapkan dalam wahyu Tuhan. Apalah daya, terkadang manusia selalu mengedepankan syahwatnya sehingga banyak dalam ayat Al  Qur’an yang menerangkan jiwa ifrath dan jahil manusia dalam mengurai suatu ilmu.[4]

Disebabkan Allah Swt. memerintahkan agar manusia senantiasa berpikir, maka tidak heran jika di dalam tubuh umat Islam terdapat banyak golongan-golongan yang mayoritas muncul dari aliran pemikiran, baik aliran pemikiran klasik ataupun modern. Adapun keberagaman (pluralitas) pemikiran ini tidak hanya terdapat dalam agama Islam, akan tetapi juga muncul dalam tubuh agama lainnya, bahkan kaum non-agamapun (Atheis) demikian. Arus pemikiran yang akan penulis sorot dalam makalah ini hanya bersifat global, dengan memilih dua arus pemikiran yang banyak diperbincangkan dan diperbandingkan, yaitu arus pemikiran Islam dan arus pemikiran barat.
Pilihan ini bukan berarti hendak membandingkan Agama Islam dengan budaya Barat, akan tetapi memperbandingkan arus pemikiran manusia muslim dengan pemikiran manusia barat. Karena  suatu perbandingan dapat dianggap relevan jika dua hal yang dibandingkan itu memiliki banyak kesamaan. Artinya, memperbandingkan umat Islam dengan orang barat hanya pada batas pemikiran. Dan sekarang kita akui, aliran pemikiran Barat saat ini tidak sedikit telah mempengaruhi cara berpikir umat Islam dengan munculnya aliran-aliran pemikiran barat yang dipaksa untuk diislamisasikan.
Definisi
Pemikiran secara etimologi diartikan sebagai proses, cara, perbuatan memikir[5]. Adapun secara terminology, didefinisikan sebagai: sebuah kegiatan mental yang berlandaskan kepada prinsip-prinsip yang dianut untuk sampai kepada hasil yang dicari[6]. Dari definisi tersebut terlihat adanya perluasan makna, yang tadinya bersifat abstrak dalam etimologi, menjadi bersifat konkrit dalam terminology, yaitu dengan menambahkan penekanan pada pencarian hasil dari sebuah pemikiran. Namun objek yang dipikirkan bersifat global tergantung keinginan si pemikir, akan tetapi hasil pemikirannya menjadi suatu hal yang konkrit dan membumi jika memiliki sandaran yang –meminjam istilah Al qur’an[7]- “akarnya menghunjam ke tanah, dan cabangnya menjulang tinggi ke langit" sehingga "buah" pemikiran mereka dapat dicicipi sampai saat ini.

Keberagaman Pemikiran Islam
Pluralitas merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dielakkan, dan bahkan merupakan sunatullah bagi ciptaan-Nya[8]. Tentu saja tidak aneh jika dalam tubuh umat Islam muncul beragam pemikiran, baik yang saling bertentangan ataupun yang saling mengisi satu sama lainnya, namun hal ini tidak sampai keluar dari jalur agama. Makanya seorang ahli ilmu sosial “Goustaf Laubon” menyatakan bahwa orang-orang Islam adalah orang-orang yang pertama kali mengajarkan alam bagaimana kebebasan berpendapat sejalan dengan agama[9]. Arus pemikiran ini dapat bertahan lama, ketika pemikirannya menjelma menjadi sebuah amalan yang terorganisir serta diikat dalam satu organisasi/golongan.
Sebab itu, muncullah golongan-golongan dalam Islam yang pada asalnya muncul dari sebuah pemikiran. Dr. Abdul Halim Mahmud berkata: “Patokan akal muslim adalah Al Qur’an, inilah yang membebaskan akal manusia dari kebodohan dan keterbelakangan. Karenanya, disamping hasil dari olahan akal manusia, pemikiran dalam Islam memiliki kekuatan sandaran yang sudah terjamin keabsolutannya”[10], yaitu Al Qur’an. Tentu saja, dengan sandaran ini pemikiran di dalam Islam berdiri tegak layaknya pohon yang berakar tunggal. Sebab, kuat atau lemahnya suatu pemikiran tergantung pada kekuatan sandarannya. Ini juga merupakan salah satu bukti bahwa Al Qur’an tidak akan bertentangan dengan akal manusia. Namun akan muncul satu pertanyaan, kenapa hanya dengan satu sandaran muncul berbagai pemikiran?, tentunya karena ada keniscayaan pluralitas manusia.
Pemikiran di dalam Islam memiliki defenisi tersendiri, karena jika kata “pemikiran” sudah dipadankan dengan kata “Islam”, maka akan terjadi perubahan makna dalam terminologi. Karenanya Muhammad Husain Abdullah mendefinisikan pemikiran dalam Islam sebagai :
الحكم على الواقع من وجهة نظر الإسلام“Menjawab realitas dari prespektif Islam”     [11]
Realitas pada masa pemikiran Islam klasik berbeda dengan masa kini, pemikiran Islam klasik muncul dari permasalahan internal yang karenanya lebih menekankan pada pembangunan internal. Adapun pemikiran Islam kali ini (modern) didorong oleh cita-cita untuk menjawab realitas eksternal untuk kemaslahatan muslim dan manusia seluruhnya (rahmatan lil â’lamîn). Karenanya, disamping Islam sebagai subjek (baca: sandaran) pemikiran, juga sekaligus sebagai objek pemikiran itu sendiri.

A. Epistemologi Pemikiran Islam
Disebabkan Al Qur’an merupakan sandaran pemikiran Islam, maka di waktu itu pula pemikiran Islam mulai muncul. Tetapi, pada mulanya pemikiran Islam bersifat absolut (baca: Syari’ah) karena pemikiran ini muncul dari seorang Nabi yang sudah dijamin jauh dari hawa nafsu. Kemudian berangsur setelah wafatnya Nabi Saw., umat Islam bagai kehilangan kemudinya, maka muncullah riak-riak pemikiran (baca: ijtihad) umat Islam yang tidak lepas dari subjektifitas dalam menjawab realitas yang menuntutnya muncul kepermukaan.
Masapun berganti, pemikiran Islam semakin berkembang yang sedikit banyaknya mempengaruhi kondisi umat Islam. Inilah yang diprediksikan Nabi Saw. akan munculnya 73 golongan dalam tubuh umat Islam, dan hanya satu yang akan masuk surga, yaitu golongan yang mengikuti sunnah Nabi Saw. dan sunnah para sahabat Nabi. Meskipun demikian, tiap-tiap golongan memegang claim truth (klaim kebenaran) bahwa merekapun mengikuti sunnah Nabi Saw. dan sunnah para sahabat Nabi.
Berlepas dari itu, arus pemikiran Islam masih terus berkembang sampai saat ini, namun tugas kita adalah memilah dan memilih golongan yang mengikuti sunnah Nabi Saw. dan sunnah para sahabat Nabi (mâ ana ‘alaihi wa ash hâbî).

B. Faktor Munculnya Pemikiran Islam
Karena pemikiran Islam merupakan hasil dari jawaban realitas, maka faktor munculnyapun karena realitas yang ada. Faktor ini muncul tidak akan lepas dari desakan internal dan tarikan eksternal. Karena itu penulis membaginya pada faktor internal dan eksternal :
1.      Faktor internal umat Islam
Artinya, arus pemikiran muncul dari dalam tubuh umat Islam itu sendiri, baik itu muncul dari akal sehatnya ataupun terdorong hawa nafsunya. Faktor ini ada karena sebab-sebab sebagai berikut :
·         Fanatisme Arab
Fanatisme dalam bangsa Arab sudah mengurat saraf dan mendarah daging, karenanya sering terjadi pertikaian antar kabilah sebelum datangnya Islam. Peperangan ‘Aus dan Khazraj merupakan salah satu bukti ke-ta’ashub-an bangsa Arab. Tapi setelah datangnya Nabi Saw. dengan mengemban amanat Tuhan, fanatisme tersebut secara perlahan dikikis sampai habis, meskipun terkadang muncul kepermukaan, tapi Nabi langsung meredamnya kembali. Sebagaimana satu kisah dari Jabir Ibn Abdullah berkata: telah berkelahi dua orang anak, yang satu dari Muhajirin dan satu lagi dari Anshar. Lalu orang Muhajir berteriak : “Tolong aku wahai orang-orang Muhajir”, dan orang Anshar berteriak : “Tolong aku wahai orang-orang Anshar”. Maka Nabi Saw. keluar dan berkata “Ada apa ini? apakah masih ada seruan-seruan jahiliyah?”, mereka berkata : tidak wahai Rasulullah, hanya ada dua orang anak yang sedang berkelahi dan saling memukul. Maka Rasulullah berkata “Tidak ada manfaatnya, tolonglah saudaramu yang berbuat dzalim atau saudaramu yang didzalimi. Jika (saudaramu) berbuat dzalim, maka dengan melarangnya adalah (bukti) menolongnya. Dan jika (saudaramu) yang didzalimi maka tolonglah dia[12].
Namun, pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw. sikap ini kembali muncul dalam kalangan sahabat, seperti; terjadinya perbedaan pendapat antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar mengenai siapa yang akan menggantikan kepemimpinan Nabi Saw. Perbedaan ini tidak berlangsung lama, karena umat Islam pada waktu itu masih memegang budaya syura. Selanjutnya, fanatisme kembali muncul semakin akut sepeninggal khalifah Utsman Ibn Affan, dimana umat Islam terpecah dalam dua kubu, kubu ‘Umawiyyin dan Hâsyimiyyin.
·         Perebutan kekuasaan
Hawa nafsu memang tidak akan kenyang meskipun terus dipenuhi keinginannya, dikala fanatisme kembali muncul, kemudian pengkultusan individu semakin kuat, maka sikap anti kemapananlah yang muncul. Ini terjadi dari sikap fanatisme umat Islam dan pengkultusan terhadap Ali dan Mu’awiyah, sehingga terjadilah fitnah peperangan antara kedua kubu yang dikenal dengan nama perang Shifin (37H/657M), padahal ini semua muncul karena kesalahpahaman Mu’awiyyah terhadap sikap Ali yang dianggap lamban dalam menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman. Kemudian, pasca perang muncullah berbagai organisasi politik yang nantinya malah melebar pada pembahasan teologi. Seperti Khawarij[13], Syi’ah[14] dan pendukung Mu’awiyah. Namun pada masa sekarang, pergerakan umat Islam (harakah islâmiah) bermunculan didorong karena kondisi pemerintahan yang ada saat ini tidak sesuai dengan Syari’at Islam, ini bermula ketika Kemal At Taturk mengganti kekhilafahan dengan Qanun Thagut. Kemudian muncullah Ikhwanul Muslimun, Jama’ah Islamiah, Hizbut Tahrir, dll.
·         Istinbath hukum-hukum syar’i
Perkembangan fiqih Islam sudah jauh-jauh hari muncul, karenanya Prof. Dr. Muhammad Al Banhâwi rahimahullâh[15] membaginya dalam enam periode dengan mengawali perkembangannya pada masa Nabi Saw. Namun, karena pada masa ini masih memiliki seorang mujtahid yang bebas dari subjektivitas, maka ikhtilâfat tidak banyak muncul. Kemudian sepeninggal Nabi, ikhtilaf mulai bermunculan dalam pemahaman para sahabat. Dilanjutkan pada periode Tabi’in dengan munculnya dua madrasah; madrasah Ahlu Hadits dan madrasah Ahlu Ra’yi, lalu periode para Mujtahidin (Abad II H sampai pertengahan IV H) dengan munculnya imam-imam fiqih seperti Imam Abu Hanifah (lahir di Kufah 61 H)[16], Imam Malik (lahir di Madinah 93 H)[17], Imam Asy Syafi’i (lahir di Syam 150 H)[18], Imam Ibn Hanbal (lahir di Bagdad, 164 H)[19]. Kemudian pada awal pertengahan abad IV H sampai 656 H, merupakan periode stagnan (Rukûd) dan Taqlîd. Pada periode ini umat Islam terbagi-bagi dalam berbagai madzhab, fanatisme madzhabpun muncul, maka yang ada hanya kodifikasi ilmu para imam madzhab. Selanjutnya pasca keruntuhan Bagdad oleh pasukan Tatar (656 H) sampai saat ini, merupakan periode implementasi fiqih dan geliat fiqih kontemporer yang meriset fiqih klasik dan kekinian dengan manhaj studi komparatif. Meskipun kita tidak dapat menutup mata akan adanya perkembangan madzhab lain dalam tubuh umat Islam pada masa sekarang ini.

2.      Faktor eksternal Umat Islam
Artinya, arus pemikiran muncul karena pengaruh eksternal, dan umat Islam mesti menjawab realitas tersebut dalam prespektif Islam. Pengaruh eksternal ini sudah muncul pada masa arus pemikiran Islam klasik, dengan munculnya berbagai macam pemikiran teologi. Ini dimulai ketika pada masa kekhilafahan Abbasiyyah dengan merebaknya ilmu mantik dan filsafat. 
Ilmu logika, mantik dan filsafat dikenal masuk kedalam tubuh kaum muslimin di zaman dinasti Abasiyyah. Yaitu di saat Yahya bin Khalid bin Barmak, salah seorang menteri Harun Ar-Rasyid, meminta buku-buku Yunani dari raja Romawi. Waktu itu buku-buku tersebut disimpan dan tidak ditampakkan kepada orang-orang Nashara secara umum. Karena dikhwatirkan akan membawa mereka kepada kesesatan. Tetapi dengan permintaan kaum muslimin tersebut, dengan segera Raja romawi mengirimkan buku-buku Yunani itu kepada sang menteri. Dengan keinginan mereka dapat terlepas dari bahaya buku-buku tersebut, dan dengan harapan agar kandungan buku-buku itu merusak keadaan kaum muslimin! Sehingga salah seorang mereka mengatakan: “Tidaklah ilmu-ilmu ini masuk kesuatu Negara kecuali akan merusakkannya dan memecah-belah ulamanya!!”.
Tersebarlah ilmu filsafat. Kemudian pada zaman Tartar mengusai daerah Islam, Nashirudin Ath-Thusi mendirikan perguruan Dâr Hikmah. Dimana para pelajar (santri) yang mempelajari filsafat mendapatkan gaji 3 dirham setiap hari. Dan mendirikan Dâr Thib Kedokteran, para pelajar digaji 2 dirham per-hari. Serta mendirikan Dar Hadits hadits, para pelajarnya digaji ½ dirham per-hari.[20]
Faktor eskternal ini muncul karena Tatar membuang buku-buku diperpustakaan pusat Bagdad yang berjumlah ribuan atau mungkin jutaan ke sungai Dajlah, sehingga kuda-kuda mereka bisa melewati sungai yang besar dengan menjadikan buku-buku sebagai jembatannya. Maka, umat Islam pada waktu itu kehilangan referensi, atau bisa dikatakan peradaban Islam pada waktu itu luluh lantak. Lalu muncullah ilmu-ilmu luar ke dalam lingkungan umat Islam, diantaranya ilmu-ilmu teologi. Sehingga tidak sedikit umat islam yang memahami teologi Islam dengan referensi filsafat yunani. Pada masa inilah bermunculanlah pemahaman teologi dalam tubuh umat Islam, seperti Qadariah[21], Jabariah[22], Murji’ah[23], Mu’tazilah[24], Asy’ariah[25], Maturidiah[26] dan Ahlu Sunnah wal Jama’ah[27]. Adapun perkembangannya pada masa kini, sudah bermunculan aliran pemikiran barat yang diadopsi muslim sempalan seperti; Liberal[28], Nasionalisme[29], Sekulerisme[30], dll.

Dari semua faktor yang ada, maka umat Islam menjadi terbagi ke dalam berbagai macam golongan yang saling bertentangan satu sama lainnya. Golongan-golongan yang banyak ini penulis kelompokkan kepada tiga madzhab (ideologi); madzhab teologi, madzhab politik dan madzhab fiqih.

Arus Pemikiran Barat
Pemikiran dalam pemahaman Barat hanya bertumpu pada akal an sich (faqath), meskipun dalam usaha menjawab realitas pada waktu itu, sama perannya dengan peran pemikiran Islam. Tentu saja demikian, karena Barat bukanlah agama yang memiliki kitab –sebagai sandaran- yang dilegitimasi langsung oleh Tuhan, atau bahkan mereka tidak mengakui kemanfaatan agama bagi manusia. Tapi, meskipun mereka bertumpu pada akal semata, kita tidak dapat mengelakkan loncatan-loncatan teknologi, tata negara, sosial dan keduniawian lainnya yang mereka hasilkan dari sebuah pemikiran.
Disamping itu telah penulis katakan di awal, dengan kehebatan berpikir dapat mengangkat kedudukan manusia dibandingkan makhluk Allah Swt. lainnya. Sekarang, mereka unggul dalam masalah keduniawian, tapi mereka tidak unggul dalam masalah keukhrawian. Karenanya pemikiran mereka definisikan sebagai sebuah kegiatan mental yang berlandaskan kepada prinsip-prinsip yang dianut untuk sampai kepada hasil yang dicari. Sedangkan landasan prinsip-prinsip mereka hanya bertumpu pada akal yang tidak akan lepas dari subjektivitas.

A. Epistemologi Pemikiran Barat
Suatu hal yang sulit menetapkan awal munculnya pemikiran di Barat, namun yang pasti aliran pemikiran jauh-jauh hari sudah ada pada masa Yunani kuno. Dimana filsafat mulai merebak dengan munculnya seorang bapak filosof yang bernama Thales (384-322SM) yang menjadikan kejadian alam sebagai objek pemikiran, karenanya filsafat pada masa ini dinamakan filsafat Naturalisme. Semenjak itu berkembanglah pemikiran Barat sampai saat ini, dari masa paganisme sampai kepada neo-paganisme[31].

B. Faktor Munculnya Pemikiran Barat
Karena akal sebagai subjek utama dalam pemikiran Barat, maka faktor lahirnyapun muncul karena akal melihat objek (realitas) yang terjadi. Penulis hanya mencatat sedikit faktor sebagai berikut:
1. Filsafat
Filsafat diambil dari bahasa Yunani yaitu Philosophia; Philo berarti cinta; atau philia berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, ketertarikan pada. Dan Sophos berarti orang bijak; atau Sophia berarti kebijakan, pengetahuan, keahlian atau pengalaman praktis[32]. Adapun secara terminology filsafat memiliki banyak definisi, karena objek penelitiannyapun bersifat global. Imanuel Kant berpendapat bahwa filsafat adalah pokok dan pangkal segala pengetahuan dan pekerjaan, sedangkan Cicero mendefinisikannya sebagai pengetahuan tentang ilmu-ilmu tinggi saja dan jalan untyuk mencapai ilmu-ilmu itu. Filsafat ialah induk segala ilmu dunia, ilmu kepunyaan dewata[33]. Lebih jelas lagi Syaikh Al Mauzun dari Samarkand berpendapat bahwa filsafat adalah upaya rasio untuk mengetahui hakikat semua prinsip yang paling mendasar[34].
Sebagaimana dikatakan di awal, filsafat merupakan bukti munculnya pemikiran di Barat dengan bapak filosofnya adalah Thales yang mengusung filsafat naturalisme yang tidak sampai pada memikirkan objek yang transenden, artinya alam sebagai objek pemikiran yang lahir secara natural (thabi’i). Pemikiran ini didorong karena kondisi pada waktu itu masih berpemahaman paganisme. Kemudian filsafat mulai berkembang sampai membahas pada hal-hal yang transenden dengan munculnya Socrates yang menghasilkan pemikiran yang melewati naturalisme. Yang kemudian menghasilkan pemahaman Creatio ex Nihilo, yaitu Alam tidak mungkin merupakan sesuatu yang diciptakan dari ketiadaan Mutlak.
Dari filsafat inilah banyak menghasilkan aliran-aliran pemikiran di Barat yang bersifat teologis, baik aliran yang tidak meyakini akan adanya Mutlak (baca: Tuhan)/atheis, ataupun aliran yang  berhasil menemukan Tuhan.
2. Otoritarianisme Gereja
Pada sekitar abad pertengahan yang dimulai semenjak abad V Masehi sampai X abad berikutnya bangsa Barat mengalami stagnasi dan taklid buta yang sangat akut, karena pada masa ini gereja memperlihatkan taringnya dengan mengendalikan seluruh kehidupan bernegara dan beragama berada dibawahnya. Padahal, kebijakan-kebijakan gereja pada waktu itu tidak sesuai dengan akal dan fitrah manusia. Karenanya banyak para filosof dan ilmuan yang berakhir dengan kematian yang mengenaskan karena observasinya bertentangan dengan kebijakan gereja yang mereka anggap sebagai “Hukum Tuhan”. Sehingga Galileo Galilee mendapat penyiksaan dan pemerkosaan intelektual dari gereja, karena dia beranggapan bahwa bumi berputar pada porosnya dan observasi ini bertentangan dengan kebijakan gereja yang bersifat absurd (Gair Ma’qul).
Namun dibelahan dunia lain, Islam dengan konsep tauhidnya yang kokoh telah memancarkan nuansa ilmiah yang agamis kebelahan dunia lainnya. Karenanya, tidak sedikit cahaya Islam berpengaruh pada kebangkitannya Barat melawan kebijakan-kebijakan gereja, yang mereka sebut dengan Renaissance. 
Renaissance/Tanwîr diartikan sebagai : Kegiatan akal dalam membebaskan pemerintahan dan akal dari agama dan gereja beserta para pendeta pada masa itu[35]. Dengan ini bermunculanlah slogan-slogan sekulerisme dari mulut para pembaharu Barat seperti; “Tuhannya renaissance membebaskan dari posisi Tuhan dan agama”, “Hidup akal, sains dan filsafat” atau  “Tidak ada kekuasaan terhadap akal kecuali oleh akal” juga “Agama untuk tuhan dan Negara untuk rakyat”. Pembaharuan ini tidak sempurna sesempurna pemikiran Islam, karena ketika kebebasan berpikir menyimpang dari hak manusia, maka kebebasan itu bergeser menjadi kebebasan kekufuran-penganiayaan dan penghinaan[36], apalagi kebebasan berpikir mereka menyimpang dari hak-hak Tuhan. Dari kebebasan yang tiada batas inilah akhirnya banyak bermunculan ideology seperti; Sosialisme[37], Komunisme[38], Fasisme[39], dan selanjutnya muncul Demokrasi modern[40], Nazisme[41], Zionisme [42] dan Orientalisme [43].
Dari kedua faktor ini, setidaknya kita dapat menyimpulkan bahwa pemikiran Barat hanya bersandarkan kepada akal yang lambat-laun ditunggangi oleh hawa nafsu mereka. Sehingga menyebar aliran pemikiran yang bersifat progress keduniawian ansich. Dengan melihat berbagai aliran pemikiran yang ada di Barat, penulis dapat mengelompokkan mereka ke dalam dua karakter; madzhab Teologi dan madzhab Ideology.

Pemikiran Islam, Menuju Dekonstruksi Aksiologi
Pluralitas pemikiran merupakan sunatullah, karenanya meskipun kita berusaha untuk melawannya kita akan tetap terkalahkan, sebab kita sudah melawan kekuasaan Tuhan. Karena itu, tugas kita sekarang adalah bagaimana menyikapi pluralitas dalam pemikiran umat Islam saat ini, agar jangan sampai menjadi orang yang gampang menyalahkan pemikiran orang atau golongan lain, sebab dengan pemikiran pula argumen itu dapat ditolak. Karenanya Dr. yusuf Qardhawi mewanti-wanti agar kita tidak masuk kedalam jurang ektrimisme, beliau menyebutkan tanda-tanda ekstrimisme ke dalam lima tanda; fanatik terhadap salah satu pemikiran, radikal yang bukan pada tempatnya, keras dan kasar, berprasangka buruk terhadap manusia, dan jatuh ke lembah mengkafirkan orang lain.
Dalam membangun pemikiran Islam yang benar mesti memiliki karakteristik yang benar pula, yang pastinya sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Tentu saja, batasan-batasan yang ada pada kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam syari’at Islam adalah batasan-batasan yang muncul dari pokok yang umum dimana syari’at berada diatasnya, yaitu memperoleh kemaslahatan dan meninggalkan kerusakan[44]. Karakteristik yang penulis maksudkan itu antara lain mesti :
1.      Komprehensif, artinya pemikiran Islam bersandarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, dan universal (Rahmatan wa Busyrâ lil Muslimîn) (QS. An Nahl: 89), juga integral keberbagai aspek kehidupan (QS. Al Maidah: 3).
2.      Praktis, artinya pemikiran Islam mesti bersifat ‘amali bukan khayalan yang diada-adakan
3.      Humanis, karena objek pemikiran Islam adalah realitas yang merupakan hasil sentuhan manusia itu sendiri. Sebab itu pemikiran mesti bisa memanusiakan manusia, dengan tidak memperkosa hak-hak orang lain.
Setelah memiliki karakteristik pemikiran di atas kita mesti menjadi solver terhadap permasalahan umat yang dihadapi, diantaranya dengan :
1.      Membaca wahyu dan Sunnah Nabi, agar kegiatan akal senantiasa dibatasi dari hawa nafsu.
2.      Membaca alam, agar semakin tunduk pada keagungan Allah Swt, dan inilah yang disebut dengan ulil Albab[45]
3.      Memberikan solusi alternatif terhadap permasalahan yang dihadapi umat kali ini, apalagi solusi yang ada sudah bertentangan dengan syari’at Islam. Misalkan mengarahkan umat yang berkecimpung dalam komunisme, sosialisme, nasionalisme, dll, kepada pemikiran Islam yang memiliki progress keduniawian dan kekuhrawian.
4.      Mengejar kesenjangan antara ulama dengan umat, karena perkembangan jaman bersifat maju, maka kita mesti mengikuti dan mengetahui loncatan-loncatan jaman.

Epilog
Persatuan ultimate goal (tujuan akhir) umat kali ini merupakan kebutuhan yang sangat dlaruri, artinya umat Islam mesti sama-sama berpegang teguh pada tali Allah yang benar, agar perbedaan yang ada tidak menjadi permusuhan tapi malah menjadi sebuah nikmat. Sebagaimana firman Allah Swt.:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan  janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat Allah  kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,  maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni'mat  Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi  jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.  Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu  mendapat petunjuk." (QS. Ali Imran: 103)
Maka dari itu, persatuan adalah nikmat yang patut kita syukuri. Kalaupun terjadi ikhtilaf di tubuh umat Islam, hal ini tetap menjadi sebuah kenikmatan karena ikhtilaf ini masih dalam lingkup persatuan dan persaudaraan, atau dalam istilah Anis Matta mengedepankan tradisi ilmiah dalam menghadapi keberagaman.
Karenanya menjadi suatu keharusan untuk sadar dan kembali kepada agama yang mengajarkan nilai politik egaliterianisme (kesederajatan) antar pemerintah dengan rakyat (QS. 49: 13), serta yang memerintahkan kepada nilai ekonomi yang jujur dan yang memelihara keamanan harta rakyat (QS. 2: 188). Juga memerintahkan kepada nilai-nilai sosial-budaya yang berakhlaqul karimah (QS. 5: 2).
Ajakan kembali kepada agama Islam ini bukan berarti mengajak manusia agar kembali pada Dark Age (masa kegelapan) dimana agama Kristen menguasai seluruh aspek kehidupan manusia sehingga menghancurkan peradaban dunia, akan tetapi ajakan ini adalah ajakan kepada Renaissance/Tanwîr dimana agama Islam menerangi seluruh aspek kehidupan manusia.
In Urîdu Illal Ishlâha Mastatho’tu




[1] QS. Al Baqarah: 34
[2] QS. Al Mujâdilah: 11
[3] QS. Asy Syams: 8
[4] QS. Al A’râf: 176, Al Kahfi: 28, Thâhâ: 16
[5] Pusat Bahasa Depenas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 2002, Balai Pustaka, Edisi III, h. 873
[6] Arif Rahman Hakim Lc. Dipl., Selayang Pandang Pemikiran Islam; Upaya Merunut Sejarah Pemikiran Islam dari Kelahirannya Sampai Masa Kebangkitan Islam, Makalah kajian dwi mingguan LBI Pwk. Persis, 22 Maret 2005, h. 1
[7] QS. Ibrahim: 24
[8] QS. Yunus: 99, Al Hujuraat:13
[9] Dr. Ashim Ahmad Ajillah, Menghidupkan Kembali Kebebasan Berfikir, Jaksel, 1990
[10] QS. Al Hijr: 9
[11] Muhammad Husain Abdullah, Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, 2002, Pustaka Thariqul Izzah, h.9
[12] Muslim, Al Bir Wa As Shilah 4.681
[13] Golongan yang keluar dari Imam Ali dan menentang pendapatnya, serta mereka yang tidak menganggap kekhilafahan Ali Ibn Abi Thalib,
[14] Golongan yang mendukung dan mencintai Ali Ibn Abi Thalib beserta keluarganya dan menetapkan keimamahannya. Selanjutnya golongan ini berpecah-pecah ada yang sampai menganggap Ali sebagai Tuhan dan Nabi.
[15] Prof. Dr. Muhammad Abdul Fattah Al Banhâwi, Târîkh At Tasyrî’ Al Islâmî, 2002. Beliau mantan Dekan fakultas Syari’ah wal Qanun universitas Al Azhar cabang Tafahna el Asyrâf.
[16] Imam Madzhab Hanafi yang terkenal sebagai ahli ra’yu dan banyak berijtihad, karenanya disamping beliau mengambil istinbath hukum-hukum syar’i dengan Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, perkataan sahabat dan Qiyas, juga beliau mengambil istihsan sebagai landasan akhir dalam beristinbath.
[17] Imam Madzhab Maliki yang terkenal sebagai ahli hadits, sehingga lebih memperhatikan keshahihan hadits dengan mengkodifikasikannya dalam satu buku yang bernama Al Muwaththa’. Beliaulah yang mencetus istinbath hukum bisa dengan melihat perilaku penduduk Madinah, juga memakai mashâlih al mursalah.
[18] Imam Madzhab Syafi’i yang merupakan pencetus lahirnya kodifikasi Ushul Fiqih dengan bukunya Ar risalah. Beliaulah yang mempertemukan ahlu ra’yi dengan ahlu hadits.
[19] Imam Madzhab Hanbali menggunakan Qiyas sebagai istinbath hukum, sebagai usaha darurat jika tidak ada hadits ataupun perkataan sahabat, mursal ataupun yang membahas suatu hukum. Asas beliau dalam berijtihad hampir mirip dengan Imam Asy Syafi’i
[20] Majalah As Sunnah, edisi 04/Tahun VI/1423H/2002M, h. 3
[21] Golongan yang berkeyakinan bahwa manusialah yang menciptakan amal mereka sendiri, tanpa sedikitpun campur tangan Tuhan.
[22] Golongan ini kebalikan dari qadariah, karena mereka berkeyakinan bahwa amalan mereka semua ciptaan Allah, dan manusia tidak bisa memilih amalannya sendiri.
[23] Golongan yang tidak ingin menghukumi segala amalan manusia, bahkan dalam masalah jinayat, karena mereka lebih memilih menunda hukuman di akhirat nanti.
[24] Golongan yang bermula dari berpisahnya Washil Ibn Atha dari jilsah Hasan Al Bashri, karena dia tidak setuju dengan pandangan gurunya mengenai posisi muslim yang berbuat dosa besar. Menurut Washil muslim tersebut tidak akan masuk neraka ataupun surga, tetapi dia akan berada di Manzilah bainal manzilatain.
[25] Para pengikut Abu Hasan Al Asy’ari yang pada meluanya beliau pengikut Mu’tazilah, karena ketika menemukan kekeliruan dalam pemahaman Mu’tazilah, maka beliau keluar dari golongannya. Beliau lebih mengedepankan akal yang didasari oleh nash.
[26] Dinisbatkan kepada pendirinya yang bernama Abu Manshur Al Maturidi, yang pada dasarnya hampir sama dengan Asy’ariah tetapi pandangan mereka terhadap akal lebih diutamakan daripada nash.
[27] Golongan yang berusaha menghidupkan aqidah salafus shalih yang berdasarkan pemahaman para sahabat dan tabi’in yang tidak berargumen kecuali dengan nash.
[28] Aliran ini muncul di Eropa pada abad 20 M, dalam mendamaikan aliran pemikiran yang ada pada waktu itu. Aliran ini baru-baru muncul di tubuh umat Islam sempalan yang bertujuan ingin mendamaikan agama-agama, dengan mengatakan bahwa semua agama itu benar dan sama-sama akan menuju keharibaan tuhan yang satu.
[29] Lahirnya aliran ini dalam umat Islam ketika mulai bersatunya bangsa Yahudi, yang berkeinginan merobek-robek baitul maqdis. Juga ketika kekhilafahan Islam pada waktu itu sedang lemah dan stagnan di Istambul (Turki), sehingga = perhatian pemerintah pusat berkurang pada permasalahan palestina, maka muncullah Nasionalisme Arab dan Nasionalisme turki. (Abdullah Nasih ‘Ulwan, Al Qaumiyyah fî Mîzânil Islâm, Cairo, dar As Salâm, h. 9)
[30] Sekulerisme diadopsi umat Islam sempalan dengan berkeinginan memisahkan Islam dari kehidupan, khususnya dalam pemerintahan.
[31] artinya pemikiran bangsa Barat dari awalnya sampai sekarang masih bersifat materialistik, sedangkan istilah neo-paganisme diambil dari pemikiran materialistic mereka yang memisaha agama dari pemerintahan/sekulerisme
[32] Aas Subarkah , Perspektif tentang Filsafat dan Agama, makalah, 12 Maret 2005, h. 3
[33] Drs. Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta, 1990, Bulan Bintang, h. 18
[34] Syaikh Nadhim Al Jisr, Para Pencari Tuhan, h. 23
[35] Dr. Muhammad Imarah, Fikrut Tanwîr bainal ‘Almâniyyîn wal Islâmiyîn, Cairo, 1994, h. 16
[36] Dr. Ashim Ahmad Ajillah, Op Cit., h. 18
[37] Sosialisme diartikan sebagai persatuan. Kata ini muncul pada tahun 1827 di Inggris dalam majalah Co-Operative Magazine. Dalam pemahaman umum sosialisme didefinisikan sebagai Gabungan teori politik, ekonomi dan social yang menggambarkan persatuan. Teori yang mereka tekankan adalah kepemilikan bersama, equality dan kebebasan melawan materialisme (Dr. Abdullah Muhammad Abdurrahman, ‘Ilmul Ijtimâ’is Siyâsî, An Nasy’atu Tathawwuriyyah wal Ittijâhât Al Hadîtsah wal Mu’âshirah, Beirut, Dar An Nahdlah Al A’rabiah, 2001).
[38] Kata Komunisme muncul pada masa Yunani kuno ketika Plato mengisyaratkan wanita dan anak-anak agar dikomuniskan (dikumpulkan) disuatu kota. Namun kata komunis yang dijadikan ideology saat ini muncul pada akhir abad 19 M, dengan founding fathernya adalah Karl Marx. Aliran ini berkeinginan menghapus kerajaan borjuisme dengan memberikan kekayaan Negara kepada rakyat sesuai kebutuhan mereka. Inilah yang membedakannya dengan sosialisme yang berkeinginan mengembalikan kekayaan Negara kepada rakyat tanpa batas. (Ibid)
[39] Fasis diambil dari bahasa Itali Fasces yang berarti seikat tongkat dan palu. Ideology ini bermula pada tahun 1919 dengan mendirikan perkumpulan rakyat Itali untuk menghadapi konpirasi komunisme Rusia. Ideology ini beranggapan mesti membangun Negara yang dipimpin oleh seorang diktator yang bisa menguasai pemerintahan, karenanya kebebasan bukanlah hak pribadi, melainkan hak Negara. Ideology ini dipimpin oleh Beneto Musolini. (Ibid)
[40] Demokrasi berasal dari dua kata Yunani, Demos berarti rakyat dan Krates berarti pemerintahan, jari pemerintahan rakyat. Kata ini telah ada pada pemerintahan Yunani Kuno dalam pemikiran Aristoteles, tetapi mulai menjadi sebuah ideology ketika bermunculan partai demokrasi liberal di Amerika th. 1776. Asas ideology ini berslogan “Kedaulatan di tangan rakyat”.(Ibid)
[41] Ideology ini dimotori oleh Hitler dari mulai tahun 1933 sampai 1945. Ideology ini dipengaruhi oleh pemikiran sosialisme, tapi dijalankan dengan radikal dan lebih mengedepankan sikap rasistis. Esensi ideology ini adalah: menguasai pemerintahan, memusnahkan gerakan Marxisme-komunisme, mencelup Jerman dengan sosislisme kerakyatan, menekankan persatuan rakyat Jerman, mensucikan bangsa Jerman dari darah Yahudi. (Ibid)
[42] Ideology ini hadir pada abad 16 dengan tujuan untuk memperbaharui bangsa Yahudi dengan memasukkannya pada aliran politik. Ideology ini menginginkan pembentukan Negara Yahudi yang dinamakan Israel di tanah Palestina.
[43] Ideology ini muncul karena gagalnya imperialisme Barat untuk menduduki Negara Islam, akhirnya pada abad XIII M Raja Qastalah (Alfonso) menyuruh Michel Scoot meneliti ilmu pengetahuan dan peradaban Islam dan menerjemahkan buku-buku Islam ke bahasa Eropa. Maka penyerangan tidak lagi dilakukan dengan peperangan, tetapi menebar pembusukan dari dalam umat Islam dengan mengguncang aqidahnya.
[44] Ashim Ahmad Ajillah, Op. Cit.  h. 48
[45] QS. Ali Imrân: 190

Related Post:

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More